Perspektif Pengadilan Korupsi
Kolom

Perspektif Pengadilan Korupsi

Korupsi di Indonesia sudah merupakan kejahatan yang sangat luar biasa (extra ordinary crimes), sehingga tuntutan ketersediaan perangkat hukum yang sangat luar biasa dan canggih serta kelembagaan yang menangani korupsi tersebut tidak dapat dielakkan lagi. Kiranya, rakyat Indonesia sepakat bahwa korupsi harus dicegah dan dibasmi dari tanah air karena korupsi sudah terbukti sangat menyengsarakan rakyat. Bahkan, sudah merupakan pelanggaran hak-hak ekonomi dan sosial Indonesia.

Bacaan 2 Menit
Perspektif Pengadilan Korupsi
Hukumonline

Masyarakat kini sudah skeptis dan bersikap sinis terhadap setiap usaha pemberantasan korupsi yang sedang ditegakkan oleh pemerintah. Karena, masyarakat sampai saat ini belum melihat contoh yang baik dari para pemimpin pemerintah dan kelompok elite politik dalam menyingkapi langkah pemberantasan korupsi yang dimulai dari pemerintah sendiri.

Pengalaman pemberantasan korupsi di Indonesia menunjukkan bahwa kegagalan demi kegagalan lebih sering terjadi, terutama terhadap koruptor kelas kakap dibandingkan dengan koruptor kelas teri. Kegagalan tersebut menunjukkan bahwa masyarakat pada strata rendah selalu menjadi korban dari ketidakadilan dari penegakan hukum. Dan keadaan diskriminatif inilah yang sangat menyakitkan perasaan keadilan masyarakat luas yang sangat terbesar dalam keadaan kurang dan tidak mampu.

Persoalan pemberantasan korupsi di Indonesia bukanlah hanya persoalan hukum dan penegakan hukum semata-mata, melainkan persoalan sosial dan psikhologi sosial yang sungguh sangat parah dan sama parahnya dengan persoalan hukum, sehingga wajib segera dibenahi secara simultan. Korupsi mengakibatkan tidak adanya pemerataan kesejahteraan dan merupakan persoalan psikologi sosial karena korupsi merupakan penyakit sosial yang sulit disembuhkan.

Pengadilan khusus korupsi

Pembenahan seluruh peraturan perundang-undangan untuk mencegah dan memberantas korupsi sudah dilakukan dimulai dari Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN; Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 dan RUU Perubahannya; Rancangan Undang-undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Yang terakhir, Rancangan Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang sudah diajukan ke DPR RI pada tanggal 5 Juni 2001. Masih ada satu lagi kehendak dan harapan masyarakat luas dan sudah ditampung dalam RUU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu Pengadilan Khusus Korupsi.

Pengadilan khusus korupsi saat ini akan menjadi salah satu ketentuan dalam UU tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang bakal lahir, sehingga keberadaannya dalam lingkungan peradilan umum merupakan harapan baru masyarakat luas untuk meningkatkan kinerja penegakan hukum terhadap perkara  korupsi.

Persoalan mendasar dalam hal pengadilan khusus ini ialah masalah rekruitmen dan mekanisme peradilan perkara korupsi. Dalam masalah rekruitmen, akan menjadi kendala manakala data atau informasi mengenai calon hakim tidak lengkap atau tidak dilakukan tes psikhologi yang komprehensif.

Penelusuran minat dan bakat lulusan bakat lulusan fakultas hukum terbaik di beberapa perguruan tinggi yang terbaik di Indonesia tampaknya merupakan keharusan untuk menggantikan metoda lama dalam rekruitmen calon hakim yang telah dilaksanakan selama ini. Metoda baru yang dapat disebut metoda jemput calon hakim (Cakim) perlu disebarluaskan bekerjasama dengan pihak perguruan tinggi.

Sistem juri

Dalam masalah mekanisme peradilan yang selama ini telah dilaksanakan, terbukti tidak berdampak positif terhadap citra lembaga peradilan di Indonesia, sekalipun sudah dalam bentuk hakim majelis yang dilandaskan kepada asas kolegialitas.

Mulai saat ini, khususnya terhadap perkara korupsi, perlu dipertimbangkan pemberlakuan "sistem juri" pada tahap persidangan. Sementara dalam proses penyidikan, diperlukan berlakunya sistem inquisitoir dengan tetap mengedepankan perlindungan hak-hak tersangka secara penuh.

Dengan sistem juri, maka tidak diperlukan lagi hakim ad hoc, seperti telah diberlakukan dalam proses peradilan terhadap para pelanggar HAM atas Pengadilan Niaga. Atau jika dianggap perlu, persidangan perkara korupsi dilaksanakan oleh majelis hakim yang diketuai oleh hakim non-karier. Penunjukan hakim non-karier untuk memeriksa perkara korupsi bukanlah jaminan keberhasilan, tetapi dapat mengurangi perasaan skeptis dan sinis masyarakat terhadap peradilan tindak pidana korupsi.

Selain masalah calon hakim sebagaimana diuraikan di atas, masalah penting dan strategis lainnya dalam perkara korupsi ialah masalah panitera/jurusita yang dalam praktik memegang peranan penting. Keberadaan panitera dalam sistem peradilan di Indonesia bukan hanya selaku jurutulis pengadilan, melainkan juga diberi peranan selaku jurusita.

Bahkan sesungguhnya, yang menguasai administrasi kantor pengadilan ialah para panitera. Sehingga untuk menjadi panitera pun, harus melalui pendidikan khusus. Pendidikan ini terutama segi manajemen modern kantor pengadilan, termasuk penataan dokumen ke dalam microchip atau database; alur pemberkasan dokumen dari penasehat hukum/pencari keadilan sampai penetapan hari sidang dan pemanggilan para pihak dan proses persidangan.

Menggunakan RANS dan NANS

Kelemahan terbesar dalam kekusutan proses persidangan adalah terletak pada sisi ini. Menurut hemat saya, sudah saatnya mekanisme kerja kantor-kantor pengadilan menggunakan regional area network system (RANS) atau national area network system  (NANS), sehingga sejak dimasukkan perkara ke kantor pengadilan sampai perkara tersebut diputus dapat diketahui secara langsung dan segera oleh Ketua Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan Tinggi atau bahkan oleh Mahkamah Agung.

Melalui RANS dan NANS tersebut, monitoring dan supervisi dapat dilaksanakan segera dan langsung untuk setiap perkara yang masuk dan sedang diproses pada hari itu juga. Selain itu, melalui RANS dan NANS, dapat diputuskan mata rantai birokrasi kantor pengadilan di seluruh Indonesia yang selama ini telah terbukti tidak efektif dan bahkan merugikan para pencari keadilan.

Tunggakan perkara dan kelambatan dalam administrasi kantor pengadilan dapat dicegah dan bahkan dapat segera diatasi. Berdasarkan data mengenai perkara yang telah ditangani  oleh kantor-kantor pengadilan, dapat segera diketahui berapa kebutuhan tenaga hakim dan panitera di kantor pengadilan tersebut yang tersebar di kota/kabupaten di seluruh propinsi di Indonesia.

Memang pembangunan RANS dan NANS memerlukan biaya yang sangat banyak. Namun demikian, biaya tersebut tidaklah ada artinya jika dibandingkan dengan nilai investasi jangka panjang yang dapat mendukung kepada perwujudan suatu pengadilan yang bersih dan berwibawa di seluruh tanah air. Dan pengadilan yang sedemikian itu dapat memperkuat cita-cita menegakkan kepastian hukum dan keadilan.

Keberadaan RANS dan NANS itu sangat bergantung kepada manusianya. Akan tetapi, manusia di balik kedua sistem tersebut dapat dibentuk sejak awal, yaitu melalui rekruitmen calon panitera yang benar trampil menggunakan komputer. Prinsip murah, cepat, dan adil sejalan dengan perkembangan teknologi modern tampaknya perlu diubah dengan prinsip transparasi, akuntabilitas, dan profesional.

Pengadilan khusus korupsi di Indonesia tidak akan berjalan dengan baik jika rekruitmen hakim khusus dan panitera tidak dilaksanakan secara transparan dan akuntabel oleh suatu tim yang profesional yang dibentuk oleh pemerintah. Sekalipun kemudian, rekruitmen calon hakim dan panitera sudah memenuhi criteria yang disyaratkan.

Namun tanpa didukung oleh RANS dan NANS, tampaknya hasil rekruitmen tersebut akan menjadi sia-sia dalam jangka panjang. Karena tanpa RANS dan NANS, sistem birokrasi pada kantor-kantor pengadilan berjalan secara manual dan sudah terbukti selama ini sangat menghambat proses peradilan yang sangat cepat dan efisien.

Hambatan-hambatan ketiadaan sistem ini akan berdampak kepada para pencari keadilan. Prinsip murah, cepat dan adil yang selama ini dijadikan prinsip dalam penyelenggaraan peradilan di Indonesia, terbukti telah tidak efektif. Karena, prinsip-prinsip tersebut tidak didukung oleh para hakim dan panitera. Juga para penasehat hukum yang memiliki integritas dan moralitas  memadai dan terlebih lagi sistem administrasi manual yang sangat lambat jika dibandingkan dengan menggunakan RANS dan NANS. Dengan RANS dan NANS,  setiap tingkah laku hakim, panitera, dan penasehat hukum dalam proses berperkara dapat dipantau setiap hari dan diawasi.

 

Romli Atmasasmita adalah Guru Besar Hukum Pidana Internasional Universitas Padjajaran

 

Makalah ini disampaikan pada seminar tentang Pengadilan Korupsi pada 19-20 di Jakarta

 

Tags: