Perpu No. 1/2004: Jebakan Perusahaan Tambang Asing terhadap Indonesia
Nur Hidayati(*)

Perpu No. 1/2004: Jebakan Perusahaan Tambang Asing terhadap Indonesia

Pada tanggal 11 Maret 2004 yang lalu, Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No.1 tahun 2004 tentang Kehutanan yang dimaksudkan sebagai ‘jawaban' atas permasalahan pelarangan pertambangan terbuka di hutan lindung.

Bacaan 2 Menit

 

Dikeluarkannya Perpu No.1/2004 yang akan ditindalanjuti dengan Kepres yang memberi izin kepada 13 perusahaan untuk menambang (secara terbuka) di hutan lindung, justru akan membuka peluang bagi tuntutan arbitrase terhadap pemerintah. Sebab, karena pemerintah tidak memberikan perlakuan yang sama kepada perusahaan tambang yang lain (secara keseluruhuan terdapat 158 perusahaan yang menuntut dibolehkannya penambangan terbuka di hutan lindung). Akan timbul pertanyaan mengapa hanya 13 saja yang diizinkan, padahal mereka memiliki kesamaan kondisi dan metodologi dalam melakukan pertambangan.

 

Dikeluarkannya Perpu No.1/2004, diakui atau tidak, oleh Pemerintah Indonesia adalah akibat ancaman operator pertambangan asing yang didukung penuh oleh pemerintah mereka. Ditinjau dari sisi kepatutan, jelas hal ini sangat tidak patut, dimana suatu bangsa yang berdaulat mau begitu saja tunduk pada ancaman entitas asing yang berusaha ikut campur dan mempengaruhi urusan domestik suatu negara. Apalagi, hal ini adalah menyangkut kebijakan yang berpengaruh pada hajat hidup orang banyak.

 

Pemerintah Indonesia seharusnya tidak membiarkan ketidakpatutan operator tambang asing mempengaruhi kebijakan domestik dari pemerintah Indonesia melalui ancaman-ancaman arbitrase. Padahal sebenarnya mereka tidak memiliki peluang untuk mengajukan dan oleh karenanya sebenarnya mereka tidak berniat untuk melakukannya. DPR menanggung kewenangan atas kedaulatan dan tanggung jawab untuk membuat keputusan yang sulit atas suatu hal yang sangat penting yang terkait langsung dengan kesehatan hutan dan sungai serta kemaslahatan hidup anak dan cucunya (generasi yang akan datang).

 

Sebagai bagian dari anggota masyarakat Indonesia, operator tambang asing diharuskan untuk menerima keputusan tersebut atau pun menyalurkan keberatannya melalui saluran-saluran resmi pemerintahan. Mereka tidak memiliki hak khusus yang membolehkan mereka begitu saja melakukan ancaman untuk membangkrutkan pemerintah Indonesia jika kepentingan mereka tidak diutamakan.

 

Fakta bahwa operator tambang asing tidak memulai mengajukan gugatan walaupun sudah hampir lima tahun larangan penambangan terbuka di hutan lindung tersebut diberlakukan menunjukkan bahwa sebenarnya mereka sangat paham bahwa mereka tidak memiliki peluang untuk berhasil di arbitrase, sebagaimana dijelaskan di atas.

 

Jika operator-operator dari tambang tersebut percaya bahwa mereka dapat berhasil mendapatkan kompensasi atas kehilangan potensi keuntungan melaui gugatan arbitrase terhadap pemerintah Indonesia, maka sangatlah logis bila mereka sudah melakukannya sebagai kewajiban terhadap para pemegang saham. Nyatanya, mereka belum juga melaksanakan hal tersebut, dan tidak akan pernah melakukannya di masa yang akan datang. Pasalnya, mereka sangat mengetahui bahwa mereka tidak akan berhasil, kecuali dengan dikeluarkannya Kepres yang membolehkan 13 perusahaan tambang untuk beroperasi, maka peluang arbitrase dapat  mereka ajukan.

 

Pemilu baru saja usai. Seharusnya momentum ini bisa menjadi masa untuk merenungkan kembali makna dari kemerdekaan dan kedaulatan bangsa dan negara Indonesia. Indonesia membutuhkan pemimpin yang mementingkan kepentingan publik dan rakyatnya, dan memiliki harga diri untuk bisa mengajak seluruh rakyat bangkit, bukannya pemimpin yang takut pada ancaman operator tambang asing dan bersedia menginjak rakyat sendiri demi mengutamakan kepentingan segelintir perusahaan tersebut.

 

Substansi tulisan pernah disampaikan pada sebuah diskusi di Fakultas Kehutanan IPB, 15 April 2004 

Tags: