Persetujuan MKN adalah Kunci Pembuka Kewajiban Ingkar Notaris
Berita

Persetujuan MKN adalah Kunci Pembuka Kewajiban Ingkar Notaris

Pemerintah meminta MK menolak atau tidak menerima permohonan ini.

ASH
Bacaan 2 Menit
Pemohon pengujian UU Jabatan Notaris di ruang sidang MK. Foto: Humas MK
Pemohon pengujian UU Jabatan Notaris di ruang sidang MK. Foto: Humas MK
Pemerintah menegaskan UU No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris memisahkan antara tugas pelaksanaan pembinaan dan pengawasan terhadap notaris. Dalam melaksanakan pembinaan, menteri membentuk Majelis Kehormatan Notaris (MKN), sedangkan pengawasan menteri membentuk Majelis Pengawas Daerah (MPD) seperti diatur Pasal 66A ayat (1), (2) UU Jabatan Notaris.  

“Jadi dalil pemohon yang menganggap Pasal 66 UU No. 2 Tahun 2014 menghidupkan kembali ketentuan yang telah diputus MK keliru,” ujar Kepala Balitbang Kemenkumham Mualimin Abdi saat menyampaikan tanggapan pemerintah dalam sidang pengujian UU Jabatan Notaris di ruang sidang MK, Rabu (29/10).

Sebelumnya, advokat Tomson Situmeang mempersoalkan Pasal 66 ayat (1), (3), (4) UU Jabatan Notaris khususnya frasadengan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris” terkait pemeriksaan proses peradilan yang melibatkan notaris. Alasannya, ketentuan serupa pernah dibatalkan MK melalui uji materi Pasal66 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2004 khususnya frasa “dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah.”

Putusan MK No. 49/PUU-X/2012 sudah menyatakan pemeriksaan proses hukum yang melibatkan notaris tak perlu persetujuan Majelis Pengawas Daerah (MPD). Ketentuan itu dinilai mempengaruhi tugas penegakan hukum oleh advokat, penyidik, penuntut umum, dan hakim yang berujung hilangnya independensi dalam proses peradilan. Untuk itu, pemohon meminta MK membatalkan Pasal 66 ayat (1), (3), (4) UU Jabatan Notaris karena bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Mualimin melanjutkan sejak diundangkannya UU No. 2 Tahun 2014, MKN diberi kewenangan memberi persetujuan pemeriksaan notaris demi kepentingan proses peradilan. Lembaga MKN ini dibentuk oleh Menteri Hukum dan HAM dalam rangka melaksanakan fungsi pembinaan, bukan pengawasan.  

“Ketentuan lebih lanjut tugas dan fungsi, syarat, dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian, struktur, tata kerja, anggaran MKN diatur dalam peraturan menteri. Saat ini peraturannya tersebut masih dalam tahap penyelesaian di Kemenkumham,” katanya.

Dia mengungkapkan rasio legis di balik Pasal 66 UU No. 2 Tahun 2014 ini sebagai upaya menegakkan kewajiban ingkar atau hak ingkar notaris (kewajiban merahasiakan isi akta). Sehingga, persetujuan MKN sebagai “kunci” pembuka kewajiban ingkar notaris ketika menghadapi runyamnya proses hukum (penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan sidang pengadilan).     
“Hasil akhir pemeriksaan adalah persetujuan atau penolakan permintaan penyidik, penuntut umum, dan hakim menyangkut isi akta, fotokopi minuta, atau surat lain. Namun, keputusan MKH ini masuk ruang lingkup keputusan tata usaha negara yang bersifat konkrit, individual, final yang menjadi obyek gugatan ke PTUN,” jelasnya.             

Ditegaskan Mualimin, kompleksnya tugas dan kewajiban, serta jaminan penggunaan hak ingkar notaris dalam menjalankan tugasnya diperlukan standar perlindungan baku dengan membentuk MKN sebagai wujud perlindungan bagi notaris. Karenanya, Pasal 66 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2014 justru untuk memberi perlindungan dan persamaan kedudukan di hadapan hukum kepada notaris dalam memberi keterangan dalam proses hukum.

“Pasal itu sama sekali tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Jadi permohonan ini harus ditolak atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima,” harapnya.     
Tags:

Berita Terkait