Pidana Mati: Mengapa Tidak?
Kolom

Pidana Mati: Mengapa Tidak?

Kondisi sosial kemasyarakatan dan penegakan hukum di negara ini sudah begitu memprihatinkan. Perasaan aman (baca: bebas dari rasa takut), yang merupakan salah satu bentuk kebebasan yang seharusnya diperoleh setiap jiwa manusia, sudah demikian sulit untuk didapatkan.

Bacaan 2 Menit

Profesor Van Dijk pernah mengatakan, pengertian HAM baru dirumuskan secara eksplisit pada abad ke-18. Namun, asal mula pendapat dari segi hukum dan prinsip yang menjadi dasarnya sudah eksis lebih jauh ke belakang dalam sejarah. Namun, mengapa penjajahan oleh bangsa-bangsa Eropa berlangsung dengan segala perkosaan, pembunuhan, dan pelanggaran HAM yang berat lainnya terhadap bangsa-bangsa non-Eropa yang notabene lemah dan tak berdaya?

Artinya, apakah HAM hanya berlaku bagi mereka yang dengan kekuatannya memperkosa, membunuh, dan melakukan pelanggaran HAM yang berat lainnya terhadap mereka yang lemah dan tak berdaya? Kalau memang demikian, maka benarlah apa yang dikatakan Profesor Van Boven yang mengatakan bahwa HAM pada awalnya disediakan untuk rakyat negara yang menyebut diri mereka bangsa-bangsa "Kristiani" dan kemudian meluas sampai meliputi kelompok negara yang diperlakukan istimewa, yang menganggap diri sebagai bangsa-bangsa "beradab".

Dalam konteks yang demikian, sungguh mengkhawatirkan apabila konsep HAM yang menjadi dasar penolakan pidana mati atas pelaku perkosaan, pembunuhan, dan pelanggaran HAM yang berat lainnya sebenarnya merupakan konsep-konsep yang muncul sebagai akibat perlakuan biadab (dalam kurun waktu sekarang) bangsa-bangsa Eropa terhadap bangsa-bangsa non-Eropa, termasuk bangsa Indonesia.

Penolakan pidana mati terhadap para pelaku perkosaan, pembunuhan dan pelanggaran HAM yang berat lainnya, boleh jadi muncul sebagai akibat dari perkosaan, pembunuhan dan pelanggaran HAM yang berat lainnya yang dilakukan bangsa-bangsa Eropa terhadap bangsa-bangsa non-Eropa yang memberontak untuk mendapatkan kemerdekaannya.

Mengkritik RUU KUHP Baru

Baru-baru ini, Departemen Kehakiman dan HAM menerbitkan dan mensosialisasikan Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru. Ada satu hal yang menarik perhatian untuk dikomentari, yakni tertutup kemungkinannya pelaku tindak pidana pembunuhan, termasuk pembunuhan massal dan sadis,  dijatuhi pidana mati.

Tertutupnya kemungkinan itu karena ditiadakannya tindak pidana pembunuhan berencana yang merupakan satu-satunya tindak pidana pembunuhan yang dapat dijatuhi pidana mati. Belum lagi dengan penempatan pidana mati di dalam RUU KUHP yang hanya sebagai pidana alternatif, bukan pidana pokok.

Dalam sosialisasi RUU KUHP baru itu diperoleh informasi bahwa digesernya pidana mati dari pidana pokok menjadi pidana alternatif didasarkan atas dasar filosofis keseimbangan monodualistik. Dasar filosofi itu, seperti dituturkan salah seorang anggota tim penyusun, berorientasi pada keseimbangan kepentingan umum dan kepentingan individu pelaku tindak pidana.

Halaman Selanjutnya:
Tags: