Pertamina Ajukan Perlawanan Eksekusi Putusan ICC
Utama

Pertamina Ajukan Perlawanan Eksekusi Putusan ICC

Pertamina menilai putusan ICC cacat hukum sehingga tidak bisa dieksekusi. Karena itu Pertamina mengajukan perlawanan atas putusan ICC ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Mon
Bacaan 2 Menit
Selain itu, putusan arbitrase dinilai melanggar ketertiban umum karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang mendudukan Pertamina sebagai pemegang otoritas kuasa pertambangan minyak dan gas (migas). Selaku kuasa, Pertamina berhak mewakili pemerintah dan mengendalikan kebijakan penetapan status komersial suatu lapangan pertambangan produksi.Dengan otoritas itu, Pertamina memiliki hak eksklusif sehingga posisinya tidak mutlak sejajar dengan pihak kontraktor dan investor dalam memenuhi pelaksanaan suatu perjanjian. Hal itu berlaku pula dalam EOR Contract antara Pertamina dan PT Lirik. EOR Contract sendiri mencantumkan pernyataan hukum yang mendudukan dan menempatkan perusahaan negara (Pertamina) memiliki kuasa pertambangan eksklusif untuk MigasNamun putusan arbitrase menampik kewenangan Pertamina. Dalam pertimbangannya, majelis arbitrase menyatakan pertamina tidak memiliki diskresi tanpa batas dan harus memutuskan dengan merujuk pada ketentuan dan jiwa dari EOR Contract. Kontrak itu mengikat secara hukum dimana Pertamina secara sukarela masuk dalam perjanjian tersebut bersama PT Lirik sehinga mengikat kedua belah pihak. Tindakan Pertamina yang menolak persetujuan status komersial yang diajukan PT Lirik keliru.Permohonan pendaftaran dan permintaan eksekutor dinilai tidak memenuhi syarat Pasal 67 ayat (2) huruf c UU No. 30/1999. Seharusnya disertai surat keterangan dari perwakilan diplomatik RI di negara tempat putusan arbitrase internasional itu ditetapkan. Isinya, menyatakan negara pemohon terikat baik secara bilateral maupun multilateral dengan Indonesia perihal pengakuan pelaksanaan putusan arbitrase internasional. Akibatnya, penetapan aanmaning No. 029/2009.EKS tgl 23 Oktober 2009 tidak sah menurut hukum. Surat aanmaning tanggal 6 November 2009 yang diterbitkan berdasarkan penetapan aanmaning juga tidak sah sehingga putusan arbitrase tidak dapat dieksekusi. Berdasarkan dalil itu, dalam tuntutan provisi Pertamina meminta majelis hakim menunda atau menghentikan eksekusi. Karena proses kasasi masih berlangsung. Ditambah lagi Pertamina sedang mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap majelis arbiter di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Perkara No. 1388/Pdt.G/2009/PN.JKT.SEL itu masih dalam proses mediasiDi Singapura, Pertamina juga melaporkan kuasa hukum PT Lirik lantaran diduga tidak memiliki praktik beracara untuk mewakili terlawan sebagai konsultan hukum saat arbitrase berlangsung. Selain menghentikan proses eksekusi, Pertamina menuntut PT Lirik membayar denda Rp10 juta setiap hari, bila terlawan ingkar memenuhi putusan provisi. Sementara, petitum Pertamina dalam pokok perkara adalah menerima perlawanan untuk seluruhnya dan menyatakan perlawanan Pertamina tepat dan beralasan. Selain itu, tentu saja menyatakan bahwa putusan arbitrase ICC tidak dapat dieksekusi. Di hubungi terpisah, kuasa hukum PT Lirik, Anita Kolopaking, menyebutkan upaya hukum berupa gugatan perlawanan eksekusi yang diajukan oleh Pertamina dan Pertamina EP merupakan sesuatu hal yang tidak lazim dan mencari terobosan atau celah-celah hukum. "Ini tidak lazim. Yang menetapkan aanmaning itu kan pengadilan, berarti secara tidak langsung mereka menolak perintah yang dikeluarkan oleh pengadilan," ujar Anita, saat dimintai komentarnya.Kedua pelawan, katanya, mengajukan gugatan perlawanan eksekusi. Artinya, perlawanan yang diajukan oleh kedua perusahaan itu adalah mengacu pada penetapan yang dikeluarkan pengadilan terkait dengan aanmaning. "Mereka (Pertamina dan Pertamina EP, red) mengajukan perlawanan terhadap eksekusi. Tetapi setelah saya baca kok yang disebut-sebut soal putusan arbitrasenya. Mereka sengaja mencari-cari celah hukum melalui gugatan ini, karena tidak mau patuh melaksanakan putusan ICC," ucapnya.
Tags:

Berita Terkait