Perusahaan Harus Aktif Menyelesaikan Perselisihan Hubungan Industrial
Pelatihan Hukumonline:

Perusahaan Harus Aktif Menyelesaikan Perselisihan Hubungan Industrial

Jika perselisihan itu dibiarkan berlarut perusahaan akan rugi.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Para peserta pelatihan hukumonline berpose bersama. Foto: PROJECT
Para peserta pelatihan hukumonline berpose bersama. Foto: PROJECT

Penting bagi perusahaan untuk memperhatikan masalah hubungan industrial yang ada di lingkungan organisasi perusahaan. Jika tidak diselesaikan segera, persoalan yang muncul akan berdampak negatif terhadap perusahaan. Bukan mustahil, satu masalah akan melahirkan masalah lain, dan makin lama makin rumit.

 

Begitulah pandangan hakim ad hoc pengadilan hubungan industrial (PHI) Jakarta periode 2006-2016, Juanda Pangaribuan, dalam pelatihan bertema Teknik Penyelesaian Sengketa Hubungan Industrial dan Metode Penyusunan  Berkas Perkara di PHI yang diselenggarakan hukumonline.com, Rabu (13/12).

 

Menurut Juanda para pihak harus punya keinginan untuk menyelesaikan perselisihan dan jangan ada keinginan untuk membiarkan masalah jadi berlarut. Pihak yang paling utama memiliki iktikad untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial, khususnya terkait pemutusan hubungan kerja (PHK) yakni perusahaan. Pengakhiran hubungan kerja itu harus dilakukan perusahaan sampai selesai, jangan dibiarkan berlarut atau menunggu keaktifan pekerja.

 

Perusahaan yang tidak mau menyelesaikan perselisihan hubungan industrial yang dihadapinya menurut Juanda akan merugi. Misalnya, saat pekerja yang mengalami PHK mengajukan proses penyelesaian perselisihan sampai pengadilan, perusahaan berpotensi bakal dihukum untuk membayar kompensasi bagi pekerja antara lain upah proses. “Supaya upah proses yang dibayar pengusaha itu jumlahnya tidak membengkak, perusahaan harus segera menuntaskan perselisihan hubungan industrial terkait PHK,” katanya.

 

Dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial, Juanda menyarankan kepada pengusaha untuk menempuh prosedur yang berlaku seperti melakukan proses bipartit. Jika gagal maka berlanjut ke dinas ketenagakerjaan untuk mediasi. Tak selesai juga melalui mediasi, proses bisa dilanjutkan ke PHI.

 

Proses persidangan di PHI paling lama 6 bulan, dan upah proses yang dibayar perusahaan jika menempuh mekanisme itu paling banyak 5 sampai 6 bulan. Pengadilan bisa memutus pembayaran upah proses lebih besar jika perusahaan menelantarkan perselisihan hubungan industrial menyangkut PHK. “Ada yang diputus membayar upah proses 11 bulan, 22 bulan, bahkan sampai 51 bulan,” urai Juanda.

 

(Baca juga: MK Tolak Proses PHK dengan Permohonan).

 

Juanda berpendapat pengusaha sangat berkepentingan untuk aktif menyelesaikan perselisihan hubungan industrial karena menyangkut kredibilitas perusahaan. Perusahaan yang baik yakni tidak punya masalah hukum yang menumpuk dan menyelesaikannya. Jika perusahaan mampu menyelesaikan tugasnya itu dengan baik Juanda yakin para pekerja merasa nyaman dalam bekerja dan terjamin, sehingga berkontribusi positif terhadap produktivitas.

 

Dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial terkait PHK, Juanda mengatakan terlebih dulu harus menempuh mekanisme bipartit. Mekanisme itu sebagai ajang komunikasi antara manajemen dengan pekerja yang bersangkutan. Jika para pihak berhasil mencapai kesepakatan, selanjutnya harus dibentuk perjanjian bersama (PB) yang didaftarkan ke PHI.

 

(Baca juga: Menelisik Hukum Acara Pengadilan Hubungan Industrial).

 

Tapi para pihak tidak perlu menempuh mekanisme PHI jika bisa dicapai kesepakatan pada tahap bipartit atau mediasi. Jika kesepakatan itu tercapai, para pihak harus membuat PB yang didaftarkan ke PHI. Pendaftaran PB itu penting agar menjadi hukum yang mengikat. Kemudian memastikan para pihak melaksanakan PB itu dengan mencantumkan peringatan, bagi pihak yang tidak melaksanakan PB atau mengingkarinya maka pihak yang dirugikan bisa mengajukan eksekusi ke pengadilan. “Kedudukan PB itu sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap,” tukasnya.

 

Selain itu Juanda mengingatkan kesepakatan yang tertuang dalam PB bisa lebih rendah atau tinggi dari ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Misalnya, mengenai kompensasi pengakhiran hubungan kerja, pihak pekerja mau menerima hak yang jumlahnya lebih rendah dari ketentuan. Jika pekerja melakukan itu secara sadar, tanpa tekanan dan intimidasi maka dapat dituangkan dalam PB dan menandatanganinya.

 

(Baca juga: Pekerja Kritik Mekanisme PHI).

 

Bisa juga terjadi sebaliknya, pengusaha rela menambah kewajibannya untuk membayar kompensasi kepada pekerja, yakni besarannya lebih tinggi daripada ketentuan. Menurut Juanda berbagai kemungkinan itu bisa terjadi dalam kesepakatan para pihak. “Paling penting dalam membuat PB, para pihak harus menyadarinya dengan baik. Kalau keberatan dan dirasa merugikan maka PB itu jangan ditandatangani karena PB itu sifatnya mengikat,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait