Persetujuan CHA, Mekanisme Uji Kelayakan Tetap Digunakan
Berita

Persetujuan CHA, Mekanisme Uji Kelayakan Tetap Digunakan

Sebagai instrumen penilaian untuk memberikan persetujuan atau penolakan.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Persetujuan CHA, Mekanisme Uji Kelayakan Tetap Digunakan
Hukumonline
Putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan DPR hanya memberikan persetujuan kepada calon hakim agung yang telah diseleksi oleh Komisi Yudisial. Meski hanya menyetujui, nantinya DPR tetap akan menggunakan mekanisme uji kelayakan terhadap calon yang disodorkan, khususnya di Komisi III yang membidangi hukum.

“Kita sudah rapat internal, kita hanya menyatakan setuju atau menolak. Tetapi tetap pada mekanisme fit and proper test,” ujar anggota Komisi III Eva Kusuma Sundari kepada hukumonline.

Eva mengatakan, pemberian persetujuan tidak serta merta diberikan begitu saja kepada calon. DPR membutuhkan instrumen penilaian untuk menyatakan setuju atau menolak calon hakim agung. Selain itu, Komisi III akan memita masukan dari masyarakat seputar profil dan jejak rekam calon yang disodorkan KY. Menurutnya, uji kelayakan dan kepatutan tak jauh berbeda dengan mekanisme sebelumnya. Hanya saja, polanya akan menjadi lebih sederhana.

Nantinya, calon diminta membuat makalah yang berisi visi dan misi. Selain itu, Komisi III akan melakukan wawancara kepada calon. Makalah yang dibuat calon nantinya sebagai bahan pertanyaan yang akan diajukan anggota komisi kepada calon. Hal itu pula yang menjadi indikator penilaian untuk memberikan persetujuan atau penolakan.

Politisi PDIP itu menuturkan, jika calon hakim agung ditolak maka komisi hukum mengembalikan calon kepada KY. Selanjutnya, KY menggantinya dengan calon hakim agung lainnya untuk disodorkan kembali kepada DPR. Eva berharap calon yang disodorkan ke komisinya adalah yang terbaik sesuai dengan kebutuhan kursi yang lowong di Mahkamah Agung.

Anggota Komisi III lainnya Ahmad Yani menambahkan, MK semestinya memahami hakikat uji kelayakan yang dilakukan DPR. Apalagi, calon hakim agung akan menempati lembaga yang dibiayai oleh negara dan diberikan kewenangan berdasarkan UU terkait. Oleh sebab itu, calon hakim agung harus mendapat persetujuan dari rakyat.

“Mekanisme persetujuan rakyat itu tidak ada absahnya, selain dengan wakilnya yaitu DPR. Untuk mengetahui sosok itu dengan melakukan uji kelayakan,” ujarnya.

Anggota Komisi III dari Fraksi Golkar, Deding Ishak setuju pandangan Eva dan Yani. Menurutnya, uji kelayakan dan kepatutan merupakan persoalan teknis dalam memberikan persetujuan. Mekanisme uji kelayakan dan kepatutan merupakan ukuran dalam memberikan persetujuan kepada calon hakim agung.

“Itu teknis (uji kelayakan dan kepatutan, red). Tapi bentuknya persetujuan atau penolakan, bukan pemilihan. Kalau menolak tentu balikin saja ke KY,” ujarnya.

Lebih jauh Deding berpendapat, pertimbangan majelis konstitusi dalam putusan diharapkan tidak sekadar atas adanya dugaan ‘permainan’ DPR dalam memilih calon hakim agung selama ini. Pasalnya, bukan menjadi rahasia umum sempat terjadi ‘insiden toilet’ pada saat pemilihan calon hakim agung beberapa waktu lalu.

Ia berharap pertimbangan majelis konstitusi tidak reaksional dan emosional perihal lembaga legislatif diduga ‘bermain’ dalam pemilihan pemilihan pejabat publik semacam hakim agung.

“Mudah-mudahan tidak seperti itu dan tetap obyekti untuk memperbaiki dan menata kembali soal sistem dalam perspektif tentu hukum yang baik lagi,” katanya.

Terkait putusan MK dalam hal ‘menyetujui’ calon hakim agung, Deding berpendapat, DPR akan memasukan klausul itu ke dalam Revisi UU (RUU) Mahkamah Agung. Pasalnya, RUU MA kini masih dalam pembahasan di Komisi Hukum.

“Jadi kita memang mengatur tentang bagaimana sebuah UU ini ada perubahan antara lain harus diubah karena putusan MK,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait