Harapan pemerintah atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja mendapat persetujuan dari DPR menjadi UU akhirnya terwujud sudah. Kendati mayoritas fraksi partai memberikan persetujan dalam rapat paripurna, tapi terdapat dua fraksi partai menolak Perppu 2/2022 disetujui menjadi UU.
“Selanjutnya, kami akan menanyakan kepada setiap fraksi apakkah rancangan UU tentang penetapan Perppu 2/2022 tentang Cipta Kerja jadi UU dapat disetujui untuk disahkan menjadi UU?,” tanya Puan Maharani saat memimpin rapat paripurna di Komplek Gedung DPR, Selasa (21/3/2023).
Mayoritas fraksi partai memberikan persetujuan. Seperti Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Golkar, Gerindra, Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sementara dua fraksi partai yang menolak adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat. Malahan, anggota Fraksi PKS pun melakukan walk out dari ruang rapat paripurna.
Anggota Fraksi Partai Demokrat Hinca Panjaitan, menyampaikan pandangan fraksinya terhadap UU UU No.11 Tahun 2020 Cipta Kerja dan Perppu 2/2022. Pada intinya, beleid itu berdampak terhadap hajat hidup orang banyak. Oleh karenanya sejak awal pembahasan UU 11/2020 tidak perlu dilakukan secara terburu-buru. Pembahasannya perlu melibatkan pemangku kepentingan secara luas mulai dari kalangan buruh, pengusaha, masayrakat hukum adat dan organisasi masyarakat sipil lainnya.
Baca juga:
- Ini Tiga Aspek Penting Perppu Cipta Kerja Diterbitkan
- Selangkah Lagi Perppu Cipta Kerja Bakal Jadi UU
Dalam rapat paripurna DPR tahun 2020 silam, Hinca mengingatkan fraksinya menolak pembahasan UU 11/2020 dengan melakukan walkout atau meninggalkan ruang sidang. Fraksi Demokrat berpandangan UU Cipta kerja tidak memuat substansi dan sifat kegentingan sehingga tidak perlu diterbitkan segera. UU Cipta Kerja berpotensi memberangus hak-hak masyarakat antara lain kalangan buruh.
Prinsip keadilan sosial dalam UU Cipta Kerja juga diragukan apakah konsep ekonomi yang diusung berlandasakan Pancasila atau kapitalistik. Pembahasan isu penting dalam UU Cipta Kerja dinilai kurang transparan dan akuntabel. “Terbukti dengan putusan MK yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Putusan itu mengkonfirmasi sikap Demokrat,” ujarnya.
Menurut Hinca, tata kelola pemerintahan tercermin dari peraturan yang dibentuk. UU 11/2020 diterbitkan secara terburu-buru dan kurang perhitungan. Akibatnya, MK memutus UU 11/2020 inkonstitusional bersyarat. MK memandatkan perbaikan terhadap UU Cipta Kerja dengan melibatkan masyarakat, proses legislasi yang partisipatif. Tapi pemerintah malah menerbitkan Perppu sehingga tidak sesuai dengan perintah putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020. Tidak ada perbedaan signifikan antara materi UU 11/2020 dengan Perppu 2/2022
Anggota Komisi III itu berpendapat, Perppu 2/2022 cacat konstitusi. Tidak ada argumen rasional pemerintah dalam menetapkan kegentingan yang memaksa. Perppu bukan solusi terhadap persoalan ekonomi dan hukum yang dihadapi Indonesia. Terbukti setelah Perppu terbit kalangan buruh dan masyarakat sipil menggugat berbagai ketentuan dalam Perppu seperti upah minimum, outsourcing, kompensasi PHK dan lainnya.
“Fraksi Demokrat menolak Perppu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja,” ujarnya.
Penolakan yang sama juga disuarakan Fraksi PKS. Anggota DPR fraksi PKS, Bukhori, menegaskan putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 memandatkan pemerintah membenahi proses penyusunan UU Cipta Kerja dengan melibatkan pemangku kepentingan bukan melalui Perppu. Sikap fraksi PKS masih sama seperti catatan kritis yang disampaikan pada saat pembahasan UU Cipta Kerja di panja dan badan legislasi (Baleg) DPR yakni menolak Perppu 2/2022.
“Maka kami menolak Perppu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dan menyatakan walkout untuk rapat dengan agenda penetapan Perppu No.2 Tahun 2022 menjadi UU,” pungkas Bukhori seraya beranjak keluar dari ruang rapat paripurna bersama sejumlah anggota Fraksi PKS.