Pertimbangan Business Judgment Rules di Putusan Jiwasraya
Berita

Pertimbangan Business Judgment Rules di Putusan Jiwasraya

​​​​​​​Tiga direksi Jiwasraya mendalilkan BJR dalam pledoi mereka, namun majelis menganggap perbuatan mereka tidak masuk kategori BJR.

Aji Prasetyo
Bacaan 5 Menit
Para mantan petinggi Jiwasraya saat duduk di kursi pesakitan di Pengadilan Tipikor Jakarta. Foto: RES
Para mantan petinggi Jiwasraya saat duduk di kursi pesakitan di Pengadilan Tipikor Jakarta. Foto: RES

Empat orang terdakwa kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya (AJS) telah divonis bersalah melakukan tindak pidana korupsi sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Majelis hakim sepakat menghukum mantan Direktur Utama AJS Hendrisman Rahim, mantan Direktur Keuangan Hary Prasetyo dan mantan Kepala Divisi Investasi Syahmirwan serta seorang pihak swasta Joko Hartono Tirto dengan pidana penjara seumur hidup.

Dalam nota pembelaannya beberapa waktu lalu, para terdakwa khususnya tiga mantan direksi AJS mendalilkan apa yang mereka lakukan sudah sesuai dengan Business Judgment Rule (BJR). Hary Prasetyo misalnya menyatakan segala bentuk pengelolaan investasi dikaji Jiwasraya dalam kurun waktu 2008-2018 dikaji bersama-sama atau kolektif kolegial.

Kemudian anggota komite investasi jiwasraya telah memenuhi syarat-syarat Business Judgment Rules di antaranya putusan sesuai dengan hukum yang berlaku dilakukan iktikad baik, tujuan yang benar, putusan mempunyai dasar yang rasional, dilakukan dengan hati-hati dan layak dipercaya. Sebagai yang terbaik bagi perseroan.

Lalu apa kata majelis?

Awalnya majelis menjelaskan pengertian BJR yaitu melindungi setiap keputusan bisnis atas transaksi perseroan selama hal tersebut dilakukan dengan batas kewenangan dan penuh kehati-hatian dan iktikad baik. Dan dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, prinsip BJR tertuang dalam sejumlah poin.

Pertama, direksi bertanggung jawab atas pengurusan persero sebagaimana dimaksud Pasal 92 ayat (1). Kedua, kepengurusan dilaksanakan dengan penuh iktikad baik dan tanggung jawab. Ketiga, setiap anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai dalam menjalankan tugasnya.

Keempat, dalam hal direksi terdiri dari dua orang atau lebih tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tanggung jawab dilakukan secara tanggung renteng. Dan kelima anggota direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud ayat (3) apabila dapat membuktikan; kerugian bukan karena kesalahan atau kelalaian, telah melakukan pengurusan dengan iktikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan, tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung ataupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang menyebabkan kerugian, telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul kerugian tersebut.

“Menurut pasal 97 UU PT diatur syarat direksi dapat dimintai pertanggung jawaban secara pribadi adalah bersalah atau lalai menjalankan kepengurusannya dengan tidak beriktikad baik dan tidak penuh tanggung jawab,” kata majelis. (Baca: Empat Terdakwa Jiwasraya Divonis Seumur Hidup)

Selanjutnya berdasarkan keterangan ahli Prof Nidyo Pramono, iktikad terdiri dari dua yaitu iktikad baik subjektif dan obyektif. Untuk subyektif diukur dari sikap batin orang yang akan melakukan keputusan atau tindakan investasi, kalau itu satu perusahaan maka tentunya dilakukan direksi untuk kepentingan perusahaan dan tidak untuk maksud kepentingan orang lain atau pribadi. Sementara iktikad baik obyektif diukur di komunitas usaha sejenis akan sama pengambilan keputusan investasi apakah dalam pengambilan keputusan itu mempertimbangkan peraturan internal anggaran dasar dan Good Corporate Government.

Menyerahkan pengelolaan ke swasta

Sementara para terdakwa dianggap telah terbukti bekerjasama dalam pengelolaan 21 reksadana pada 13 Manajer Investasi yang telah mengakibatkan kerugian keuangan negara. Pertama mengenai pengelolaan Jiwasraya yang diberikan kepada Benny Tjokro, Heru Hidayat melalui Joko Hartono yang meliputi sejumlah hal, yaitu kesepakatan asuransi jiwasraya dengan pihak swasta dan kontrak pengelolaan dana antara 2008 – 2018 dilakukan rapat komite investasi dan dilakukan beauty contest untuk pemilihan majaner investasi.

“Namun pada kenyatannya Terdakwa Hary Prasetyo melakukan penunjukan langsung pada empat manajer investasi yakni PT AAA Sekuritas, PT Batavia Prosperindo Aset manajemen, PT Dana Reksa Investment Management dan PT Trimegah Sekuritas sebagai Manajer Investasi yang bekerjasama dengan PT Asuransi Jiwasraya,” jelas majelis.

Kemudian direksi Jiwasraya melalui Hary Prasetyo selaku Direktur Keuangan membuat arahan investasi di antaranya mengubah portofolio saham yang dimiliki Jiwasraya pada akhirnya saham bluechip yang merupakan saham BUMN yang dimiliki Jiwasraya dimasukkan dalam empat MI melalui aset settlement. Pada Mei 2008 Hendrisman Rahim melalui terdakwa Hary Prasetyo membuat kesepakatan bersama dengan Heru Hidayat dan Joko Hartono Tirto, kesepakatan tersebut memberikan pengelolaan saham sepenuhnya kepada Heru Hidayat melalui Joko Hartono dengan syarat Heru Hidayat kewajiban menjaga nilai aktiva bersih porto folio saham.

Selanjutnya Mei 2008 pada pertemuan antara Hary dan Joko Hartono, dan pada pertemuan itu Joko menyampaikan kepada Hary untuk membuka akun di HD Capital dan meminta agar Jiwasraya melakukan pembelian saham yang berisiko tinggi yaitu membeli saham PT Inti Agri Resources dan PT Trada Alam Mineral yang dimiliki Heru Hidayat yang merupakan saham kinerja buruk dan tidak liquid 45.

Aset settlement itu dinilai berdasarkan harga perolehan sejumlah Rp411 miliar ditambah uang tunai Rp75 miliar sehingga saham-saham AJS jadi kepemilikan indirect karena pengelolaannya melalui Manajer Investasi kontrak pengelolaan dana tersebut dikelola Treasurefund Investment, MI yang dikendalikan Heru Hidayat. (Baca: Tuntutan Maksimal Para Mantan Petinggi Jiwasraya)

Dan pada September 2008 hasil kontrak pengelolaan dana tersebut dikembalikan ke AJS dan portfolio komposisi saham berubah dari 90 persen saham bluechip diganti dengan saham dengan kinerja buruk diantaranya milik Heru Hidayat saham IIKP dan TRAM. “Pembelian saham kinerja buruk dan memiliki resiko tinggi tanpa Analisa investasi yang memadai dan nota intern kantor pusat sebagai salah satu syarat dan pedoman investasi AJS hanya dibuat secara performa tanpa memenuhi formalitas tanpa dibuat kajian dan analisis yang mendalam,” terang majelis.

Kemudian dalam Reksadana Penyertaan Terbatas (RDPT), Hary Prasetyo, Syahmirwan dan Hendrisman secara massif melakukan pembelian saham IIKP dan TRAM milik Heru Hidayat meskipun saham tersebut selalu mengalami penurunan harga agar saham yang dimiliki tidak tercatat rugi dibentuk reksadana penyertaan terbatas sebagai bagian dari kesepakatan para terdakwa. Dan pada akhirnya saham yang dimiliki secara langsung dari pembelian sebelumnya dipindahkan ke RDPT yang dikelola Heru Hidayat melalui Joko Hartono.

Mengubah aturan

Masih terkait RDPT, pada periode 2012 saham milik Heru Hidayat, Benny Tjokro dibeli dan dimasukkan dalam RDPT milik Jiwasraya melalui kesepakatan Heru dan Benny Tjokro atas persetujuan Hendrisman, Hary dan Syahmirwan. Pengelolaan RDPT berlangsung sejak akhir 2008 hingga 2016, saham beny dan heru dibeli jiwasraya baik secara langsung maupun melalui RDPT JIwasraya melalui MI dengan skema pengelolaan RDPT melakukan pembelian saham kinerja buruk dengan harga tinggi dengan nominee yang sama yaitu dari pihak Heru dan Benny melalui Maudy Manke, Joko Hartono serta Pieter Rasiman.

Kemudian pada November 2015, Jiwasraya membeli MTN Indojasa milik Benny Tjokro sebesar Rp199 miliar dan MTN Armadian Karyatama Rp200 miliar melalui Lautan Dana Sekurindo selaku broker. Oleh karena kedua MTN tidak memiliki rating maka dijual dan diganti dengan MTN Hanson Internasional dengan rating BBB, padahal yang dipersyaratkan rating A. MTN Indojasa Utama MTN Armadian Karyatama dijual dengan nilai yang sama dengan pembelian dan hasil penjualan masih tersimpan dalam BNI Kustodian. Hasil penjualan kedua MTN ditambah uang tunai dari JIwasraya digunakan untuk membeli MTN Hanson International sebesar Rp680 miliar melalui PT Pasific 2000 sekuritas selaku broker yang juga dimiliki oleh Benny Tjokro.

“Syahmirwan menyatakan rating BBB masih aman dan dibuat perubahan pedoman investasi setelah dibeli MTN Hanson namun dibuat backdate untuk mengakomodir pembelian dan dibuatkan SK Direksi Jiwasraya tertanggal 20 Maret yang mengubah dari peringkat A ke BBB,” tutur majelis.

Dan pada 2016 Jiwasraya membeli MTN milik Heru Hidayat yaitu MTN Mega Karya Dwipa sebesar Rp600 miliar  dan MTN Baramega Persada Investama Rp700 miliar milik Pieter Rasiman terafiliasi Heru Hidayat. MTN masuk ke RDPT dan diubah Portfolio saham oleh Joko Hartono. (Baca: BJR, Manipulasi Laporan hingga Sindiran ke Jaksa di Pledoi Para Terdakwa Jiwasraya)

Seperti dijelaskan di atas, para direksi mendalilkan BJR terkait perbuatan mereka pada pengelolaan Jiwasraya dalam nota pembelaannya. Meskipun ada perbedaan penyampaian namun majelis beranggapan inti dari pledoi mereka sama, yaitu pengelolaan Jiwasraya dengan iktikad baik tanpa ada maksud untuk merugikan keuangan negara.

Majelis pun memberikan pertimbangan yang sama pada tiga terdakwa berkaitan dengan dalil itu. Namun majelis menanyakan apakah pertimbangan itu harus diulang atau dianggap sudah dibacakan. “Kalau definisi sudah jelas Yang Mulia kami anggap saja dibacakan,” kata Maqdir Ismail, penasihat hukum Hendrisman Rahim melalui video conference saat pembacaan amar putusan.

Tags:

Berita Terkait