Perwira TNI Aktif Mengampu Jabatan Sipil? Cermati Dulu Aturan Ini!
Berita

Perwira TNI Aktif Mengampu Jabatan Sipil? Cermati Dulu Aturan Ini!

Perwira TNI aktif hanya boleh mengampu jabatan terkait fungsi pertahanan. Karena itu, rencana perluasan militer aktif agar bisa menempati jabatan di kementerian lain lewat revisi UU TNI dinilai tidak sejalan dengan reformasi TNI.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi TNI. Foto: Sgp
Ilustrasi TNI. Foto: Sgp

Rencana restrukturisasi dan reorganisasi TNI dikritik sejumlah kalangan organisasi masyarakat sipil, khususnya wacana militer aktif dari kalangan perwira yang dikaryakan di kementerian dalam jabatan sipil.

 

Unit Pendidikan dan Pengkaderan Walhi, Muhammad Islah menerangkan rencana itu akan dijalankan lewat beberapa kebijakan seperti penempatan militer aktif pada jabatan sipil, penambahan unit, dan perpanjangan masa pensiun Bintara dan Tamtama.

 

Islah menerangkan rencana penempatan militer pada jabatan sipil itu akan dilakukan antara lain melalui revisi UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI. Dia menilai cara ini tidak tepat karena dapat mengembalikan fungsi kekaryaan TNI yang berpijak pada doktrin dwi fungsi ABRI (fungsi sosial-politik). Padahal, doktrin ini telah dihapus sejak awal reformasi.  

 

“Reformasi TNI mensyaratkan militer tidak lagi berpolitik. Dan salah satu cerminnya adalah militer tidak lagi menduduki jabatan politik di DPR, Gubernur, Bupati, atau jabatan di kementerian,” kata Islah membacakan Petisi Bersama Koalisi Masyarakat Sipil di Jakarta, Jumat (16/2/2019) kemarin.

 

Islah menuturkan sejak berlakunya UU TNI, militer aktif hanya mengampu  (menyokong) jabatan terkait fungsi pertahanan. Misalnya, jabatan di Kementerian Pertahanan; Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan; Sekmil Presiden; Intelijen Negara; Sandi Negara; Lemhanas; dan Dewan Pertahanan Nasional. Kemudian SAR Nasional; Narkotika Nasional; dan Mahkamah Agung.

 

Meski demikian, Islah mengingatkan Pasal 47 ayat (2) UU TNI mengamanatkan penempatan TNI dalam lembaga itu berdasarkan permintaan pimpinan departemen (kementerian) dan lembaga pemerintahan nondepartemen serta tunduk pada ketentuan administrasi yang berlaku dalam lingkungan departemen dan lembaga pemerintahan nondepartemen (kementerian).

 

“Karena itu, rencana perluasan militer aktif agar bisa menempati jabatan di kementerian lain lewat revisi UU TNI dinilai tidak sejalan dengan reformasi TNI,” sebutnya.

 

Direktur YLBHI Asfinawati mengingatkan sedikitnya 3 Ketetapan (Tap) MPR yang perlu diperhatikan sebelum menggulirkan recana restrukturisasi dan reorganisasi TNI tersebut. Pertama, Tap MPR No.X Tahun 1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara.

 

Tap MPR yang ditetapkan 18 November 1998 itu, menurut Asfin mengarahkan kebijakan reformasi pembangunan di bidang politik, salah satunya menyesuaikan implementasi dwi fungsi ABRI dengan paradigma baru peran ABRI dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

 

Kedua, Tap MPR No.VI Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri. Asfin menyebut Ketetapan MPR ini dalam pertimbangannya menyebut penggabungan TNI dan Polri menyebabkan terjadinya kerancuan dan tumpang tindih antara peran dan fungsi TNI sebagai kekuatan pertahanan negara dengan Polri sebagai kekuatan keamanan dan ketertiban masyarakat.

 

Kemudian, peran sosial politik dalam dwi fungsi ABRI menyebabkan terjadinya penyimpangan peran dan fungsi TNI dan Polri yang berdampak tidak berkembangnya demokrasi dan kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. “Melalui Ketetapan MPR ini, artinya negara mengakui dampak dwi fungsi ABRI yang membuat fungsi TNI menyimpang,” ujar Asfin.

 

Ketiga, Tap MPR No.VII Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Polri. Menurut Asfin ketentuan ini menegaskan TNI sebagai alat pertahanan negara yang tugas pokoknya menegakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD RI 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.

 

Asfin melihat ada pihak yang berpendapat tidak ada masalah jika TNI mengampu jabatan sipil karena situasi saat ini bukan dalam keadaan perang. Bagi Asfin pendapat ini keliru, karena sejumlah aturan ini sangat penting untuk menjaga profesionalitas TNI dalam menjalankan perannya.

 

Direktur Eksekutif Imparsial Al Araf menegaskan bukan berarti koalisi menolak restrukturisasi dan reorganisasi TNI. Koalisi hanya mengawal agar rencana itu tidak bertentangan dengan reformasi TNI. Ada beberapa solusi yang bisa dilakukan TNI bagi perwiranya yang tidak mengampu jabatan di kementerian/lembaga.  

 

Pertama, restrukturisasi komando teritorial (koter). Gelar kekuatan TNI harus menghindari bentuk organisasi yang dapat menjadi peluang kepentingan politik praktis. Pergelaran kekuatan ini tidak harus mengikuti struktur administrasi pemerintahan.

 

Kedua, sangat memungkinkan memperkuat kesatuan dan unit yang memiliki fungsi tempur untuk perang. Misalnya, pengembangan Kostrad, Armada Angkatan Laut, dan Komando Pertahanan Udara. Proses seleksi Sekolah Staf dan Komando (Sesko TNI) dibatasi agar pangkat Kolonel dan Jenderal tidak menumpuk terlalu banyak.

 

“Seleksi ini harus diperketat untuk tingkat jabatan menengah sampai atas, jadi yang terpilih hanya yang paling berkualitas,” katanya.

Tags:

Berita Terkait