Perusahaan Pailit, Hak Buruh Tetap Didahulukan
Berita

Perusahaan Pailit, Hak Buruh Tetap Didahulukan

Pemerintah berdalih argumentasi pemohon hanya persoalan penerapan norma.

ASH
Bacaan 2 Menit
Perusahaan Pailit, Hak Buruh Tetap Didahulukan
Hukumonline

Pemerintah menegaskan ketentuanPasal 95 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terkait kondisi perusahaan pailit telah memberikan kepastian hukum, tidak multitafsir. Ketentuan itu telah menguatkan kedudukan pekerja/buruh dengan mendahulukan pembayaran upah dan hak-hak lainnya jika perusahaan mengalami pailit atau dilikuidasi.

“Jika pengujian pasal itu dikabulkan, justru sebaliknya dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan multitafsir,” tutur Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jamsostek, Irianto Simbolon saat memberikan keterangan dalam sidang pengujian UU  Ketenagakerjaan di Gedung MK, Rabu (28/8).

Permohonan tercatat dengan No. 67/PUU-XI/2013 itu diajukan sembilan pegawai PT Pertamina yang tergabung dalam Serikat Pekerja Pertamina Seluruh Indonesia (SPPSI). Mereka adalah Otto Geo Diwara Purba, Syamsul Bahri Hasibuan, Eiman, Robby Prijatmodjo, Macky Ricky Avianto, Yuli Santoso, Joni Nazarudin, Piere J Wauran, dan Maison Des Arnoldi.

Lewat kuasa hukumnya, Otto Geo dkk menilai akibat tidak adanya penafsiran jelas dalam Pasal 95 ayat (4) itu, khususnya frasa “didahulukan pembayarannya” menimbulkan pelanggaran atas hak-hak para pekerja di perusahaaan tempat mereka bekerja yang potensial mengalami pailit berdasarkan putusan pengadilan.

Menurut dia sepanjang frasa “didahulukan pembayarannya” telah nyata-nyata menimbulkan multi tafsir. Akibatnya, pekerja ditempatkan dalam posisi lemah dan tidak disejajarkan oleh para kreditor separatis yang praktiknya lebih didahulukan pembayarannya jika perusahaan dipailitkan. Karena itu, para pemohon meminta tafsir agar pelunasannya mendahului semua jenis kreditor.

Irianto menjelaskan terkait penerapan Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan, peraturan perundang-undangan lain telah memberikan perlindungan maksimal terhadap pekerja. Jika praktiknya belum sempurna, dirasa merugikan buruh, itu lebih merupakan persoalan implementasi norma.

Seperti, Pasal 39 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dimana upah terutang dianggap sebagai utang harta pailit. Artinya, upah buruh tidak hanya sekedar kreditor preferen (istimewa) yang punya hak didahulukan dari kreditor lain yang konkuren (bersaing). Akan tetapi, pelunasan upah buruh diambil dari boedel pailit (utang harta pailit) mendahului kreditor separatis (kreditor pemegang hak kebendaan), hak terpisah yang dapat mengeksekusi haknya seolah tidak terjadi pailit.           

Jadi, lanjut Irianto, khusus hak upah buruh mendapatkan posisi yang lebih tinggi daripada kreditor konkuren dan separatis, kecuali atas hak kebendaan berupa hak gadai dan hipotik, kreditor separatis didahulukan pelunasannya daripada kreditor preferen. Hal itu dijamin Pasal 1134 ayat (2) KUHPer.         

“Tetapi dalam praktik, jika perusahaan pailit, perhitungan hak-hak buruh sesuai UU Ketenagakerjaan, setelah itu Ketua Pengadilan Niaga akan menentukan urutan pembayaran utang para kreditor,” katanya.

Permohonan lain
Sementara perkara No. 69/PUU-XI/2013 yang dimohonkan pengurus FSPMI Pasuruan, Jazuli atas uji materi Pasal 160 ayat (3) dan (7) serta Pasal 162 ayat (1) dan (2) UU Ketenagakerjaan, pemerintah menilai ketentuan itu sudah cukup seimbang dan adil. Menurut pemerintah ada wajar jika buruh yang ditahan karena melakukan tindak pidana melebihi 6 bulan, pengusaha berhak mem-PHK-nya seperti diatur Pasal 160 ayat (3), (7) UU Ketenagakerjaan.

Soalnya, penahanan yang relatif lama (6 bulan), pengusaha telah dibebani kewajiban memberikan bantuan kepada keluarganya dan tidak berhak memberi pesangon kepada buruh jika di-PHK. Sementara buruh yang ditahan tak dapat bekerja sebagai kontra prestasi. Hal ini pengecualian dari prinsip no work no pay, walau nilai bantuannya terbatas dan hanya 6 bulan.

“Pasal itu telah memberikan perlindungan dan keseimbangan terhadap buruh yang tersangkut perkara pidana,” lanjut Irianto.

Sedangkan Pasal 162 ayat (1), (2) UU Ketenagakerjaan sudah pernah dimohonkan pengujian dengan No. 61/PUU-XI/2010. Putusannya, menolak permohonan pemohon, sehingga tuntutan pemohon agar buruh yang mengundurkan diri diberikan hak pesangon tidak dikabulkan.

”Karenanya, sepanjang pengujian Pasal 162 ayat (1), (2) nebis in idem. Pasal 160 ayat (3), (7), Pasal 162 ayat (1), (2) UU Ketenagakerjaan tidak bertentangan dengan UUD 1945,” tegasnya.

Dalam permohonan, Jazuli meminta MK agar Pasal 160 ayat (7) dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang dimaknai mewajibkan pengusaha untuk membayar  satu kali uang pesangon, penghargaan masa kerja, dan penggantian hak kepada pekerja yang di-PHK dengan alasan kesalahan berat (pidana).

Sedangkan dalam Pasal 162 ayat (1) dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang dimaknai mewajibkan pengusaha untuk membayar uang pesangon dua kali ketentuan Pasal 156 dan uang penghargaan masa kerja dan penggantian hak kepada buruh yang mengundurkan diri. 

Tags: