Persoalan Perlindungan Hukum Bagi Anak Hasil Kawin Kontrak
Berita

Persoalan Perlindungan Hukum Bagi Anak Hasil Kawin Kontrak

Praktek kawin kontrak tak hanya berdampak pada lingkaran pelaku yang mengambil keuntungan, tetapi juga melahirkan ekses yang tidak diperhitungkan sebelumnya, yakni anak-anak yang lahir.

CR-20
Bacaan 2 Menit
Praktek kawin kontrak sudah diharamkan sejak 25 Oktober 1977 melalui fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia. Para ulama yang mendudukkan peristiwa kawin kontrak pada konteksnya, pertimbangan kemudharatannya lebih banyak dibandingkan kebaikannya. Sementara perkawinan hanya dinyatakan sah apabila dilakukan menurut ketentuan hukum agamanya.
Berdasarkan ketentuan hukum positif, kawin kontrak bukanlah ikatan lahir dan batin, serta dilakukan bukan dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal sebagaimana yang diatur dalam UU Perkawinan.
UU Perkawinan juga mewajibkan pencatatan perkawinan untuk mendapatkan akta perkawinan. Akta perkawinan merupakan sebuah bukti telah terjadinya/berlangsungnya perkawinan. Namun keberadaan akta perkawinan tidaklah untuk menentukan sah atau tidaknya perkawinan, karena sah atau tidaknya perkawinan di Indonesia disesuaikan dengan hukum agamanya.
Selain itu, dalam praktek kawin kontrak seperti kasus yang terjadi di kawasan Puncak, yang dapat dipermasalahkan bukan hanya status perkawinannya, tetapi juga status kewarganegaraan dari ayah biologis dari anak yang lahir lewat ikatan kawin kontrak. Perikatan perkawinan berjangka waktu ini dilakukan oleh perempuan Indonesia dengan laki-laki ekspatriat yang hanya menetap sementara di Indonesia. 
Perkawinan berjangka waktu ini tentu tidak dicatatkan melalui proses hukum yang berlaku di Indonesia, dan tidak pula dicatatkan di kedutaan besar Negara laki-laki yang terikat dalam kawin kontrak. Mengacu pada ketentuan mengenai anak dari hasil perkawinan campuran dalam Pasal 6 ayat (1) jo. Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf l UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, pemberian kewarganegaraan ganda bagi anak hasil kawin campuran sifatnya limitatif.
Seorang anak hingga usia 18 tahun dapat memiliki kewarganegaraan ganda dengan ketentuan yang sifatnya limitatif berdasarkan UU Kewarganegaraan, yakni: 1. anak yang lahir dari perkawinan sah dari ayah WNI dan ibu WNA; 2.  anak yang lahir dari perkawinan sah dari ayah WNA dan ibu WNI; 3. anak yang lahir di luar perkawinan sah dari ibu WNA yang diakui ayah WNI; dan 4. anak yang lahir di luar wilayah Republik Indonesia dari ayah-ibu WNI yang karena ketentuan dari negara tersebut maka dapat memberikan status kewarganegaraan terhadap anak dilahirkan tersebut. 
Dapat dilihat dari ketentuan tersebut, anak dari hasil kawin kontrak antara perempuan Indonesia dengan laki-laki WNA, tidak memenuhi persyaratan untuk dapat memiliki kewarganegaraan ganda. Anak dari hasil kawin kontrak hanya bisa mengikuti kewarganegaraan dari pihak Ibu. 
Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait