Pertanyaan Dua Pimpinan KPK Terkait Indeks Persepsi Korupsi Indonesia
Utama

Pertanyaan Dua Pimpinan KPK Terkait Indeks Persepsi Korupsi Indonesia

Mempertanyakan komitmen pemerintah untuk mendongkrak IPK. Indonesia menempati urutan 89 dari 180 negara yang disurvei.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit

Ditegaskan Bambang, Pemerintah pelan-pelan mencoba memperbaiki kondisi dengan menambah kesejahteraan aparat penegak hukum, seperti yang dilakukan kepada hakim. Namun, harus diakui kesejahteraan tak menjamin nihil penyimpangan. Faktanya, masih ada hakim yang tertangkap tangan KPK lantaran menerima suap. "Sekarang ada kebijakan baru tapi pola belum banyak berubah, korupsi atau suap masih terlihat, jadi kami melihat akarnya tidak hanya kesejahteraan. Akarnya itu sistem yang ada buat orang susah dapat hak," jelas Bambang.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional itu menjelaskan selama ini kasus suap yang terjadi di daerah menggunakan modus yang hampir sama, yaitu bukan dari faktor kesejahteraan. Mereka mencari celah dari sistem yang sudah dibuat untuk melakukan korupsi. "Kenapa swasta susah mendapat izin? Karena sistem kita yang buat segala sesuatu rumit. Sekarang meskipun sistem sudah diperbaiki, tetapi karena sifat manusiawi ingin sesuatu yang lebih maka itu terjadi," tuturnya.

Dalam Strategi Nasional Pemberantasan Korupsi, sistem Online Single Submission (OSS) dianggap dapat membantu mencegah korupsi. Sebab, sistem tersebut memangkas birokrasi yang berbelit-belit sehingga pihak swasta bisa mendapatkan izin lebih cepat. Selain itu dalam sistem tersebut juga mencegah pertemuan secara langsung antara pemohon izin dengan pemangku kepentingan.

Sumber data IPK

Manajer Riset Riset TII Wawan Suyatmiko memaparkan dalam melakukan riset pihaknya mempunyai sembilan sumber data yang dipergunakan untuk menyusun CPI tahun 2018. Ada dua sumber data yang menyumbang kenaikan IPK Indonesia tahun 2018 yaitu Global Insight Country Risk Ratings dan PERC (Political and Economic Risk Consultancy) Asia Risk Guide. Lima sumber data memberikan skor stagnan yakni, World Economic Forum, PRS International Country Risk Guide, Bertelsmann Foundation Transform Index, Economist Intelligence Unit Country Ratings, dan World Justice Projects. Sebaliknya, pada dua sumber data, lMD World Competitiveness Yearbook, dan Varieties of Democracy Projects, terjadi penurunan.

"Kenaikan signifikan dalam Global Insight Country Risk Ratings yang terkait proses kemudahan berusaha, perizinan, dan investasi menjadi salah satu daya ungkit yang besar untuk CPI kita. Yang stagnan dan turun banyak berbicara relasi antara pebisnis dan politisi," paparnya.

(Baca juga: 12 Masalah Penghambat Kemudahan Berusaha Hasil Analisa BPHN).

Skor IPK sendiri berada dalam rentang 0-100, di mana 0 berarti negara dipersepsikan korup, sementara skor 100 berarti dipersepsikan bersih dari korupsi. Selain Indonesia, terdapat sejumlah negara yang meraih skor IPK 37 dengan peringkat 89, yakni Bosnia-Herzegovina, Srilanka, dan Swaziland.

Menurut Wawan, di tingkat negara-negara Asia Tenggara, Indonesia menduduki peringkat ke-4 di bawah Singapura yang meraih skor 85, Brunei Darussalam (63) dan Malaysia (47). Sementara skor tertinggi atau yang dipersepsikan paling bersih dari korupsi diraih oleh Denmark (88), dan Selandia Baru (87). Peringkat ketiga ada empat negara yaitu Singapura, Finlandia, Swedia dan Swiss dengan skor IPK 85.

Sementara peringkat keempat diraih Norwegia yang meraih skor 84 disusul Belanda di peringkat kelima dengan skor 82. Lima negara yang dipersepsikan paling korup di dunia adalah Yaman dan Korea Utara (14), Suriah dan Sudan Selatan (13) serta Somalia (10).

Tags:

Berita Terkait