Perubahan Tarif Pph Ibarat Sebuah Pisau Bermata Dua
Kolom

Perubahan Tarif Pph Ibarat Sebuah Pisau Bermata Dua

Hari ini PP No 34/2016 berlaku. Semoga setelah PP ini akan dibuat peraturan pelaksanaan atau peraturan tekhnis yang lebih jelas agar penerapannya nanti dalam praktik tak timbulkan gairah untuk jual beli property semakin surut di era ekonomi yang lesu ini.

Bacaan 2 Menit
Irma Devita Purnamasari. (Dok Pribadi)
Irma Devita Purnamasari. (Dok Pribadi)
Para pelaku bisnis di Indonesia saat ini masih sibuk dengan adanya program pengampunan pajak sedang gencar disosialisasikan. Pada saat yang berdekatan, tepatnya 8 Agustus lalu Pemerintah mengundangkan Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan, Dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Atas Tanah Dan Atau Bangunan Berserta Perubahannya (selanjutnya akan disebut: “PP No 34/2016”). PP No 34/2016 ini berlaku terhitung sejak tanggal 8 September 2016. Hari ini. 
Melalui PP No. 34/2016 ini, ditegaskan meski baru ditanda-tangani Perjanjian Pengikatan Jual Beli (“PPJB”) atas tanah dan/atau bangunan, pihak penjual sudah wajib membayar pajak penghasilan (“PPh”). Hal ini sebenarnya sudah diatur dalam Surat Edaran Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-30/PJ/2014 tentang:  Pengawasan Atas Transaksi Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan Melalui Jual Beli yang efektif berlaku sejak tanggal 14 Agustus 2014 lalu. Namun PP No.34/2016 tersebut mengatur lebih luas mengenai prosedur dan tata cara perhitungan bahwa pengenaan Pph tersebut, tak hanya terhadap PPJB tersebut, melainkan terhadap seluruh pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan melalui penjualan, tukar menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah, atau cara lain yang disepakati antara para pihak.
Terbitnya PP No. 34/2016 ini juga menjadi perbincangan yang tidak kalah hangatnya terutama bagi pelaku jual beli property, baik perorangan maupun pengembang. Karena di dalam pasal 2 PP No.34/2016 tersebut ditegaskan bahwa tariff Pajak Penghasilan (Pph) terhadap jual beli atas tanah dan/atau bangunan, TURUN dari semula sebesar 5% (lima persen) menjadi :
* 2,5% dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan; selain untuk pengalihan tanah dan/atau bangunan berupa rumah sederhana dan rumah susun sederhana yang dilakukan oleh wajib pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan (misalnya pengembang). 
* 1% dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berupa Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh wajib pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
* 0% atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada Pemerintah, BUMN yang mendapat penugasan khusus dari Pemerintah, atau BUMD yang mendapat penugasan khusus dari kepala daerah, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
Perjanjian Pengikatan Jual Beli atau Akta Pengikatan Jual Beli juga Kena Pajak
Turunnya tarif Pph terhadap pengalihan hak atas tanah dan bangunan menjadi 2,5% persen dan 1% untuk rumah sederhana dan rusun sederhana tersebut, di ikuti dengan semakin bertambahnya objek pengenaan Pph. Dimana semula dikenakan hanya pada saat transaksi pengalihan dilakukan secara formil, yaitu saat/sebelum ditandatanganinya akta jual beli, akta hibah atau akta pengalihan hak lainnya, namun sekarang Pph juga harus sudah dibayarkan sebelum penanda-tanganan PPJB atau akta PJB nya. Tak hanya itu, pengenaan Pph 2,5% dikenakan terhadap penandatanganan PPJB atau akta PJB berikut seluruh perubahan-perubahannya kemudian. Jadi tidak harus menunggu tandatangan akta Jual Beli atau akta peralihan haknya sudah harus langsung membayar Pph pada saat PPJB ditandatangani. 
Dengan demikian, pengenaan Pph tersebut bukan para peristiwa hukum dialihkannya tanah dan bangunan dimaksud, melainkan pada saat penghasilan atas pengalihan hak tersebut diperoleh. Secara prinsip hukum, pada dasarnya peralihan hak dan kewajiban atas transaksi pengalihan tanah dan/atau bangunan terjadi sejak tanggal ditandatanganinya akta peralihan haknya, misalnya : akta jual beli atau akta hibah. Jadi pajak penghasilan (Pph) dan Bea Perolehan hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) tersebut harus dibayar sebelum atau pada saat di tanda-tanganinya akta Peralihan Hak dimaksud. 
Untuk dapat ditanda-tanganinya akta peralihan hak (misalnya akta jual beli) atas tanah dan bangunan, harus dilakukan secara terang dan tunai. Artinya harga sudah lunas dibayarkan, dan tidak ada perhitungan apapun lagi, serta untuk tanah yang dialihkan sudah tidak ada proses apapun yang menyebabkan asli sertifikat belum bisa langsung di proses baliknamanya. 
PPJB atau akta PJB tersebut secara awam sering disebut “Pra Jual Beli”. Artinya belum ada pelaksanaan jual beli atau pengalihan haknya secara formal; yang ada barulah “hak preference”. PPJB atau akta PJB tersebut dalam praktik biasa digunakan dalam hal pembeli/penerima hak belum dalam melunasi kewajiban pembayaran/ganti ruginya, atau jika tanah masih sedang dalam proses pemecahan, penggabungan, pemisahan/pertelaan, pensertifikatan dan lain sebagainya, sehingga masih belum dapat dibuatkan akta jual belinya. Karena calon pembeli secara hukum baru memiliki “hak preference” untuk membeli. Sehingga kedudukannya masih “calon pembeli” dan belum menjadi pembeli atau pemilik. Calon pembeli baru berubah menjadi pemilik pada saat dilaksanakannya penanda-tanganan akta jual beli atau peralihan hak lainnya. 
Penurunan Tarif Pph Tak Hanya untuk Pengembang
Rumour yang beredar di masyarakat saat ini, PP No. 34/2016 tersebut hanya berlaku untuk pengembang yang melaksanakan transaksi jual beli. Padahal bukan demikian, karena secara tegas dinyatakan dalam pasal 1 PP No.34/2016 dan penjelasannya di tegaskan bahwa: 
“Untuk penghasilan yang diterima oleh orang pribadi maupun badan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, serta penghasilan yang timbul dari perjanjian pengikatan jual beli beserta perubahannya, baik dalam kegiatan usahanya maupun di luar usahanya, wajib dibayar atau dipungut pajak Penghasilannya pada saat terjadinya transaksi dan pengenaan Pajak Penghasilan tersebut bersifat final.”
Jadi dapat disimpulkan bahwa tarif baru ini berlaku tidak hanya untuk pengembang yang menjalankan kegiatan usaha jual beli property, melainkan juga untuk perorangan siapapun juga yang melakukan jual beli. 
Akta perubahan terhadap PPJB atau Akta PJB juga dikenakan pajak penghasilan
Dalam PP No 34/2016 tersebut diatur bahwa pengenaan pajak atas penghasilan dari transaksi pengalihan hak tersebut tidak hanya terhadap PPJB atau akta PJB yang pertama kali ditanda-tangani, melainkan termasuk juga pada perubahan-perubahannya. Jadi begini, misalnya:
Amir membeli rumah dari pengembang PT. XYZ seharga Rp.500jt secara tunai, namun karena sertifikat masih belum dipecah, maka antara pengembang dengan Amir masih dibuatkan PPJB.
Suatu hari Amir menjual kepada Budi sebesar Rp. 600jt. Sehingga selanjutnya AJB dilakukan antara PT XYZ dengan Budi. Amir berkewajiban membayar Pph karena pengalihan tersebut. Itu diilustrasikan sebagai Contoh Pertama.
Jika ilustrasi di atas dikenakan terhadap Pph terkait dengan peralihan dengan menggunakan akta PJB atau PPJB, dalam penjelasan PP No. 34/2016 tersebut juga ditegaskan bahwa pengenaan Pph 2,5% tidak hanya dari harga pokok property yang dijual saja, melainkan termasuk additional cost lainnya, seperti: “uang pemandangan”, “uang kelebihan tanah”, merubah menjadi spesifikasi rumah/apartemen menjadi lebih tinggi kualitasnya dll. Demikian pula jika pembeliannya dilakukan dengan cara mencicil, tetap saja dikenakan Pph 5% sejak cicilan pertama dibayarkan.
Contoh Kedua:
Andi membeli 1 (satu) unit apartemen seharga Rp 1 Milyar dari pengembang PT. XYZ. Andi membayar uang muka sebesar Rp.400jt pada tanggal 25 Februari 2Ol7 dan sisanya diangsur selama 24 (dua puluh empat) bulan. Meskipun belum dilakukan penandatanganan akta jual beli antara PT XYZ dengan Andi (karena harganya belum lunas), namun atas transaksi tersebut telah terutang Pajak Penghasilan yaitu pada saat diterimanya uang muka sebesar Rp400jt dan saat diterimanya angsuran sebesar Rp25juta  setiap bulannya. Jika PT. XYZ mengenakan tambahan biaya sebesar Rp.1jt sebagai kompensasi pembayaran melalui angsuran selain pokok angsuran setiap bulan yang sebesar Rp25jt tersebut, maka dasar pengenaan Pph setiap bulannya adalah sebesar Rp26jt.
Karena sudah menerima uang muka sebesar Rp.400jt, maka PT. XYZ wajib membayarkan Pph yang terutang atas pembayaran uang muka, yaitu sebesar 2,5% dari Rp400jt atau sebesar Rp10juta paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan Maret 2017.
Yang dikecualikan dari pembayaran PPh
Dalam pasal 6 PP No. 34/2016 di atur juga mengenai siapa saja yang dikecualikan dalam kewajiban pembayaran PPh tersebut, yaitu:
Orang pribadi yang penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak dengan jumlah bruto pengalihannya < Rp60jt
Hibah orang pribadi kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil,
badan yang menghibahkan kepada badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang menjalankan  usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang  hibah tersebut tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak- pihak yang bersangkutan;pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan karena waris;
orang pribadi atau badan yang melakukan pengalihan harta berupa bangunan dalam rangka melaksanakan perjanjian bangun guna serah, bangun serah guna, atau pemanfaatan barang milik negara berupa tanah dan/ atau bangunan;
Namun demikian, dalam praktiknya bebas Pph tersebut tidak semata-mata Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah ataupun Pejabat Lelang dapat langsung bebas melaksanakan transaksi pengalihan hak atas tanah dan bangunan. Para pejabat umum tersebut wajib tetap mengurus Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan (SKB Pph) di kantor Pelayanan Pajak setempat. 
Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 20/PJ/2015 Tentang Pemberian Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan Karena Warisan, tertanggal 18 Maret 2015, ditegaskan bahwa:
“SKB PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan hanya diberikan apabila tanah dan/atau bangunan yang menjadi objek pewarisan telah dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh pewaris, kecuali pewaris memiliki penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak.”
Artinya, jika semasa hidupnya Pewaris tidak/belum mendaftarkan asset yang diwariskan tersebut ke dalam SPT Tahunan pewaris, maka terhadap pewarisan tersebut pihak Pewaris tetap di kenakan kewajiban pembayaran Pph kecuali Pewaris berpenghasilan di bawah PTKP. Siapa yang harus menanggung jika terhadap warisan tersebut dikenakan pajak? Tentu saja menjadi beban dari para ahli waris. 
Sebagai catatan saya, mengingat saat ini sedang gencar-gencarnya dilakukan tax amnesty, untuk menghindari kemungkinan tersebut, alangkah baiknya agar seluruh asset-asset yang belum terdaftar di dalam SPT Tahunan di ikutkan dalam program tersebut. Tujuannya agar para ahli waris tidak dibebani dengan beban tambahan pajak di kemudian hari saat menerima warisan.
Nilai yang dirujuk untuk Menghitung Pph Penglihan Hak
Selama ini dalam praktik, untuk menetapkan dasar perhitungan pajak adalah nilai tertinggi antara harga pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dimaksud dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang tertera dalam SPT PBB tahun berjalan. Dalam PP No.34/2016 tersebut sudah ditetapkan bahwa untuk menetapkan nilai yang dirujuk sebagai dasar perhitungan PPh peralihan hak, dapat mengacu pada hal-hal sebagai berikut:
-Berdasarkan Keputusan pejabat yang berwenang 
-Menurut risalah lelang, dalam hal pengalihan hak sesuai dengan dengan peraturan lelang (Vendu Reglement Staatsblad Tahun 1908 Nomor 189 Beserta perubahannya)
-Nilai yang seharusnya diterima atau diperoleh, dalam hal pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan melalui jual beli yang dipengaruhi hubungan istimewa
Nilai yang sesungguhnya diterima atau diperoleh, dilakukan melalui jual beli yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa, nilai yang seharusnya diterima atau diperoleh  berdasarkan harga pasar, dilakukan melalui  tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, hibah, waris, atau cara lain yang disepakati antara para pihak. 
Nilai-nilai yang ditetapkan tersebut berdasarkan jenis transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, dan menjadi dasar perhitungan berapa besarnya Pph yang harus dibayar oleh pihak yang mengalihkan (Penjual/pemberi hibah/pihak yang melepaskan). 
Pembayaran Pph Harus Dibayar Sebelum Teken Akta atau Perjanjian
Dalam PP No.34/2016 tersebut dinyatakan bahwa pembayaran Pph atas pengalihan tanah dan/atau bangunan tersebut harus dilakukan sebelum penanda-tanganan akta pengalihan haknya, atau sebelum penanda-tanganan PPJB atau akta PJB nya berikut perubahan-perubahannya. Dalam hal PPJB yang ditanda-tangani oleh pengembang, maka pembayaran pajak harus dilakukan pada tanggal 15 bulan berjalan atau pada bulan berikutnya.
Dalam hal terdapat perjanjian pengalihan jual beli sebagaimana diilustrasikan pada Contoh Pertama di atas, maka pihak pembeli (dalam contoh tersebut : Amir) yang berkewajiban membayarkan PPhnya terhadap transaksinya dengan Budi. Pihak Pengembang PT XYZ hanya menanda-tangani akta perubahannya setelah mendapatkan bukti pembayaran berupa SSP terhadap Pph tersebut, dan selanjutnya melaporkan perubahan terhadap PPJB tersebut ke Direktorat Jendral pajak setempat (pasal 6 ayat 2).
Pembaca yang budiman, PP No.34/2016 ini sekali lagi saya tegaskan tidak hanya untuk pelaku bisnis property (pengembang) saja, melainkan untuk transaksi pengalihan hak secara umum bagi orang perorangan. Turunnya nilai Pph terhadap pengalihan hak ini merupakan pisau bermata dua bagi para pelaku bisnis di bidang property. Di satu sisi, tentunya dengan turunnya tariff Pph terhadap transaksi pengalihan hak atas tanah dan bangunan tersebut di harapkan akan dapat menambah gairah jual beli atas tanah dan/atau bangunan di sector property. 
Namun di sisi lain, ditengarai akan terdapat pembebanan pajak penghasilan secara berkali-kali terhadap 1 unit property, dalam hal pada saat dilaksanakannya PPJB ternyata harus dilakukan addendum atau pengalihan ataupun pembatalan terhadap transaksi atas unit yang sama. Hal ini tentunya akan dibantah dengan dalil bahwa pengenaan Pph bukan pada objek yang ditransaksikan, melainkan pada penghasilan yang diterima dari transaksi pengalihan tanah dan bangunannya. 
Semoga setelah PP No.34/2016 ini akan dibuat peraturan pelaksanaan atau peraturan tekhnis yang lebih jelas agar penerapannya nanti dalam praktik tidak menimbulkan gairah untuk jual beli property semakin surut di era ekonomi yang sedang lesu saat ini. 
*) Praktisi hukum dan Penulis – tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis. 
Tags: