Persoalan Peradilan Pajak Layak Masuk RUU Omnibus Law Perpajakan
Utama

Persoalan Peradilan Pajak Layak Masuk RUU Omnibus Law Perpajakan

Selama ini, salah satu persoalan yang terjadi di pengadilan pajak adalah lamanya proses persidangan yang mencapai 12 bulan.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Selain membahas RUU Cipta Lapangan Kerja, pemerintah juga membahas RUU Omnibus Law Perpajakan. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan jika omnibus law di bidang perpajakan hanya berisi 28 pasal dan terbagi dalam 6 cluster.

 

Cluster pertama, tentang cara meningkatkan investasi melalui penurunan tarif Pajak Pajak Penghasilan (PPh) Badan dan PPh bunga. Cluster kedua, sistem teritorial yaitu bagaimana penghasilan deviden luar negeri akan dibebaskan pajak, asalkan diinvestasikan di Indonesia.

 

Cluster ketiga mengenai subjek pajak Orang Pribadi (OP). Ini membedakan WNA, Warga Negara Indonesia (WNI). Orang Indonesia yang tinggal di luar negeri 183 hari, mereka bisa berubah menjadi subjek pajak luar negeri, jadi tidak membayar pajaknya di Indonesia. Untuk orang asing yang tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari, mereka menjadi subjek pajak di dalam negeri dan membayar pajaknya di Indonesia dari penghasilannya yang berasal dari Indonesia.

 

Cluster keempat, tentang cara meningkatkan kepatuhan perpajakan yaitu mengatur ulang sanksi dan imbalan bunganya. Sanksi perpajakan selama ini, jika telat bayar, kurang bayar, atau mereka melakukan pelanggaran maka sanksinya adalah bunganya cukup tinggi 2% sampai dengan 24 bulan sehingga suku bunga bisa mencapai 48 persen.

 

Cluster kelima, untuk ekonomi digital, yaitu pemajakan transaksi elektronik yang dibuat sama dengan pajak biasa. Ini termasuk penunjukan platform digital untuk pemungutan PPN dan mereka yang tidak memiliki Badan Usaha Tetap (BUT) di Indonesia akan tetap bisa dipungut pajaknya. Hal ini terutama untuk merespons perusahaan-perusahaan digital yang tidak ada di Indonesia namun dia mendapatkan income dari Indonesia seperti Netflix, Amazon.

 

Cluster keenam, adalah insentif-insentif pajak seperti tax holiday, super deduction, tax allowance, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), PPh untuk surat berharga, dan insentif pajak daerah dari Pemda.

 

Sebelumnya, RUU Omnibus Law Perpajakan ini mendapatkan kritik dari ekonom terutama terkait banyaknya insentif perpajakan yang diberikan oleh negara kepada pelaku usaha. Alasannya adalah negara yang memiliki populasi besar dan menjadi market bagi asing masih wajar jika menerapkan tarif pajak yang tinggi.

 

Menurut pengamat perpajakan Yustinus Prastowo, penurunan tarif di sejumlah sektor pajak bukan hanya sekadar untuk memberikan insentif kepada pelaku usaha, tetapi lebih kepada pemenuhan janji saat pemerintah mengeluarkan program Tax Amnesti beberapa tahun lalu. Salah satunya adalah penurunan tarif pajak.

 

(Baca: RUU Omnibus Law Perpajakan Berisiko Gerus Penerimaan Negara)

 

Meski penurunan pajak dipastikan akan menurunkan pendapatan negara, Yustinus menilai pemerintah sudah menyiapkan kebijakan lainnya untuk menutupi potensi hilangnya penerimaan negara, salah satunya melalui pajak e-commerce.

 

“Apalagi e-commerce ini semakin lama pertumbuhannya semakin besar, nah ini namanya ekstensifikasi. Jadi pemerintah sudah mengambil langkah,” kata Yustinus kepada hukumonlne, Selasa (4/2).

 

Di sisi lain, Yustinus menyebut bahwa ada beberapa hal yang masih tercecer, yang seharusnya masuk ke dalam bagian dari omnibus law perpajakan, misalnya reformasi administrasi perpajakan dan proses persidangan perkara pajak atau peradilan pajak.

 

Selama ini, penyelesaian kasus sektor perpajakan cenderung lama, hingga mencapai satu tahun. Persoalan ini. Lanjut Yustinus, tentu tidak bisa dibiarkan karena menyangkut kepastian hukum Wajib Pajak (WP) yang berperkara di pengadilan pajak.

 

Bagi Yustinus, salah satu langkah yang cukup masuk akal dilakukan oleh pemerintah adalah dengan memotong waktu persidangan. “Memang masih ada yang tercecer, misalnya soal pengadilan pajak. Selama ini prosesnya mencapai 12 bulan, alangkah lebih baik lagi kalau dipangkas menjadi 6 bulan misalnya, demi kepastian hukum. Pengadilan pajak ini bukan subsitusi, jadi dengan adanya Omnibus Law maka masalah bisa selesai. Dia sifatnya komplementer, jadi harus diperhatikan,” pungkasnya.

 

Sebelumnya, pemerintah telah mensosialisasikan omnibus law RUU Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian ke sejumlah asosiasi pengusaha. Salah satu ketentuan yang menjadi sorotan tentang mekanisme cara pemerintah pusat dapat mengintervensi penentuan tarif pajak daerah dan retribusi daerah yang dipandang tidak fair atau memberatkan masyarakat.

 

Salah satu asosiasi pelaku usaha, Apindo, menyampaikan merekomendasikan beberapa hal substansi dalam omnibus law perpajakan. Pertama, konsistensi regulasi perpajakan di segala tingkatan, mulai UU, peraturan pemerintah, peraturan menteri, hingga peraturan direktorat jenderal perpajakan. Kedua, mendorong peningkatan rasio perpajakan yakni mencakup sektor-sektor usaha yang belum dikenakan pajak.

 

Ketiga, penerapan online tax system secara penuh diiringi penyederhanaan dokumen administratif yang mudah dimengerti wajib pajak, pengusaha, serta seluruh masyarakat. Keempat, peningkatan kapasitas aparatur pajak. Kelima, penyetaraan tingkat pengenaan pajak dengan standar negara-negara kompetitor Asean di bawah 20 persen untuk tujuannya agar meningkatkan daya tarik investor domestik.

 

Keenam, maksimalisasi ekstensifikasi perpajakan melalui peningkatan tax compliance/ tax obedience dengan penambahan wajib pajak baru. Ketujuh, finalisasi proses revisi UU KUP, UU tentang PPh, UU PPN, serta UU Pengadilan Pajak. Kedelapan, penyederhanaan persyaratan untuk mendapatkan insentif kebijakan perpajakan secara tepat sasaran bagi peningkatan penerimaan perpajakan.

 

Tags:

Berita Terkait