Pidana Denda bagi Penolak Vaksinasi Harusnya Diatur Level UU
Berita

Pidana Denda bagi Penolak Vaksinasi Harusnya Diatur Level UU

Agar tidak menimbulkan persoalan dalam implementasinya, pemerintah harus memperjelas mekanisme penegakan hukum terhadap mereka yang menolak vaksinasi Covid-19.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi. Hol
Ilustrasi. Hol

Jutaan vaksin Covid-19 telah tiba di Tanah Air dari beberapa negara. Pendistribusian vaksin Covid-19 mulai berdatangan di sejumlah daerah dengan pengawalan ketat dari aparat Kepolisian. Sejak awal, cara pemberian vaksin terhadap warga dilakukan dengan skala prioritas dan bertahap berdasarkan pengelompokan terutama tenaga medis. Bahkan, Presiden Jokowi bersedia menjadi orang pertama yang divaksin setelah vaksin dinyatakan lolos uji dari BPOM.    

Persoalannya, dalam Peraturan Daerah (Perda DKI Jakarta) No. 2 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) tertanggal 12 November 2020 di Provinsi DKI Jakarta, mengatur sanksi pidana berupa denda bagi masyarakat yang menolak divaksinasi. Tak heran, seorang warga DKI bernama Happy Hayati Helmi melalui kuasa hukumnya, melayangkan uji materi ke Mahkamah Agung (MA), Rabu (16/12/2020) lalu.    

Happy Hayati Helmi mengajukan uji materi Pasal 30 Perda DKI Jakarta No. 2 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Covid-19 ini. Pasal 30 Perda 2/2020 ini menyebutkan “Setiap orang yang dengan sengaja menolak untuk dilakukan pengobatan dan/atau vaksinasi Covid-19, dipidana dengan pidana denda paling banyak sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).”  

Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Al Azhar, Suparji Achmad mengingatkan pengaturan sanksi/hukuman pidana berupa penjara (kurungan badan), denda, pidana tambahan, hingga hukuman mati harus berdasarkan UU. Lazimnya, pengenaan sanksi pidana diberikan bagi mereka yang melakukan tindak kejahatan sebagaimana diatur dalam UU.

“Berdasarkan penelusuran, ternyata belum terdapat peraturan di tingkat pusat terkait pengenaan hukuman pidana bagi warga yang menolak divaksinasi Covid-19. Dalam UU tidak ada ketentuan yang secara eksplisit mencantumkan sanksi pidana jika menolak vaksinasi Covid-19,” ujar Suparji Achmad saat berbincang dengan Hukumonline. (Baca Juga: Advokat Ini ‘Gugat’ Perda DKI Penanggulangan Covid-19 ke MA)

Suparji menerangkan regulasi yang mencantumkan sanksi pidana hanya Perda DKI Jakarta No.20 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Covid-19 berupa denda maksimal Rp5 juta yang diatur dalam Pasal 30. Berdasarkan ketentuan itu, sanksi denda ini hanya berlaku bagi warga DKI Jakarta.

“Dalam UU No.12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, kedudukan Perda di bawah UU. Karena itu, kekuatan hukum Perda tak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan yang lebih tinggi (yang dibuat pemerintah pusat, red),” kata Suparji.  

Menurut dia, agar tidak menimbulkan persoalan dalam implementasinya, pemerintah (pusat) harus memperjelas mekanisme penegakan hukum terhadap mereka yang menolak vaksinasi Covid-19. Seharusnya, selama tidak adanya aturan sanksi pidana, masyarakat yang menolak vaksinasi Covid-19 tak boleh dijerat pidana. “Seharusnya dibuat regulasi level nasional setingkat UU, khusus soal vaksinasi yang memuat sanksi denda dan/atau pidana penjara,” kata dia.

“Pengaturan sanksi pidana yang berlaku nasional dibuat setingkat UU agar memenuhi syarat: asas legalitas, lex scripta atau tertulis, lex stricta atau tegas,” ujarnya mengingatkan.  

Yang pasti, kata dia, pengenaan sanksi pidana berlaku bagi mereka yang menghalang-halangi penyelenggaraan imunisasi. Hal ini bila merujuk UU No.4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, Pasal 14 ayat (1) yang menyebutkan, “Barangsiapa dengan sengaja menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 1 tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp1 juta”.

Sebelumnya, Pemerintah telah mendistribusikan 1,2 juta dosis vaksin Covid-19 ke 34 provinsi di seluruh Indonesia. Pengiriman vaksin tersebut dilakukan secara bertahap dimulai dari tanggal 3 Januari dan ditargetkan selesai terdistribusi ke 34 provinsi pada tanggal 7 Januari ini. Menteri Kesehatan Budi Gunadi mengatakan, pelaksanaan vaksinasi direncanakan akan dilakukan pada minggu kedua Januari 2021, setelah dikeluarkannya izin penggunaan darurat atau Emergency Use Authorization oleh BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan).

“Kami merencanakan dalam jangka waktu 15 bulan, kami bisa menyelesaikan vaksinasi ke 181 juta rakyat Indonesia,” kata Budi setelah mengikuti Rapat Terbatas Penanganan Pandemi Covid-19 dan Rencana Pelaksanaan Vaksinasi di Istana Negara Jakarta yang juga dihadiri secara virtual oleh para Gubernur dari seluruh Indonesia, Rabu (7/1/2021).

Budi berjanji, pihaknya akan bekerja keras untuk mempercepat pelaksanaan vaksinasi tersebut. “Kami akan berusaha keras dan kami butuh dukungan dari seluruh teman-teman untuk melakukan hal ini,” tuturnya. Menurutnya, awak media juga dapat ikut membantu pelaksanaan vaksinasi dengan mengingatkan kepada seluruh fasilitas layanan kesehatan (fasyankes) baik puskesmas, rumah sakit, dan klinik untuk segera mendaftar ke aplikasi PCare (Primary Care) BPJS agar dapat melayani vaksinasi Covid-19.

“Tolong dikomunikasikan terus ke mereka untuk mendaftarkan, karena kalau belum mendaftarkan akan sulit bagi mereka untuk bisa melayani vaksinasi ini, terutama untuk mencatat dan menangani kalau ada kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI),” katanya sebagaimana dilansir dari laman resmi Setkab.

Budi mengimbau kepada seluruh masyarakat untuk mengurangi mobilitas agar dapat menekan lonjakan kasus Covid-19, mengurangi tekanan pada fasyankes, dan tentu saja untuk menjaga dan melindungi tenaga kesehatan. Selain itu, masyarakat juga diharapkan patuh pada protokol Kesehatan yang diterapkan di daerahnya masing-masing.

Tags:

Berita Terkait