Pertimbangan Putusan MA Soal Caleg Terbaik Versi Parpol yang ‘Memakan Korban’
Berita

Pertimbangan Putusan MA Soal Caleg Terbaik Versi Parpol yang ‘Memakan Korban’

KPU tidak dapat memenuhi permohonan PAW atas nama Rezky Aprilia kepada Harun Masiku.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Komisioner KPU Wahyu Setiawan (mengenakan rompi tahanan) langsung digiring ke rumah tahanan usai diperiksa penyidik di Gedung KPK di Jakarta, Jumat (10/1) dinihari, pasca terjaring Operasi Tangap Tangan (OTT) di Bandara Soeta pada Rabu (8/1). Foto: RES
Komisioner KPU Wahyu Setiawan (mengenakan rompi tahanan) langsung digiring ke rumah tahanan usai diperiksa penyidik di Gedung KPK di Jakarta, Jumat (10/1) dinihari, pasca terjaring Operasi Tangap Tangan (OTT) di Bandara Soeta pada Rabu (8/1). Foto: RES

Ada yang menarik dari Fatwa Mahkamah Agung yang disampaikan kepada Komisi Pemilhan Umum (KPU) melalui Surat Mahkamah Agung Nomor 37/Tuaka.TUN/IX/2019 tanggal 23 September 2019. Fatwa ini dikeluarkan MA menyusul permintaan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) agar MA mengeluarkan fatwa terkait putusan MA-RI No.57.P/HUM/2019 tanggal 19 Juli 2019. Putusan tersebut kemudian dijadikan dasar oleh PDIP dalam menentukan Pergantian Antara Waktu (PAW) terhadap caleg terpilih yang telah meninggal dunia.

Melalui fatwanya, MA mengigatkan agar KPU melaksanakan putusan MA-RI No.57.P/HUM/2019. Diketahui, salah satu pertimbangan hukum putusan MA menyatakan, “Penetapan Suara Calon Legislatif yang meninggal dunia, kewenangannya diserahkan kepada Pimpinan Partai Politik untuk diberikan kepada Calon Legislatif yang dinilai terbaik”.

Pada prosesnya, PDIP telah mengajukan permohonan kepada KPU yang pada pokoknya meminta calon yang telah meninggal dunia atas nama Nazarudin Kiemas, nomor urut 1, Sumatera Selatan I, suara sahnya dialihkan kepada calon atas nama Harun Masiku, SH, nomor urut 6, Sumatera Selatan I. Terhadap permintaan ini, KPU menyatakan tidak dapat mengakomodir permohonan DPP PDI Perjuangan karena tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

“Amar putusan MA juga tidak secara eksplisit memerintahkan hal yang diminta oleh DPP PDI Perjuangan kepada KPU,” sebagaimana disebutkan dalam dokumen kronologi penetapan calon terpilih anggota DPR tahun 2019 Dapil Sumatera Selatan 1, yang dirilis KPU, Jumat (10/1).

(Baca: Uji Materi Peraturan KPU Berujung Suap dan OTT Komisioner KPU)

KPU menegaskan berdasarkan hasil rekapitulasi nasional tanggal 21 Mei 2019, KPU melaksanakan Rapat Pleno penetapan Kursi dan Calon Terpilih pada tanggal 31 Agustus 2019 dan menetapkan antara lain untuk Dapil DPR Sumsel I: DPP PDI Perjuangan memperoleh 1 (satu) kursi; Calon Terpilih atas nama Rezky Aprilia.

KPU mengakui pada rapat pleno tersebut, saksi DPP PDI Perjuangan mengajukan keberatan atas pembacaan draf keputusan KPU untuk Dapil Sumsel I, dan mengajukan permohonan yang sama dengan yang diajukan sebelumnya melalui surat Nomor 2576/EX/DPP/VIII/2019 tanggal 5 Agustus 2019 perihal Permohonan Pelaksanaan Putusan MA (Mahkamah Agung) Republik Indonesia No. 57P/HUM/2019.

Merespons permohonan ini, Ketua KPU Arief Budiman membacakan surat KPU nomor 1177/PY.01.1-SD/06/KPU/VIII/2019 tanggal 26 Agustus 2019 perihal Tindak Lanjut Putusan MA (Mahkamah Agung) Nomor 57P/HUM/2019 dalam rapat pleno tersebut dan tetap pada keputusan awal.

Selanjutnya, KPU menetapkan perolehan kursi DPR melalui Keputusan KPU Nomor 1317/PL.01.9-Kpt/06/KPU/VIII/2019 tanggal 31 Agustus 2019 dan Calon Terpilih DPR melalui Keputusan KPU Nomor 1318/PL.01.9-Kpt/06/KPU/VIII/2019 tanggal 31 Agustus 2019.

(Baca: Tertangkapnya Komisioner KPU Tak Boleh Ganggu Pilkada Serentak)

Terhadap surat DPP PDIP tertanggal 6 Desember 2019, perihal Permohonan Pelaksanaan Fatwa Mahkamah Aggung dengan lampiran fatwa MA yang pada pokoknya memohon kepada KPU untuk melaksanakan PAW Rizky Aprilia sebagai anggota DPR Dapil Sumatera Selatan I kepada Harun Masiku, KPU melalui surat KPU Nomor 1/PY.01-SD/06/KPU/I/2019 tanggal 7 Januari 2020 menjawab perihal Penjelasan, yang pada pokoknya KPU tidak dapat memenuhi permohonan PAW atas nama Rezky Aprilia kepada Harun Masiku.

“Karena tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan, dalam hal ini ketentuan Pasal 5 ayat (1), Pasal 6 ayat (1), dan Pasal 9 ayat (1) Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penggantian Antarwaktu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota,” penjelasan KPU.

Kemudian di hadapan wartawan, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Lili Pintauli Siregar, menjelaskan seorang swasta yang bernama Saeful menghubungi orang dekat dari Komisiner KPU Wahyu Setiawan,  Agustiani Tio Fridelina. Agustiani diketahui merupakan mantan Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Selanjutnya, Agustiani mengirimkan dokumen dan fatwa MA yang didapat dari Saeful kepada Wahyu untuk membantu proses penetapan Harun Masiku.

"WSE menyanggupi membantu dengan membalas: Siap, mainkan!" ujar Lili saat jumpa pers, Kamis (9/1), di Gedung KPK.

Untuk membantu penetapan Harun sebagai anggota DPR Pengganti Antar Waktu, Wahyu meminta dana operasional Rp900 juta. Untuk merealisasikan hal tersebut dilakukan dua kali proses pemberian, yaitu pada pertengahan Desember 2019 dari salah satu sumber sebesar Rp400 juta melalui Agustiani, Saeful dan Doni yang ditujukan untuk Wahyu. Sebelumnya Wahyu juga menerima uang dari Agustiani sebesar Rp200 juta di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan.

"Pada akhir Desember 2019, HAR memberikan uang pada SAE sebesar Rp850juta melalui salah seorang staf di DPP PDIP," jelas Lili.

Rinciannya Saeful memberi uang Rp150 juta kepada Doni, lalu sisanya RpRp700 juta yang masih dibagi menjadi Rp450 juta pada Agustiani, Rp250 juta untuk operasional. Dari Rp450 juta yang diterima, sejumlah Rp400 juta merupakan suap yang ditujukan untuk Wahyu yang masih disimpan Agustiani.

Selasa, 7 Januari 2020 berdasarkan hasil rapat Pleno, KPU menolak permohonan PDIP untuk menetapkan Harun sebagai PAW dan tetap pada keputusan awal. Setelah gagal di Rapat Pleno KPU, Wahyu kemudian menghubungi Doni dan menyampaikan telah menerima uang dan akan mengupayakan kembali agar Harun menjadi PAW.

Sehari berselang, Wahyu meminta sebagian uangnya yang dikelola oleh Agustiani. Setelah hal ini terjadi, tim KPK melakukan OTT dan menemukan serta mengamankan barang bukti uang RP400 juta yang berada di tangan Agustiani dalam bentuk dolar Singapura. "Setelah melakukan pemeriksaan dan sebelum batas waktu 24 jam sebagaimana diatur dalam KUHAP, dilanjutkan dengan gelar perkara, KPK menyimpulkan adanya dugaan Tindak Pidana Korupsi menerima hadiah atau terkait penetapan anggota DPR-RI Terpilih tahun 2019-2024," kata Lili.

Sementara itu, Ketua Bawaslu Abhan menegaskan, penetapan Agustiani sebagai tersangka dugaan kasus korupsi tidak berkaitan dengan posisinya sebagai mantan Anggota Bawaslu periode 2008- 2012. "Penetapan ATF sebagai tersangka tidak ada kaitannya dengan posisinya saat menjabat sebagai anggota Bawaslu 2008 - 2012," kata Abhan di Gedung Bawaslu, Jumat (10/1).

Abhan menegaskan setelah selesai menjabat sebagai anggota Bawaslu, Agustiani bergabung menjadi aktivis partai politik. Dia menyatakan, posisi terakhir Agustiani pada Pemilu 2019 bertarung sebagai calon legislatif (caleg) dari PDI Perjuangan daerah pilihan (dapil) Provinsi Jambi yang bersaing dengan 108 caleg lainnya. "Yang kami ketahui beliau adalah caleg DPR RI dapil Provinsi Jambi. Sekali lagi kami tegaskan tidak ada kaitannya dengan Bawaslu RI," tegas dia.

Sementara untuk status Wahyu sebagai Komisione KPU, Abhan menyebutkan pihaknya telah melaporkan Wahyu yang terjerat dugaan kasus korupsi ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Laporan dugaan pelanggaran kode etik dilayangkan ke DKPP Jumat, (10/1). Abhan mengatakan, laporan itu dilakukan karena adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan Wahyu Setiawan terkait dengan proses penetapan pergantian antar waktu (PAW) dari salah seorang anggota DPR RI.

Hal tersebut dilakukan usai melakukan pertemuan tripartit antara Bawaslu, KPU, dan DKPP. Bawaslu pun berinisiatif membuat laporan dugaan pelanggaran kode etik. Menurutnya, langkah tersebut perlu dilakukan demi menjamin kepastian status dari Wahyu Setiawan selaku Anggota KPU yang kini berstatus tersangka oleh KPK. "Terkait dugaan pelanggaran kode etik ini, kami sepakat melaporkannya ke DKPP," ujar Abhan.

Langkah Bawaslu ini pun bakal diikuti KPU. Ketua KPU Arief Budiman menegaskan, laporan pihaknya ke DKPP itu atas inisiasi bersama Bawaslu. Dirinya mengungkapkan, ada beberapa poin pertimbangan yang menjadi laporan tersebut. Pertama, dalam kasus yang menimpa Wahyu Setiawan, sebut Arief, memprihatinkan bagi penyelenggara pemilu seperti KPU. Kedua, lanjutnya, KPU merasa ada persoalan pelanggaran etik dalam kasus tersebut.

"Kami sebagai penyelenggara pemilu harus bertindak aktif agar kepercayaan publik bisa terjaga dengan baik," pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait