Perseteruan Produsen Larutan Penyegar Berlanjut
Berita

Perseteruan Produsen Larutan Penyegar Berlanjut

Pemilik Cap Kaki Tiga menuding Cap Badak secara sistematis melakukan permainan curang demi keuntungan sendiri.

HRS
Bacaan 2 Menit
Perseteruan Produsen Larutan Penyegar Berlanjut
Hukumonline

Pengadilan Niaga Jakarta memang sudah memutus sengketa merek dan hak cipta larutan penyegar Cap Kaki Tiga dan Cap Badak. Namun, putusan pengadilan itu tak menghentikan perseteruan antar produsen larutan penyegar Cap Kaki Tiga yaitu Wen Ken Drug Co PTE Ltd (WKD) dengan PT Sinde Budi Sentosa (SBS), pemilik merek Cap Badak.

Sengketa baru muncul diantara kedua produsen tersebut sampai ke tudingan persaingan curang. Tudingan itu dilayangkan PT Kinocare Era Kosmetindo (KEK) sebagai penerima lisensi ekslusif WKD pada SBS.

WKD menuding SBS sengaja menghancurkan bisnis yang telah dibangun selama puluhan tahun. SBS berupaya mengacaukan dan menganggu perkembangan perdagangan dari produk Cap Kaki Tiga, khususnya larutan penyegar. Hal ini terlihat dari upaya sistematis yang dilakukan SBS.

Upaya yang dilakukan SBS adalah mengatakan produk Larutan Penyegar Cap Kaki Tiga telah diganti dengan produk merek Cap Badak. Kemudian menggugat secara perdata. Tak cukup sampai pada langkah itu. SBS melaporkan KEK dan distributornya ke polisi dengan tuduhan menjual, menggunakan merek tanpa hak, dan memperdagangkan produk secara ilegal.

“Padahal, merek Cap Kaki Tiga yang beredar saat ini terdaftar secara sah di Dirjen HKI dan mendapat izin edar dari BPOM,” ucap Direktur Utama PT KEK Harry Sanusi dalam sebuah konferensi pers di Jakarta, Rabu (20/2).

Harry menilai tindakan SBS membuat bisnis larutan penyegar Cap Kaki Tiga menjadi payah. Laporan ke kepolisian telah membuat pedagang dan pengecer Cap Kaki Tiga ketakutan. Akibatnya, kerugian pun tak dapat dihindari.

Harry enggan menyebutkan potential lost akibat tindakan SBS. Dia berdalih SBS tidak pernah memberikan laporan produksi. Sehingga, baik WKD dan KEK tidak dapat mengetahui permintaan pasar yang sebenarnya. Akan tetapi, berdasarkan pengamatan KEK, pasar larutan penyegar Cap Kaki Tiga adalah Rp800 miliar per tahun. 

Managing DirectorWen Ken Group,Fu Siang Jeen juga merasa kesal atas tindakan SBS. Sebagai pemilik dan pemegang merek Larutan Penyegar Cap Kaki Tiga berlogo Kaki Tiga dan Lukisan Badak ini meminta kepastian hukum dalam melakukan investasi di Indonesia.

Fu sependapat SBS secara sistematis melakukan perbuatan curang dengan mengambil alih lukisan badak miliknya. Soalnya, Fu bersikeras bahwa perusahaannya merupakan pemilik sah dari Larutan Penyegar Cap Kaki Tiga dengan Lukisan Badak dan tulisan ‘Larutan Penyegar’dalam bahasa Indonesia dan Arab ini.

Pernyataan ini bukan tanpa alasan. Fu membuktikannya dengan merujuk pada saat asal muasal pendirian WKD. Didirikan sejak tahun 1937 oleh empat rekanan asal China yaitu Chong Tang Seong, Foo Yew Ming, Chan Sang Koon, dan Foo Yin, mendirikan perusahaan ini dengan merek Cap Kaki Tiga dengan salah satu produknya adalah larutan penyegar.

Merek ini sejak pertama kali diproduksi dikemas dengan lukisan badak yang berdiri di atas batu, latar belakang berupa gambar gunung, sungai, dan sawah, serta tulisan larutan penyegar dalam bahasa Indonesia dan Arab bersama-sama dengan logo Cap Kaki Tiga sebagai satu kesatuan.

Dia paparkan, pendaftaran merek Cap Kaki Tiga beserta etiketnya di Singapura pada 14 Februari 1940 dan Malaysia pada 30 April 1951. Bukti itu diperkuat dengan satu iklan di surat kabar terbesar di Singapura pada 28 Oktober 1960.

Karena ingin merambah pasar Indonesia, Direktur WKD Fu Weng Leng memberikan kewenangan kepada Direktur Utama SBS,Budi Yuwono. Yaitu memproduksi dan memasarkan produk Cap Kaki Tiga di Indonesia pada 8 Februari 1978. Dengan secarik kertas berbahasa Mandarin, kerjasama pun terjalin.

Kerjasama ini memiliki dua poin utama. SBS mengurus pendaftaran merek dagang dan semua tentang pendaftaran hak kekayaan intelektual di Indonesia. WKD memberikan izin kepada SBS untuk memproduksi dan memasarkan produknya.

Seiring perjalanan, WKD mensinyalir SBS tidak melakukan perjanjian dengan baik. SBS tidak mendaftarkan etiket dagang Cap Kaki Tiga dengan Lukisan Badak sebagaimana mestinya milik WKD. Justru, SBS mendaftarkan merek Badak yang merupakan salah satu unsur pokok yang merupakan bagian yang tak dapat terpisahkan dari merek Cap Kaki Tiga.

SBS tidak membayar royalti secara tepat waktu. Tidak melaporkan laporan produksi atau penjualan produk-produk menggunakan merek Cap Kaki Tiga secara periodik. Serta SBS juga menghilangkan gambar atau logo Kaki Tiga dari kemasan produk Cap Kaki Tiga.

Melihat hal ini, WKD pun merevisi surat penunjukan tertanggal 8 Februari 1978. Lalu membuat sebuah perjanjian lisensi lengkap. Namun, SBS tidak sepakat. Alhasil, WKD berhenti bekerja sama dengan SBS pada 2008  dan memberikan lisensi ekslusif kepada PT Kinocare Era Kosmetindo (KEK) pada 2011.

Kuasa Hukum SBS Arif Nugroho membantah tudingan-tudingan yang dilakukan WKD. SBS tidak berupaya menghancurkan bisnis dan pasar produk Larutan Cap Kaki Tiga. WKD malah dituding mengacaukan pasar Larutan Penyegar Cap Badak. Soalnya, Cap Kaki Tiga masih menjual produk-produknya dengan menggunakan unsur-unsur merek Cap Badak.

Terkait tudingan adanya upaya sistematis yang dilakukan SBS untuk menguasai gambar badak dengan menghilangkan Cap Kaki Tiga, Arif lagi-lagi membantah. Menurut Arif, pada awalnya SBS dan WKD memang terjadi kesepakatan untuk mendaftarkan merek Cap Kaki Tiga. Namun, WKD tidak meminta SBS untuk mendaftarkan Cap Kaki Tiga beserta gambar badak dan tulisan larutan penyegar dalam bahasa Indonesia dan Arab. WKD hanya meminta mendaftarkan logo Cap Kaki Tiga.

“Jadi, sah-sah saja jika SBS mendaftarkan gambar badak dan tulisan penyegar. Lagi pula saat itu, WKD memang tidak ada gambar badaknya,” ujar Arif ketika dihubungi hukumonline, Rabu (20/2).

Menengahi hal ini, Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Nawir Messi melihat pertikaian mengenai hak kekayaan intelektual dengan persaingan usaha adalah isu yang sangat rawan. Menurutnya, pertikaian ini memang tidak dapat dipisahkan secara tegas. Perlu sikap yang hati-hati dalam melihat isu ini.

Untuk itu, Nawir meminta agar majelis hakim mempertimbangkan aspek persaingan usaha ketika memutus perkara hak kekayaan intelektual. Soalnya, implikasi putusan tersebut dapat mengubah struktur pasar yang berbeda. Sehingga dapat merusak iklim usaha dan mengarah pada praktik monopoli di pasar.

“Irisannya sangat kuat. Untuk itu, perlu diperhatikan aspek persaingan usahanya,” jelas Nawir ketika dihubungi hukumonline.

Tags:

Berita Terkait