Perpres Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Hutan Diteken, Begini Isinya
Berita

Perpres Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Hutan Diteken, Begini Isinya

Pola penyelesaian memperhitungkan luas kawasan hutan yang harus dipertahankan.

Fathan Qorib/RED
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi kawasan hutan. Foto: MYS
Ilustrasi kawasan hutan. Foto: MYS
Pada 6 September 2017 lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor: 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan. Sebagaimana dilansir dari laman resmi setkab.go.id, Jumat (15/9), Perpres ini bertujuan untuk menyelesaikan dan memberikan perlindungan hokum atas hak-hak masyarakat yang menguasai tanah di kawasan hutan.
Perpres ini menyebutkan, kawasan hutan sebagaimana dimaksud merupakan kawasan hutan pada tahap penunjukan kawasan hutan, yang meliputi kawasan hutan dengan fungsi pokok hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. Pola penyelesaian untuk bidang tanah yang telah dikuasai dan dimanfaatkan dan/atau telah diberikan hak di atasnya sebelum bidang tanah tersebut ditunjuk sebagai kawasan hutan, menurut Perpres ini, dilakukan dengan mengeluarkan bidang tanah dari dalam kawasan hutan melalui perubahan batas kawasan hutan.
“Pola penyelesaian untuk bidang tanah yang dikuasai dan dimanfaatkan setelah bidang tanah tersebut ditunjuk sebagai kawasan hutan berupa: a. mengeluarkan bidang tanah dalam kawasan hutan melalui perubahan batas kawasan hutan; b. tukar menukar kawasan hutan; c. memberikan akses pengelolaan hutan melalui program perhutanan sosial; atau d. melakukan resettlement,” bunyi Pasal 8 ayat (2) ayat (1) Perpres ini.
Pola penyelesaian tersebut memperhitungkan luas kawasan hutan yang harus dipertahankan minimal 30% dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi serta fungsi pokok kawasan hutan. Adapun pola penyelesaian untuk bidang tanah yang dikuasai dan dimanfaatkan setelah bidang tanah tersebut ditunjuk sebagai kawasan hutan dengan fungsi konservasi , menurut Perpres ini, dilakukan melalui resettlement atau pemindahan penduduk dari kawasan hutan ke luar kawasan hutan.

(Baca Juga: Perlu Kebijakan Lanjutan Setelah Pengakuan Hutan adat)
Sedangkan pola penyelesaian untuk bidang tanah yang dikuasai dan dimanfaatkan yang berada pada wilayah yang telah ditunjuk sebagai kawasan hutan dengan fungsi lindung pada provinsi dengan luas kawasan hutan sama dengan atau kurang dari 30% dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan/ atau provinsi adalah dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk permukiman, fasilitas umum dan/ atau fasilitas sosial dan memenuhi kriteria sebagai hutan lindung dilakukan melalui resettlement.
Lalu, bidang tanah tersebut digunakan untuk permukiman, fasilitas umum dan/ atau fasilitas sosial dan tidak memenuhi kriteria sebagai hutan lindung dilakukan melalui tukar menukar kawasan hutan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Kemudian, bidang tanah tersebut digunakan untuk lahan garapan dilakukan dengan memberikan akses pengelolaan hutan melalui program perhutanan sosial.
Pola penyelesaian untuk bidang tanah yang dikuasai dan dimanfaatkan yang berada pada wilayah yang telah ditunjuk sebagai kawasan hutan dengan fungsi lindung pada provinsi dengan luas kawasan hutan lebih dari 30% dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi, menurut Perpres ini, dilakukan dengan beberapa cara.
Mulai dari, bidang tanah tersebut digunakan untuk permukiman, fasilitas umum dan/atau fasilitas sosial dan memenuhi kriteria sebagai hutan lindung dilakukan melalui resettlement. Bidang tanah tersebut digunakan untuk permukiman, fasilitas umum dan/atau fasilitas sosial dan tidak memenuhi kriiteria sebagai hutan lindung dilakukan dengan mengeluarkan bidang tanah dari dalam kawasan hutan melalui perubahan batas kawasan hutan.
Bidang tanah tersebut digunakan untuk lahan garapan dan telah dikuasai lebih dari 20 tahun secara berturut-turut dilakukan dengan mengeluarkan bidang tanah dari dalam kawasan hutan melalui perubahan batas kawasan hutan. Kemudian, bidang tanah tersebut digunakan untuk lahan garapan dan telah dikuasai kurang dari 20 tahun secara berturut-turut dilakukan dengan memberikan akses pengelolaan hutan melalui program perhutanan social.
“Perubahan batas kawasan hutan sebagaimana dimaksud harus berada dalam sumber tanah obyek reforma agraria dari kawasan hutan,” bunyi Pasal 11 ayat (2) Perpres tersebut.
Sedangkan pola penyelesaian untuk bidang tanah yang dikuasai dan dimanfaatkan setelah bidang tanah tersebut ditunjuk sebagai kawasan hutan dengan fungsi produksi pada provinsi yang memiliki luas kawasan hutan sama dengan atau kurang dari 30% dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi dilakukan dengan beberapa cara.
Pertama, dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk permukiman, fasilitas umum dan/atau fasilitas sosial dilakukan melalui tukar menukar kawasan hutan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan atau resetllement. Lalu, dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk lahan garapan dilakukan dengan memberikan akses pengelolaan hutan melalui program perhutanan sosial.

(Baca Juga: RUU Pertanahan Diusulkan Jadi Aturan Pelaksanaan UU Pokok Agraria)
Untuk pola penyelesaian untuk bidang tanah yang dikuasai dan dimanfaatkan setelah bidang tanah tersebut ditunjuk sebagai kawasan hutan dengan fungsi produksi pada provinsi yang memiliki luas kawasan hutan lebih dari 30% dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan/ atau provinsi. Jika bidang tanah tersebut digunakan untuk permukiman, fasilitas umum dan/ atau fasilitas sosial dilakukan dengan mengeluarkan bidang tanah dari dalam kawasan hutan melalui perubahan batas kawasan hutan.
Kemudian, bidang tanah tersebut digunakan untuk lahan garapan dan telah dikuasai lebih dari 20 tahun secara berturut-turut dilakukan dengan mengeluarkan bidang tanah dari dalam kawasan hutan melalui perubahan batas kawasan hutan. Dalam hal bidang tanah tersebut digunalan untuk lahan garapan dan telah dikuasai kurang dari 20 tahun secara berturut-turut dilakukan dengan memberikan akses pengelolaan hutan melalui program perhutanan sosial.
“Perubahan batas kawasan hutan sebagaimana dimaksud harus berada dalam sumber tanah obyek reforma agraria dari kawasan hutan,” bunyi Pasal 11 ayat (2) Perpres ini.
Dalam Perpres ini juga mengamanatkan disusunnya Rencana Aksi penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan. Rencana aksi sebagaimana dimaksud ditetapkan dengan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian selaku Ketua Tim Percepatan Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan yang selanjutnya disebut Tim Percepatan PPTKH.
Tim Percepatan
Dalam rangka penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan, menurut Perpres ini, Pemerintah membentuk Tim Percepatan Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PPTKH) yang selanjutnya disebut Tim Percepatan PPTKH. Ada beberapa tugas yang dilakukan Tim PPTKH.
Tugas tersebut antara lain, melakukan koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan. Menetapkan langkah-langkah dan kebijakan dalam rangka penyelesaian permasalahan dan hambatan dalam pelaksanaan penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan. Menetapkan luas maksimum bidang tanah yang dapat dilakukan penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan. Menetapkan mekanisme resettlement, melakukan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan. Serta, melakukan fasilitasi penyediaan anggaran dalam pelaksanaan penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan.
Susunan keanggotaan Tim Percepatan PPTKH terdiri dari: a. Ketua : Menteri Koordinator Bidang Perekonomian; b. Anggota : 1. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan: 2. Menteri Agraria dan Tata Ruang/ KpPala Badan Pertanahan Nasional; 3. Menteri Dalam Negeri; 4. Sekretaris Kabinet; 5. Kepala Staf Kepresidenan.
“Tim Percepatan PPTKH sebagaimana dimaksud secara administratif berkedudukan di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian,” bunyi Pasal 14 ayat (4) Perpres tersebut.
Sementara itu dalam rangka melakukan inventarisasi dan verifikasi penguasaan tanah dalam kawasan hutan, menurut Perpres ini, Gubernur membentuk Tim Inventarisasi dan Verifikasi Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (Tim Inver PTKH). “Gubernur melaporkan pelaksanaan tugas Tim Inver PTKH sebagaimana dimaksud kepada Ketua Tim Percepatan PPTKH secara berkala setiap 3 (tiga) bulan atau sewaktu-waktu diperlukan,” bunyi Pasal 18 ayat (2) Perpres ini.
Tim ini bertugas menerima pendaftaran permohonan inventarisasi dan verifikasi secara kolektif yang diajukan melalui bupati/walikota. Melaksanakan pendataan lapangan, melakukan analisis mulai dari data fisik dan data yuridis bidang-bidang tanah yang berada di dalam kawasan hutan dan/atau, analisis lingkungan hidup dan merumuskan rekomendasi berdasarkan hasil analisis dan menyampaikannya kepada gubernur.
“Pedoman pelaksanaan tugas Tim Inver PTKH diatur dengan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian selaku Ketua Tim Percepatan PPTKH,” bunyi Pasal 19 ayat (3) Perpres ini.

(Baca Juga: Legal Due Dilligence 'Tanpa Celah' Kunci Hindari Kasus dalam Pengadaan Tanah)
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian selaku Ketua Tim Percepatan PPTKH, menurut Perpres ini, melakukan koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan, yang akan  menghasilkan pertimbangan penyelesaian penguasaan tanah yang berada di dalam kawasan hutan untuk ditindaklanjuti oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
“Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan,” bunyi Pasal 35 Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017, yang telah diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly pada 11 September 2017 itu.
Tags:

Berita Terkait