Akibatnya, tambah Hariadi, sudah terjadi hampir 48 persen kerusakan kawasan konversi (hutan lindung) di DAS Barito itu. Implikasinya, banjir pun tak hanya terjadi di daerah hilir, tapi juga sudah merembet ke daerah hulu. Hal yang sama juga terjadi di Sulawesi Selatan. Bahkan banjir yang menggenangi, bisa sampai satu minggu lamanya.
Tidak bisa dimanipulasi
Lebih jauh Hariadi mengatakan, ada tiga variabel untuk menentukan klasifikasi hutan lindung atau hutan produksi. Yaitu kelerengan, jenis tanah dan curah hujan. Ketiga variabel ini punya kombinasi, apabila lerengnya curam, tanahnya tidak liat, tentu mudah longsor.
Dalam praktik, menurutnya hal ini bisa dibuat scoring dengan angka tertentu untuk menentukan klasifikasi hutan. Sebenarnya, klasifikasi ini tidak bisa dimanipulasi, karena ketiganya adalah unsur alam, terangnya.
Perubahan tata ruang ini, lanjut Hariadi, merupakan usulan pemerintah daerah. Dengan data yang mereka olah, DPRD kemudian mengeluarkan keputusan (Perda Provinsi). Sehingga, kalau ditelusuri landasan teknis dari perubahan tersebut, terdapat data yang memanipulasi tiga variabel itu.
Sebagaimana diberitakan, Tim Advokasi Penyelamat Hutan Lindung (TAPHL) mengajukan judicial review terhadap UU No 19/2004 tentang Kehutanan. TAPHL menilai pengaturan dalam peraturan tersebut, tidak sesuai dengan kondisi hutan yang sudah sangat kritis. Sebab, dalam UU No 19/2004, dimungkinkan adanya pertambangan terbuka.
Tetapi di sisi lain, pemerintah menilai, ketentuan Pasal 38 ayat (4) UU No 41/1999 menyatakan, Pada kawasan hutan lindung dilarang dilakukan penambangan dengan pola penambangan terbuka, telah menimbulkan ketidakpastian hukum dalam usaha di bidang pertambangan di kawasan hutan. Pasalnya, ada pihak yang menerima izin atau perjanjian sebelum UU No 41/1999 berlaku
Menurut Hariadi, perubahan tata ruang yang dulunya hutan lindung menjadi hutan produksi, sarat kepentingan politis dan tidak didasarkan pada data sesungguhnya.
Dia melihat, seperti yang terjadi di Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito, Kalimantan Tengah, Palangkaraya. Kemudian juga di Riau, Lampung serta wilayah lainnya. Berdasarkan data yang dimilikinya, dari empat perusahaan pertambangan yang ada di DAS Barito, telah terjadi perubahan kawasan hutan lindung sekitar 36 ribu hektar.
Hariadi berpendapat, perubahan status kawasan hutan, mestinya harus mendapat izin Menteri Kehutanan melalui Badan Planologi Kehutanan. Namun, sejak berlakunya otonomi daerah, baik tata ruang provinsi maupun kabupaten, dikeluarkan oleh DPRD.
Proses di DPRD-nya itulah yang kalau kita lihat proses administrasinya itu tidak sejalan dengan SK tahun 1998 Kepala Badan Planologi Kehutanan di Departemen Kehutanan. Mestinya pertentangan ini diketahui, tapi keputusan DPRD jalan terus, cetusnya.