Pertimbangkan Hal Ini Sebelum Menempuh Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase
Terbaru

Pertimbangkan Hal Ini Sebelum Menempuh Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase

Beberapa diantaranya seperti harus ada Perjanjian Arbitrase; instrumen pelaksanaan putusan provisi dan putusan sela belum efektif; sampai dengan masalah biaya perkara yang lebih mahal dibanding pengadilan.

Ferinda K Fachri
Bacaan 3 Menit
Partner Soemadipradja & Taher (S&T) Erie Hotman Tobing (kiri) dalam webinar 'Strategi dan Aspek Penting Teknik Beracara Arbitrase dalam Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan', Kamis (20/7/2023). Foto: FKF
Partner Soemadipradja & Taher (S&T) Erie Hotman Tobing (kiri) dalam webinar 'Strategi dan Aspek Penting Teknik Beracara Arbitrase dalam Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan', Kamis (20/7/2023). Foto: FKF

Mengupas tuntas seputar Arbitrase, Hukumonline menggelar Webinar bertajuk “Strategi dan Aspek Penting Teknik Beracara Arbitrase dalam Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan”, Kamis (20/7/2023). Acara yang diikuti antusiasme peserta ini diawali dengan pembahasan UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase) sebagai pijakan dasar praktik Arbitrase di Indondesia.

“Dari bunyi Pasal 1 angka 1 UU Arbitrase ini artinya perjanjian arbitrase itu harus diperjanjikan terlebih dahulu. Tidak bisa ujuk-ujuk jika terjadi sengketa para pihak, atau salah satu pihak yang merasa dirugikan atas sengketa itu datang langsung ke arbitrase tanpa perjanjian,” ungkap Partner Soemadipradja & Taher (S&T) Erie Hotman Tobing dalam pemaparannya, Kamis (20/7/2023).

Baca Juga:

Pasal 1 angka 1 UU Arbitrase selengkapnya mendefinisikan Arbitrase sebagai cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

Dengan kata lain, arbitrase tak dapat dipaksakan penggunaannya bila belum ada perjanjian para pihak. “Jadi ketika ada sengketa, yang harus diperhatikan dahulu adalah eksistensi dari perjanjian arbitrasenya. Dalam perjanjian biasanya ada klausul hak dan kewajiban atau klausul lainnya, biasanya juga ada klausul penting harus diperhatikan yaitu klausul governing law dan penyelesaian sengketa,” kata dia.

Termasuk dalam hal choice of jurisdiction penting diperhatikan untuk menentukan bagaimana sengketa diselesaikan. Apakah melalui pengadilan, arbitrase, atau mekanisme lainnya. Bila hendak menyelesaikan sengketa melalui arbitrase, maka sudah sepatutnya perjanjian arbitrase wajib ada.

“Perlu melakukan pertimbangan pemilihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Seperti kenapa memilih arbitrase daripada pengadilan? Saya sudah mencoba merangkum alasan apa yang biasanya arbitrase itu merupakan pilihan yang diperjanjikan,” ungkap Erie.

Banyak orang memilih arbitrase lantaran beberapa alasan. Di antaranya arbitrase dipilih karena keahlian hingga disebut sebagai pengadilan para ahli; para pihak memiliki kebebasan untuk memilih aturan yang mengatur; arbitrase bersifat sangat pribadi dan rahasia.

Kemudian arbitrase memberikan resolusi yang lebih cepat daripada proses pengadilan; less formal; putusan bersifat final and binding dengan tidak ada banding; serta putusan arbitrase lebih mudah ditegakkan perbatasan daripada putusan pengadilan.

“Tapi ada beberapa catatan saya terkait arbitrase ini. Karena sifatnya dia perjanjian, maka kalau tidak ada perjanjian arbitrase, maka gak bisa pergi ke arbitrase. Kalau arbitrase harus kesepakatan kedua belah pihak karena timbulnya kewajiban arbitrase itu dari perjanjian para pihak itu.”

Hal lainnya ialah mengenai pelaksanaan putusan selain putusan akhir yang dikeluarkan majelis arbitrase (putusan sela, dan sebagainya). Menurutnya, ketentuan yang mengatur hal ini maupun kerja sama antara lembaga arbitrase dengan pengadilan belum ada secara teknis. Hal ini menjadi kendala meski para pihak mengajukan permohonan yang sifatnya sela itu perlu penetapan.

“Secara praktik belum bisa dilaksanakan. Secara praktik ya, bukan teori. Ini salah satu feature yang perlu dipertajam dalam rangka enhancement arbitration institution atau institution di Indonesia. Kemudian permasalahan legal or ex aequo et bono. Konsepnya di pengadilan itu selalu ada, kalau di arbitrase agak rancu,” terangnya.

Selanjutnya catatan Erie juga mengenai biaya perkara. Patut diakui, biaya per perkara di arbitrase jauh lebih besar bila dibandingkan dengan mengajukan gugatan di pengadilan. Terakhir, dalam konteks international commercial arbitration itu bisa lebih lama.

Advokat itu menuturkan bahwa faktanya saat ini terjadi pertumbuhan penggunaan arbitrase baik di level domestik maupun internasional. Bukan tanpa alasan, tetapi penyelesaian sengketa melalui arbitrase lebih diterima di kalangan dunia usaha.

Terlebih saat ini beberapa industri telah mempunyai institusi arbitrasenya masing-masing. Sebut saja seperti LAPS SJK (Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan) untuk sektor Jasa Keuangan; Badan Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia (BADAPSKI) untuk sektor Konstruksi; serta LPS PBJP di bawah LKPP untuk Pengadaan Barang dan Jasa pemerintah.

Tags:

Berita Terkait