Perusahaan Go Public dapat Jatah Lebih
PP Minerba:

Perusahaan Go Public dapat Jatah Lebih

Perusahaan tambang Minerba yang sudah tercatat di Bursa Efek Indonesia bisa memperoleh lebih dari satu wilayah izin usaha pertambangan.

Sut
Bacaan 2 Menit
Salah satu proyek tambang batu bara milik PT Arutmin Indonesia.<br> Pemerintah memberikan keistimewaan bagi perusahaan tambang yang<br> go public untuk memiliki lebih dari satu WIUP. Foto: dok. PT Arutmin<br> Indonesia
Salah satu proyek tambang batu bara milik PT Arutmin Indonesia.<br> Pemerintah memberikan keistimewaan bagi perusahaan tambang yang<br> go public untuk memiliki lebih dari satu WIUP. Foto: dok. PT Arutmin<br> Indonesia

Ada keistimewaan bagi perusahaan tambang mineral dan batu bara (Minerba) yang sudah terbuka. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, memberi ruang bagi perusahaan yang sudah go public untuk memperoleh lebih dari satu wilayah izin usaha pertambangan atau disingkat WIUP.

 

Ketentuan tersebut diatur dalam pasal 9 ayat 3 yang menyatakan, dalam hal pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat 2 merupakan badan usaha yang telah terbuka (go public) dapat diberikan lebih dari satu wilayah izin usaha pertambangan.

 

Ketentuan seperti itu tidak berlaku bagi perusahaan privat atau non public. Pasal 9 ayat 2 PP No. 23/2010 menyatakan setiap pemohon sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat 1 hanya dapat diberikan satu wilayah izin usaha pertambangan. Dengan kata lain, perusahaan tambang yang belum tercatat di PT Bursa Efek Indonesia (BEI), tidak dapat memiliki lebih dari satu wilayah izin usaha pertambangan.

 

Lalu apakah ini bentuk diskriminasi terhadap perusahaan tambang non public? “Tidak sama sekali,” jawab Dewan Penasehat Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Jeffrey Mulyono kepada hukumonline. Memang, menurut Jefrrey, pada awalnya ketentuan seperti ini menimbulkan pro-kontra di kalangan pengusaha pertambangan. Bagi pengusaha tambang skala kecil, porsi lebih bagi perusahaan TBK (baca: terbuka) dianggap diskriminasi.

 

Namun, lanjut mantan Ketua Umum APBI ini, alasan pemerintah untuk memberi peluang bagi perusahaan tambang go public, semata-mata karena masalah pajak. Ketentuan ini, kata Jeffrey, untuk memperkecil upaya pengusaha tambang yang tidak membayar pajak. “Belajar dari kasus sebelumnya banyak pengusaha tambang yang tidak membayar pajak tanpa diketahui pemerintah,” ungkap Jeffrey.

 

Jeffrey menambahkan, jika perusahaan tambang sudah go public, maka pengawasan yang dilakukan pemerintah terhadap perusahaan-perusahaan tambang tersebut lebih mudah. Sebab, ada kewajiban bagi perusahaan go public, untuk menginformasikan segala aktivitas bisnis dan keuangannya ke bursa, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK), maupun pemegang saham. Sehingga pemerintah akan lebih mudah memperoleh informasi keuangan sebuah perusahaan tambang yang sudah terbuka.   

 

Tidak demikian dengan perusahaan privat. Namanya juga bukan perusahaan terbuka, maka wajar jika aktivitas bisnis dan laporan keuangannya sulit untuk diketahui publik, termasuk pemerintah.

 

Meski begitu, bukan berarti perusahaan tambang yang terbuka lebih mudah diawasi dalam soal pembayaran pajak. Sebut saja sengketa pajak antara Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan melawan PT Bumi Resources Tbk dan anak-anak usahanya seperti PT Kaltim Prima Coal dan PT Arutmin Indonesia. Saat ini Ditjen Pajak sedang menyelidiki dugaan penggelapan pajak perusahaan tambang batu bara milik keluarga Aburizal Bakrie tersebut.  

 

Sayang, Jeffrey tak mau berkomentar soal masalah ini, ketika ditanya apakah perusahaan tambang yang sudah go public dijamin mudah diawasi dalam membayar pajak ke negara. “Saya nggak mau berkomentar tentang kasus itu,” ujarnya.

 

Masalah pajak hanya salah satu alasan pemerintah untuk mengatur perusahaan yang sudah go public dapat memperoleh lebih dari satu wilayah izin usaha pertambangan. Alasan lain adalah pemerintah sepertinya ingin mendorong agar perusahaan-perusahaan tambang turut serta mengaktifkan sektor pasar modal di dalam negeri. Apalagi, saham-saham perusahaan tambang di bursa cukup aktif, bahkan di antaranya masuk dalam kategori blue chip.

 

Bukan hanya pemerintah, Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) tahun lalu pernah meminta agar perusahan tambang mendaftarkan (listing) diri ke BEI. Ketua AEI Airlangga Hartanto tahun lalu mengatakan tujuan pendaftaran ini untuk meminimalisir masalah divestasi saham, seperti sengketa antara pemerintah dengan PT Newmont Nusa Tenggara. Anggota DPR dari fraksi Golkar ini menambahakn banyak perusahaan tambang skala besar yang aset dan proyeknya di Indonesia justru tidak terdaftar di BEI.

 

Tags:

Berita Terkait