Mantan anggota dua periode sejak 2009-2019 itu menyitir kajian KPK yang semestinya iuran BPJS Kesehatan tak perlu naik. Salah satunya, rekomendasi KPK agar Kemenkes memberi pilihan pembatasan manfaat untuk penyakit katastropik yakni penyakit akibat gaya hidup. KPK menyebutkan jika terdapat pembatasan manfaat untuk jenis penyakit ini dapat mengurangi potensi pengobatan yang tidak perlu sebesar 5-10 persen.
“Jadi, banyak opsi yang bisa dilakukan Kemenkes dan BPJS Kesehatan selain menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Ini persoalan mau atau tidak?”
Upaya melawan hukum
Terpisah, peneliti Lokataru Fondation Fian Alaydrus mengatakan berungkali publik mengingatkan pemerintah agar teguh berpegang pada prinsip pedoman layak kesehatan. Satu diantaranya prinsip aksesibilitas keuangan yang memastikan layanan kesehatan harus terjangkau secara biaya oleh semua warga. Menurutnya, aksi protes turun kelas yang pernah terjadi sebelumnya memberi pesan warga kesulitan menjangkau besaran iuran yang baru secara finansial.
Sayangnya, lagi-lagi pemerintahan Joko Widodo tak memiliki sensitivitas dan kemampuan membaca peristiwa tersebut. Sebaliknya, tetap memilih menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Lokataru Fondation, kata Fian, sejak awal menilai kebijakan menaikan iuran untuk menutup lubang defisit BPJS Kesehatan tak menjamin di kemudian hari BPJS Kesehatan tidak mengalami defisit.
“Kami tidak bisa menerima penjelasan resmi pemerintah yang menyalahkan defisit kepada para peserta BPJS. Sampai penyebab defisit belum bisa dijelaskan secara memuaskan oleh pemerintah, maka kami akan terus menolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan,” katanya.
Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Samosir sebagai pihak yang menggugat Perpres 75/2019, mengaku kecewa berat dengan pemerintah dengan terbitkan Perpres 64/2020. Menurutnya, di tengah pandemi Covid-19 terus bergulir, menaikan iuran BPJS Kesehatan mengancam keselamatan pasien penyakit kronis. Seperti penderita gagal ginjal yang harus tetap mengakses layanan kesehatan (hemodialisa/cuci darah) demi kelanjutan hidup.
Dia menilai kebijakan Presiden Jokowi yang “ngotot” menaikan iuran BPJS Kesehatan kedua kalinya, menjadi sebuah tabiat yang tak terpuji dalam demokrasi dan kehidupan bernegara. Keputusan Mahkamah Agung seharusnya mengikat secara hukum bagi semua pihak, tak terkecuali Presiden. Oleh karena itu, Perpres No. 64/2020 tak lain adalah sebuah upaya melawan hukum.
“Lagi-lagi, kami menilai pemerintah tidak memiliki komitmen yang kuat untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak atas jaminan kesehatan warga negaranya,” sesalnya.