Persoalan Perlindungan Konsumen di Industri Fintech
Waspada Fintech Ilegal

Persoalan Perlindungan Konsumen di Industri Fintech

POJK 77/2016 dinilai tak bisa mengakomodir maraknya pelanggaran perlindungan konsumen yang terjadi di sektor pinjaman online.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Kehadiran Financial Technology (Fintech) sejatinya memberikan kemudahan bagi masyarakat. Belanja online, ojek online, pinjaman online, merupakan bagian dari fintech yang saat ini tengah populer. Namun sayangnya orang kerap mengabaikan aspek perlindungan konsumen ketika mereka menggunakan layanan berbasis internet ini.

 

Seiring dengan berkembangnya teknologi, jenis-jenis Fintech pun semakin beragam, di antaranya seperti inovasi teknologi finansial terkait pembayaran dan transfer, lembaga jasa keuangan, dan perusahaan start-up Fintech yang menggunakan teknologi baru untuk memberikan layanan yang lebih cepat, murah, dan nyaman.

 

Perusahaan di sektor pembiayaan dan investasi pun berkompetisi dengan menggunakan inovasi teknologi dalam menjual produk dan jasa keuangannya. Jenis-jenis Fintech di sektor ini di antaranya seperti Peer-to-Peer (P2P) Lending, Crowdfunding, Supply Chain Finance, dan lain-lain.

 

Fintech jenis lainnya yang berkembang di dunia antara lain, Robo advisor, Blockchain, Information and Feeder Site, dan lain-lain. Seluruh Fintech tersebut memberikan kemudahan bagi konsumen keuangan untuk membeli dan menggunakan produk dan jasa keuangan pada saat ini.

 

Hukumonline.com

Sumber: OJK

 

Belakangan ini, fintech P2P Landing menjadi sorotan. Aplikasi pinjaman online ini menjadi populer lantaran memberikan akses pinjaman kepada masyarakat dengan syarat yang mudah. Cukup dengan Kartu Tanda Penduduk, foto, dan nomor rekening, pinjaman akan masuk ke rekening hanya dengan hitungan menit.

 

Sayangnya, kehadiran pinjaman online ini menimbulkan banyak problem terutama dari sisi perlindungan konsumen, bahkan sudah memakan korban kematian. Pada Februari lalu, seorang supir taksi berinisial Z nekat mengakhiri hidupnya setelah terjerat utang dengan aplikasi pinjaman online sebesar Rp500 ribu. Peristiwa ini tentu menjadi sinyal bahaya terhadap konsumen dan harus menjadi perhatian bagi pemerintah.

 

Pengacara Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta), Jeanny Silvia S. Sirait, mengatakan hingga Februari 2019, LBH sudah menerima laporan terkait pinjaman online hingga tiga ribu lebih. Dari total laporan yang masuk, kata Jeanny, terdapat empat belas jenis pelanggaran yang sudah dirangkum oleh LBH.

 

(Baca Juga: Perkembangan dan Permasalahan Hukum Fintech)

 

Mayoritas laporan yang masuk adalah mengenai minimnya informasi yang diberikan oleh pelaku usaha terkait proses pinjam meminjam seperti besaran bunga, biaya administrasi. Lalu keluhan yang masuk ke LBH terkait tingginya biaya bunga dan administrasi, proses penagihan yang di dalamnya terdapat tindak pidana fitnah, penipuan, pengancaman dan penyebaran data pribadi hingga sampai pada pelecehan seksual.

 

“Berdasarkan penelitian kami kemarin banyak aplikasi yang memberikan bunga sebesar 350 persen dalam 90 hari, dan juga sulit berkontak dengan debt collector maka konsumen mencari alamat perusahaan terkait tapi perusahan terkait tidak menyediakan alamat kantor,  email maupun nomor telepon yang bisa dihubungi,” kata Jeanny kepada hukumonline, Kamis (22/3).

 

Tingginya angka tersebut, lanjut Jeanny, membuktikan bahwa sektor perlindungan konsumen dan jaminan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) belum sepenuhnya dijamin oleh negara dalam kasus ini. Kemudahan-kemudahan dalam mengakses pinjaman akhirnya berubah menjadi malapetaka karena minimnya peraturan mengenai fintech.

 

Hukumonline.com

 

Munculnya aplikasi-aplikasi pinjaman online ini sepatutnya diatur sedemikian rupa lewat peraturan yang sifatnya spesifik. Misalnya saja perlu aturan mengenai penjatuhan sanksi kepada aplikasi pinjaman online yang melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum. Dan yang terpenting adalah perlunya mekanisme pengaduan konsumen dan penyelesaian sengketa jika terjadi konflik.

 

Jauh sebelum kasus ini muncul ke permukaan, sebenarnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah menerbitkan POJK No. 77 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. POJK ini lebih menekankan kewajiban pendaftaran bagi pelaku usaha yang ingin berbisnis di sektor pinjaman online. Namun menurut Jeanny, mekanisme pendaftaran di OJK tersebut masih dalam tanda tanya. Pasalnya, pasca aturan ini resmi dinyatakan berlaku, hingga saat ini aplikasi-aplikasi pinjaman online ilegal justru marak muncul di lapangan.

 

“Mekanisme pendaftaran di OJK itu mekanisme dalam tanda kutip yang dianjurkan oleh OJK. Tapi saya mau tanya apakah kemudian pelaku usaha dalam hal ini pelaku aplikasi pinjaman online ya, apakah kemudian mereka tidak bisa menjalankan usahanya jika tidak terdaftar di OJK? Nyatanya mereka bisa tetap menjalankan usahanya. Harusnya ada mekanisme orang bisa menjalankan usaha jika mendaftar dulu di OJK,” ungkap Jeanny.

 

Hukumonline.com

Sumber: OJK

 

Kemudian, ia juga mempertanyakan POJK 77/2016 yang jelas mengatur tentang larangan pengambilan data pribadi konsumen, terutama untuk hal-hal yang tidak diperlukan dalam proses pinjam meminjam. Namun faktanya, masih banyak aplikasi-aplikasi yang sudah mengantongi izin dari OJK tetapi tetap mewajibkan akses-akses yang tidak terkait dengan proses pinjam meminjam seperti memutus dan menyambung wifi hingga mengontrol handphone untuk tetap aktif atau tidak.

 

Jeanny menegaskan bahwa maraknya kasus pinjaman online pasca terbitnya POJK sudah cukup membuktikan bahwa regulasi tersebut belum memberikan perlindungan terhadap konsumen yang menggunakan layanan pinjaman online. “Nyatanya hari ini kita bisa lihat permasalahan ini muncul dan marak, padahal POJK terbit 2016 tapi kasus ini marak setelah tahun 201. Itu karena aturannya tidak cukup melindungi,” jelasnya.

 

Hukumonline.com

Sumber: OJK

 

Sebagai respons atas situasi ini, Jeanny menyampaikan bahwa pihaknya tengah menyusun rekomendasi kebijakan yang nantinya akan disampaikan kepada OJK. Beberapa poin rekomendasi yang akan disampaikan LBH adalah mengenai mekanisme pendaftaran di OJK, batasan bunga, pengambilan data pribadi, penagihan, hingga pada persoalan spesifik terkait mekanisme proses hukum di Kepolisian. Selain itu LBH juga mendorong diterbitkanyya UU Perlindungan Data Pribadi.

 

“Kasus pinjaman online ini memang belum di atur di UU Perlindungan Konsumen karena ini industri yang baru. Butuhnya apa yang pertama paling spesifik adalah UU Perlindungan Data Pribadi itu yang paling penting dan akan didorong, setelah itu terkait peer to peer atau fintech-nya,” tambah Jeanny.

 

Melihat banyaknya pengaduan yang masuk ke LBH, Jeanny mengimbau kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk tidak menggunakan jasa layanan pinjaman online sampai negara dalam hal ini OJK memberikan perlindungan hukum dan HAM yang jelas terhadap masyarakat.

 

Pengawasan

Bagi advokat yang fokus pada perkara penanganan perlindungan konsumen, David Tobing, selayaknya perkembangan industri yang berbasis teknologi dapat memberikan kemudahan dan keamanan bagi konsumen. Jika kemudahan tidak diimbangi dengan keamanan maka akan muncul konflik seperti yang sedang terjadi saat ini.

 

Menjamurnya pinjaman-pinjaman terutama aplikasi pinjaman online ilegal atau tak berizin membuat risiko konflik semakin besar. Apalagi jika aplikasi pinjaman online melakukan pelanggaran seperti penetapan bunga yang besar, penagihan, dan pembukaan data konsumen.

 

Meski OJK telah mengeluarkan regulasi terkait pinjaman online ini, namun sayangnya regulasi tersebut hanya berlaku bagi fintech peer-to-peer yang sudah terdaftar di OJK. Menurut David, mayoritas pokok permasalahan yang terjadi justru melibatkan pelaku usaha pinjaman online ilegal dan konsumen. Dalam hal ini, David menilai pemerintah terkesan terlambat dalam pengawasan dan penindakannya. Bahkan tak jarang, aplikasi yang sudah diblokir akan muncul kembali dengan nama yang berbeda.

 

“Tapi masalahnya adalah pengawasannya. Ketika fintech-fintech ilegal ini menjamur seakan-akan kurang cepat pengawasan dan penindakannya.  Misalnya di blokir apps atau website dan itu terlambat. Nah itu kadang-kadang sudah diblokir hanya berubah nama dan sebagainya. Namun saya tetap apresiasi karena kita lihat akhir-akhir ini OJK dan Kominfo kerja keras dalam hal mendata fintech ilegal. Jadi sering dilakukan pemblokiran,” kata David.

 

Hukumonline.com

 

David mengingatkan pentingnya pengawasan pemerintah dalam industri fintech. Pasalnya, pengguna akses internet di Indonesia cukup tinggi. Tingginya angka penggunaan internet akan berbanding lurus dengan potensi kejahatan yang akan terjadi.

 

Sehingga untuk meminimalisir terjadinya potensi konflik antara pelaku usaha pinjaman online dan konsumen, David mengimbau masyarakat untuk tidak menggunakan layanan pinjaman online hanya untuk kebutuhan yang tidak mendesak. Jika terpaksa menggunakan layanan ini, gunakan pinjaman untuk sesuatu yang produktif agar pengembalian dana bisa terencana.

 

Di samping itu, ia juga mengingatkan konsumen untuk membaca perjanjian pinjam meminjam secara detail yang diatur oleh pihak pinjaman online. Jika sudah terjadi kesepakatan dan uang sudah ditransfer bahkan terpakai, agak sulit bagi konsumen untuk mengembalikan keadaan seperti semula.

 

“Jadi dalam hal ini bagaimana supaya tidak banyak orang jahat merugikan pengguna internet, ya itu harus benar-benar diawasi,” tambahnya.

 

Sebelum memutuskan sepakat dengan perjanjian yang ditawarkan oleh pihak pinjaman online, David mengingatkan konsumen harus membaca isi perjanjanjian secara detail. Konsumen harus berhati-hati terhadap penawaran yang menggiurkan, namun penuh dengan jebakan-jebakan yang merugikan.

 

“Kalau sudah meyangkut fisik atau psikis, itu tentu sudah bisa dilaporkan kepada pihak yang berwajib. Kalaupun mau melakukan gugatan karena mengalami kerugian ya harus dibuktikan dia mengalami kerugian apa. Kalau akibat cara penagihan atau data dibuka, foto di hp tersebar dari itu bisa dituntut,” tegasnya.

 

Permasalahan pinjaman online ilegal ini juga menjadi perhatian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Ketua Harian YLKI, Tulus Abadi mendesak agar OJK sebagai lembaga pengawas menutup atau memblokir perusahaan fintech tersebut agar tidak semakin meresahkan masyarakat. Selain itu, Tulus meminta OJK segera menertibkan praktik fintech ilegal atau tidak berizin yang semakin menjamur di masyarakat.

 

Dari sisi konsumen, Tulus mengimbau agar membaca dengan cermat persyaratan-persyaratan yang ditentukan oleh perusahaan fintech sebelum bersepakat. Sebab, teror yang dialami konsumen bisa jadi bermula dari ketidaktahuan konsumen memahami persyaratan teknis yang ditentukan oleh perusahaan fintek tersebut.

 

“Konsumen tidak memahami bagaimana besaran bunga yang ditentukan dan mekanisme cara penagihan oleh perusahaan online kepada konsumennya,” ujar Tulus.

 

Tags:

Berita Terkait