Pesawat Terbang Telat, Advokat Menggugat
Utama

Pesawat Terbang Telat, Advokat Menggugat

Seorang advokat menggugat Lion Air atas keterlambatan penerbangan selama 3,5 jam. Ganti rugi sebesar 1,035 miliar yang diajukan mungkin terganjal ketentuan yang tumpang tindih.

Kml
Bacaan 2 Menit

 

Nah, kalaupun gugatan Sholeh kali ini diterima, belum tentu hakim akan mengabulkan seluruh tuntutan ganti rugi Sholeh sebesar Rp1,035 miliar. Pasalnya, PP Nomor 40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara telah mematok batas atas besaran ganti rugi keterlambatan penumpang sebesar Rp1 juta.

 

UU No. 15/1992 tentang Penerbangan

Pasal 43

(1). Perusahaan angkutan udara yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga bertanggungjawab atas :

a.     kematian atau lukanya penumpang yang diangkut;

b.     musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut;

c.     keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang yang diangkut apabila terbukti hal tersebut merupakan kesalahan pengangkut.

(2). Batas jumlah ganti rugi terhadap tanggung jawab pengangkut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

        Penjelasan Ayat (2):

        Ketentuan ini dimaksudkan untuk menyempurnakan balas ganti rugi sebagaimana diatur dalam Pasal 30 Ordonansi Pengangkutan Udara (Luchtvervoer Ordonnantie Staatsblad 1939 No. 100).

        Besarnya ganti rugi harus selalu disesuaikan dengan perkembangan nilai mata uang.

 

PP No. 40/1995 tentang Angkutan Udara

Pasal 43

(4)   Ganti rugi untuk kelambatan yang dialami oleh penumpang karena kesalahan pengangkut hanya diberikan untuk kerugian yang secara nyata diderita oleh calon penumpang, sampai dengan setinggi-tingginya Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah).

 

Sholeh mengakui gugatannya tak mencantumkan PP 40/1995 sebagai dasar hukum. Namun, pembatasan nilai ganti rugi sebesar satu juta dinilainya tak akan menjadi masalah. Karena selain mengacu pada UU Penerbangan, besaran ganti rugi menitikberatkan pada UU Perlindungan Konsumen. ujarnya.

 

Masih menurut Sholeh, dalam gugatan terdahulu Lion mengacu pada Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU)-Staatsblaad 1939-100. Lion membatasi tanggungjawab dengan menulis pada tiket operator tidak bertanggungjawab atas keterlambatan. Pembatasan tanggungjawab ini menurut Sholeh masih diberlakukan hingga kini.

 

Ordonansi Pengangkutan Udara (Staatsblaad 1939-100)

Pasal 28

Bila tidak ada perjanjian lain, maka pengangkut bertanggung-jawab untuk kerugian yang timbul sebagai akibat dari kelambatan dalam pengangkutan penumpang, bagasi atau barang. (KUHPerd. 1244 dst.; Lvervoer 32 dst., 36; Vwarschau 19.)

 

Sayangnya pihak Lion Air tak kunjung memberi jawaban saat dikonfirmasi hukumonline. Humas Kantor Pusat Lion Air Hasyim Arsal Alhabsi tak dapat dihubungi di kantornya. Telepon selulernya tak kunjung dijawab, SMS pun tak berbalas.

 

Overlapping

Menurut Siti Nurbaiti, Dosen Hukum Pengangkutan Universitas Trisakti, pengaturan hukum pengangkutan udara saat ini masih tumpang tindih. Yang diatur UU Nomor 15 Tahun 1992 sebenarnya sudah diatur OPU, jadinya overlapping ujarnya. Ia menjelaskan OPU merupakan aturan hukum privat dalam pengangkutan udara yang hingga kini juga masih berlaku.

Tags: