Perpres Kenaikan Iuran BPJS Dinilai Langgar Putusan MA
Berita

Perpres Kenaikan Iuran BPJS Dinilai Langgar Putusan MA

Seharusnya pemerintah patuh menjalankan putusan MA secara penuh.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Layanan BPJS Kesehatan. Foto: Hol
Layanan BPJS Kesehatan. Foto: Hol

Pemerintah seolah tak mematuhi Putusan Mahkamah Agung (MA) No. 7P/HUM/2020 yang membatalkan Pasal 34 Peraturan Presiden (Perpres) No.75 tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres No.82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan terkait kenaikan iuran BPJS. Belum genap tiga, Presiden Joko Widodo malah menerbitkan Perpres No. 64 Tahun 2020 yang bakal kembali menaikan iuran BPJS Kesehatan yang dinilai melanggar amanat putusan MA.

“Perpres No. 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Prepres No. 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan secara tidak langsung merupakan perbuatan melawan hukum,” ujar Anggota Komisi IX DPR Lucy Kurniasari dalam keterangannya, Kamis (14/5/2020).Lucy menilai Perpres tersebut kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan untuk kelas I dan Kelas II per 1 Juli 2020. Sementara iuran untuk kelas III akan dinaikkan pada tahun 2021. Menurutnya, menaikkan kembali iuran BPJS Kesehatan tidak sejalan dengan Putusan MA yang telah membatalkan Perpres No. 75 Tahun 2019 yang menaikkan iuran BPJS Kesehatan.

Pemerintah semestinya tak ‘mengakali’ publik dengan Perpres untuk menaikan lagi iuran BPJS yang telah dibatalkan MA. "Seharusnya Pemerintah melaksanakan Putusan MA dengan taat asas. Kalau seperti ini kan sama Pemerintah bermain-main dengan Putusan MA," kata politikus Partai Demokrat tersebut.

Lucy mengaku khawatir jika Pemerintah memberi contoh tidak taat asas pada hukum, akan diikuti oleh rakyat. Kalau hal ini terjadi, akan berbahaya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk penegakan hukum di Tanah Air. Karena itu, ia meminta kepada Presiden untuk menganulir Perpres No. 64 Tahun 2020. 

"Selanjutnya saya meminta Presiden melaksanakan Putusan MA secara sungguh-sungguh, agar rakyat dapat menyontoh pimpinannya dalam melaksanakan hukum," katanya.

Perpres 64 Tahun 2020 itu mengatur skema iuran BPJS Kesehatan pasca MA membatalkan Pasal 34 Perpres No.75 Tahun 2019. Beleid itu menyebutkan besaran iuran peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) sesuai manfaat (kelas) pelayanan ruang perawatan. Untuk Januari-Maret 2020 besar iuran mengikuti Perpres No.75 Tahun 2019 yaitu Rp160.000 (Kelas I); Rp110.000 (Kelas II); dan Rp42.000 (Kelas III). (Baca Juga: Alasan MA Batalkan Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan)

Untuk April-Mei 2020 besaran iuran mengikuti amanat putusan MA yakni kembali ke tarif iuran sesuai Perpres No. 82 Tahun 2018 yakni Rp80.000 (Kelas I); Rp51.000 (Kelas II); dan Rp25.500 (Kelas III). Mulai Per 1 Juli 2020, iuran JKN-KIS bagi peserta PBPU dan BP disesuaikan menjadi Rp 150.000 untuk kelas I; Rp 100.000 untuk kelas II, dan Rp 42.000 untuk kelas III. Namun, khusus kelas III, pemerintah memberi bantuan iuran sebesar Rp16.500 pada 2020 dan menurun menjadi Rp7.000 per bulan pada 2021 mendatang.

Berikut perbandingan beberapa perpres tentang jaminan Kesehatan terkait besaran iuran peserta BPJS mandiri kategori Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP):

Perpres 82/2018

Perpres 75/2019

Perpres 64/2020

Rp25.500,00 untuk pelayanan Kelas III

Rp42.000,00 untuk pelayanan Kelas III

Januari-Maret 2020 besaran iuran, Rp42.000 (Kelas III); Rp110.000 (Kelas II); Rp160.000 (Kelas I).    

Rp51.000,00 untuk pelayanan Kelas II

RpRp110.000,00 untuk pelayanan Kelas II

April-Juni 2020 besaran iuran, Rp25.500 (Kelas III); Rp51.000 (Kelas II); Rp80.000 (Kelas I).

Rp80.000,00 untuk pelayanan Kelas I

Rp160.000,00 untuk pelayanan Kelas I

Mulai 1 Juli 2020, besaran iuran Rp42.000 (Kelas III); Rp100.000 (Kelas II); Rp150.000 (Kelas I).

Tak peka dan berempati

Anggota Komisi IX DPR Netty Prasetiyani berpendapat pemerintah tak peka dan berempati terhadap suasana kebatinan ekonomi masyarakat yang amburadul akibat terdampak Covid-19. “Pemerintahan Jokowi seolah memberi ‘kado’ pil pahit yang mesti ditelan masyarakat di momen  hari raya Idul Fitri,” kata Netty.

Padahal, rakyat sedang gusar dengan semakin banyaknya beban hidup yang harus ditanggungnya. Seperti kenaikan tarif dasar listrik, harga BBM yang tak kunjung turun, hingga daya beli masyarakat yang terus mengalami penurunan. “Kebijakan kenaikan ini semakin mempersulit kehidupan masyarakat dan membuat hidup masyarakat semakin sengsara dan ambyar,” kata dia.

Meski begitu, kebijakan subsidi yang diberikan kepada peserta mandiri kategoeri (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) kelas III harus dapat dipertanggungjawabkan oleh pemerintah dan tepat sasaran mengingat karut-marutnyapersoalan data kepesertaan BPJS. Apalagi, jumlah peserta kelas III paling banyak dibanding kelas lain setelah terjadi migrasi dari kelas I dan II ke kelas III akibatkan kenaikan premi Perpres 75/2019.

“Seharusnya Presiden melaksanakan putusan MA secara sungguh-sungguh, karena putusan ini mengikat. Jangan malah bermain-main dan mengakali serta menciderai hukum dengan menerbitkan Perpres 64/2020 ini. Seharusnya pemerintah menjadi contoh institusi yang baik dan taat hukum, jangan malah sebaliknya,” ujarnya.

Anggota Komisi IX DPR lain, Saleh Partaonan Daulay menilai menaikan kembali iuran BPJS Kesehatan melalui Perpes 64/2020 selain tak mematuhi putusan MA, pemerintah diduga “berselancar” dengan mencari cara baru untuk melawan hukum. “Sejak awal, saya menduga pemerintah akan ‘berselancar’. Putusan MA akan dilawan dengan menerbitkan perpres baru, tentu jauh lebih mudah dibandingkan melaksanakan putusan MA,” kata dia.

Saleh menduga pemerintah sengaja menaikan iuran BPJS per Juli 2020. Dengan begitu, terdapat masa pemerintah melaksanakan putusan MA mengembalikan besaran iuran ke jumlah sebelumnya yakni kelas I sebesar Rp 80 ribu, kelas II sebesar Rp 51 ribu, dan kelas III sebesar Rp 25,500.

Artinya, pemerintah mematuhi putusan MA itu hanya 3 bulan yakni April, Mei, dan Juni 2020. Setelah itu, iuran BPJS Kesehatan kembali dinaikkan lagi. Menariknya, kata Saleh, iuran kelas III bakal dinaikan pada 2021. Pemerintah terkesan hendak memberi pesan peduli terhadap masyarakat menengah ke bawah.

Dia khawatir Perpres 64/2020 bakal ditentang masyarakat. Bahkan, masyarakat potensi menggugat kenaikan iuran BPJS Kesehatan ke MA. Berkaca pada uji materi Perpres 75/2019, potensi masyarakat menang amat tinggi. Karena itu, seharusnya hal ini menjadi pertimbangan pemerintah sebelum “melawan” MA melalui Perpres 64/2020.

“Kan repot sekali urusannya. Dinaikkan, lalu digugat. Gugatan menang, ganti perpres dan naikkan lagi. Nanti digugat lagi, mungkin menang. Lalu pemerintah ganti perpres, iuran dinaikkan lagi,” kata Wakil Ketua Majelis Kehormatan Dewan (MKD) itu.

Tags:

Berita Terkait