Perpres Reforma Agraria Perlu Atur 3 Hal Ini
Berita

Perpres Reforma Agraria Perlu Atur 3 Hal Ini

Terpenting pelaksanaan reforma agraria harus dipimpin langsung oleh Presiden.

Ady TD Achmad
Bacaan 2 Menit
Lahan pertanian. Pemerintah menjalankan reforma agraria. Foto: MYS
Lahan pertanian. Pemerintah menjalankan reforma agraria. Foto: MYS

Reforma Agraria menjadi salah satu agenda kerja yang diusung Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Target redistribusi lahan reforma agraria itu mencapai 9 juta hektar. Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, Bambang Supriyanto, mengatakan setidaknya ada 2 cara pemerintah untuk menjalankan reforma agraria yakni melalui perhutanan sosial dan menetapkan tanah objek reforma agraria (Tora).

 

Untuk perhutanan sosial, Bambang mengatakan awalnya target yang ditetapkan sampai 2019 sebanyak 4,3 juta hektar, tapi dikoreksi menjadi 3,2 juta hektar. Sampai saat ini perhutanan sosial yang sudah direalisasi untuk reforma agraria 1,9 juta hektar. Akhir tahun 2018 targetnya mencapai 2,2 juta hektar. Untuk pelepasan kawasan untuk Tora, dari target 4,1 juta hektar yang terealisasi 977 ribu hektar.

 

“Sudah ada pelepasan kawasan untuk Tora walau jumlahnya belum mencapai target,” katanya dalam diskusi di Jakarta, Jumat (21/9/2018). Baca Juga: Program Reforma Agraria Masih Jauh dari Harapan

 

Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, melihat pemerintah menggunakan 2 skema dalam melakukan reforma agrarian yakni legalisasi aset dan distribusi tanah. Pemerintah melalui Kementerian ATR/BPN, Kementerian Kehutanan, dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) lebih mendorong ke proses legalisasi.

 

Menurutnya, yang utama dilakukan dalam reforma agrarian harusnya redistribusi tanah. Salah satu sumber yang dapat dimanfaatkan pemerintah untuk redistribusi tanah yakni lahan yang perizinannya sudah habis. Bagi Dewi bisa juga pemerintah memanfaatkan tanah terlantar. Dia melihat banyak tanah terlantar yang dimanfaatkan masyarakat untuk berladang, berkebun, membangun desa, bahkan terdapat fasilitas umum dan fasilitas sosial.  

 

“Pemerintah harusnya mengukuhkan ini sebagai objek reforma agraria. BPN mencatat potensi tanah terlantar di Indonesia sekitar 7 juta hektar, tapi yang dialokasikan untuk rakyat hanya 0,4 juta hektar,” kritiknya.

 

Dewi berpendapat target Tora sebesar 4,1 juta hektar yang berasal dari pelepasan kawasan hutan tidak terealisasi dengan baik. Padahal, masyarakat sipil sudah banyak mengajukan usulan. Selaras itu, Dewi berharap agar Peraturan Presiden (Perpres) tentang Reforma Agraria yang bakal terbit memuat ketentuan terobosan berbagai hal yang selama ini menjadi hambatan dalam pelaksanaan reforma agraria.

 

Dia mengusulkan sedikitnya 3 ketentuan yang perlu diatur dalam Perpres Reforma Agraria. Pertama, kelembagaan, badan pelaksana reforma agraria harus dipimpin langsung Presiden. Saat ini kelembagaan reforma agraria belum ideal karena bentuknya gugus tugas yang mekanisme koordinasinya diserahkan kepada kementerian terkait.

 

Menurutnya, koordinasi pelaksanaan reforma agraria tidak bisa diserahkan kepada kementerian karena selama ini mereka yang menerbitkan perizinan yang ujungnya banyak tumpang tindih. Kedua, Perpres harus mengatur mekanisme tata laksana reforma agraria. Dewi melihat praktiknya selama ini masih dari atas ke bawah yakni pemerintah yang menetapkan Tora. Perpres harus mengatur ruang partisipasi masyakarat untuk mengusulkan Tora.

 

Ketiga, pendanaan, Dewi mencatat hambatan yang sering dikeluhkan dalam pelaksanaan reforma agraria selama 4 tahun ini yakni terbatasnya anggaran. Sumber dana untuk kebijakan ini tidak boleh berasal dari pinjaman asing karena akan mempengaruhi tujuan dan orientasi reforma agraria.  “Kami mengkritik keras reforma agrarian dicatut namanya untuk utang kepada Bank Dunia,” tegasnya.

 

Dia menilai saat ini Kementerian ATR/BPN mendorong reforma graria mengacu pada sistem pasar tanah. Upaya itu bagi Dewi tidak tepat karena tujuan reforma agraria untuk membenahi ketimpangan, struktural, menyelesaikan konflik agraria, memperbaiki kerusakan ekologis, dan sebagai sumber kesejahteraan baru.

 

Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Nur Hidayati, mengingatkan pemerintah agar kebijakan yang diterbitkan terkait dengan lahan mendukung terwujudnya reforma agrarian sejati. Misalnya, Instruksi Presiden (Inpres) No. 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit.

 

“Inpres ini harus menjadi bagian dari skema reforma agraria,” harapnya.

 

Perempuan yang disapa Yaya itu menilai Inpres No. 8 Tahun 2018 sebagai langkah awal yang baik. Regulasi itu tak sekedar menghentikan sementara izin baru perkebunan kelapa sawit, tapi juga menghentikan pembangunan kebun kelapa sawit meskipun telah mengantong izin.  

 

Yaya melihat banyak lahan milik korporasi yang belum dikembangkan dan menjadi bank tanah. Lahan seperti ini bisa ditarik pemerintah guna dialokasikan untuk reforma agraria. Dia mencatat tahun 2013 ada 25 perusahaan besar dengan konsesi lahan sebesar 8 juta hektar hanya membangun 3 juta hektar. Sementara 5 juta hektar sisanya belum digarap.

 

“Bank tanah ini harus jadi target utama pemerintah untuk dijadikan Tora,” harapnya.

Tags:

Berita Terkait