Perpres Fiktif Positif Belum Terbit, Advokat Ini Gugat Presiden ke PTUN
Utama

Perpres Fiktif Positif Belum Terbit, Advokat Ini Gugat Presiden ke PTUN

Tindakan tergugat (Presiden RI) yang tidak menetapkan/menerbitkan Perpres sebagai amanat Pasal 53 ayat (5) UU Administrasi Pemerintahan sebagaimana telah diubah oleh Pasal 175 UU Cipta Kerja sebagai ketentuan lebih lanjut mengenai (bagaimana) bentuk penetapan Keputusan dan/atau Tindakan, dianggap dikabulkan secara hukum.

Agus Sahbani
Bacaan 4 Menit
Gedung PTUN Jakarta: Foto: Dokumen Hol
Gedung PTUN Jakarta: Foto: Dokumen Hol

Advokat Konstitusi Viktor Santoso Tandiasa resmi menggugat Presiden atas Perbuatan Melawan Hukum (PMH) lantaran tidak menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Fiktif Positif sebagaimana diatur Pasal 175 UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang mengubah Pasal 53 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP). Hal ini mengakibatkan kekosongan hukum untuk menempuh upaya hukum fiktif positif ke PTUN. 

Saya Viktor Santoso Tandiasa didampingi 2 orang Kuasa Hukum Happy Hayati Helmi dan Eliadi Hulu resmi mendaftarkan gugatan PMH ke PTUN Jakarta dengan Nomor Perkara 123/G/TF/2021/PTUN.JKT,” ujar Viktor kepada Hukumonline, Selasa (11/5/2021) malam.  

Pasal 53 UUAP, sering dipakai warga negara untuk menguji sikap atau tindakan pejabat/badan tata usaha negara termasuk merespons permohonan perizinan hingga jangka waktu tertentu. Jika peraturan tidak menentukan batas waktunya, batas waktu yang disebut adalah 10 hari kerja sejak permohonan diterima pejabat TUN. Jika pejabat bersangkutan mendiamkan atau tidak merespons permohonan hingga jangka waktu tertentu habis, permohonan dianggap dikabulkan secara hukum. Inilah yang lazim disebut fiktif positif. 

Selanjutnya, pemohon dapat mengajukan permohonan ke pengadilan (PTUN) agar badan/pejabat tersebut bersikap atau mengambil keputusan/tindakan. Pengadilan wajib memutuskan paling lama 21 hari kerja sejak permohonan diajukan. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan Keputusan untuk melaksanakan putusan Pengadilan paling lama 5 hari kerja sejak putusan Pengadilan ditetapkan.

Lembaga fiktif positif adalah kebalikan fiktif negatif yang selama ini dianut UU No. 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara dan dua Undang-Undang perubahannya (terakhir dengan UU No. 51 Tahun 2009). UU PTUN menganut prinsip jika pejabat mendiamkan permohonan warga negara berarti permohonan itu ditolak. (Baca Juga: Begini Cara Hakim Menambal Kelemahan Lembaga Fiktif Positif)

Viktor menerangkan setelah berlakunya UU Cipta Kerja, terjadi perubahan dalam UU Administrasi Pemerintahan terutama Pasal 53 UU Administrasi Pemerintahan. Sebelumnya, upaya fiktif positif melalui mekanisme di PTUN. Tapi, dalam Pasal 175 UU Cipta Kerja, mengubah Pasal 53 UU Administrasi Pemerintahani dimana upaya fiktif positif melalui mekanisme PTUN dihapus. Karena itu, sejak UU Cipta Kerja diundangkan, PTUN tidak lagi berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan fiktif positif. 

Contoh kasus dalam Putusan Perkara Nomor 24/P/FP/2021/PTUN.PL yang menyatakan Pengadilan Tata Usaha Negara tidak diberikan kewenangan lagi untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan mengenai permohonan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintah untuk menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan mengacu pada ketentuan Pasal 175 UU Cipta Kerja yang telah mengubah Pasal 53 UU Administrasi Pemerintahan.

Persoalannya, sejak terbitnya UU Cipta Kerja hingga saat ini, Presiden Republik Indonesia belum menerbitkan Perpres yang mengatur tentang ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk penetapan Keputusan dan/atau Tindakan yang seperti apa dianggap dikabulkan secara hukum berdasarkan amanat Pasal 53 ayat (5) UU Administrasi Pemerintahan sebagaimana termuat dalam Pasal 175 UU Cipta Kerja.

“Saat ini terjadi kekosongan hukum (aturan) dalam melaksanakan Perubahan Pasal 53 UU Administrasi Pemerintahan melalui Pasal 175 UU Cipta Kerja,” kata Viktor.

Padahal terdapat tenggat waktu, paling lama 3 bulan bagi Pemerintah cq Presiden wajib untuk menetapkan peraturan pelaksana sebagaimana diatur dalam Pasal 185 huruf a UU Cipta Kerja. Artinya 3 bulan sejak UU Cipta Kerja disahkan dan diundangkan (tanggal 2 November 2020, red), maka paling lama (tanggal 2 Februari 2021, red) seluruh peraturan pelaksana UU Cipta Kerja sudah harus diterbitkan.

“Termasuk Perpres tentang Fiktif Positif sebagai tindak lanjut perubahan Pasal 53 UU Administrasi Pemerintahan sebagaimana termuat dalam Pasal 175 UU Cipta Kerja hingga saat ini belum juga diterbitkan/diundangkan,” tegasnya.  

Hal ini tentunya merugikan kepentingan penggugat yang berprofesi sebagai Advokat. Sebab, dampak kekosongan hukum ini membuat penggugat saat mendapat kuasa melakukan upaya fiktif positif karena permohonan administratif ke Kementerian Hukum dan HAM selama 5 hari menurut Perubahan Pasal 53 UU Administrasi Pemerintahan yang termuat dalam Pasal 175 UU Cipta Kerja tidak dibalas atau direspons. Bahkan hingga lewat 10 hari juga tidak dibalas.

“Penggugat secara khusus dan seluruh Advokat atau seluruh masyarakat Indonesia secara Umum yang sedang menempuh atau akan menempuh upaya fiktif positif mengalami kerugian akibat kekosongan hukum yang menjadi dasar hukum melakukan upaya fiktif Positif.”

Menurutnya, sikap diam/tidak mengeluarkan Perpres sebagai pelaksana UU Cipta Kerja tersebut telah terbukti melanggar atau bertentangan Pasal 185 huruf a UU Cipta Kerja yang memberi tenggat waktu “kewajiban” paling lama 3 bulan kepada Presiden untuk menerbitkan peraturan pelaksana UU Cipta Kerja. Hal ini juga bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) sebagaimana diatur Pasal 10 UU Administrasi Pemerintah yang meliputi: kepastian hukum, kemanfaatan, ketidakberpihakan, kecermatan, tidak menyalahgunakan kewenangan, keterbukaan, kepentingan umum, dan pelayanan yang baik.

Artinya sikap diam/tidak melakukan perbuatan konkret dalam bentuk tidak mengeluarkan Perpres melanggar asas kepastian hukum, kemanfaatan, kepentingan umum dan pelayanan yang baik. Sikap diam ini oleh Peradilan Tata Usaha Negara haruslah dinyatakan sebagai perbuatan faktual pemerintah yang bertentangan dengan UU dan AUPB yang menimbulkan kerugian bagi penggugat berupa terhalangnya hak memperoleh perlindungan hukum dan kepastian hukum serta pelanggaran atas akses prosedur yang tepat.

Ditegaskan Viktor, objek gugatan ini adalah PMH oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan yakni tindakan tergugat yang tidak melaksanakan ketentuan perundang-undangan yakni Perubahan Pasal 53 ayat (5) UU Administrasi Pemerintahan sebagaimana telah diubah dalam Pasal 175 UU Cipta Kerja sebagaimana diwajibkan berdasarkan ketentuan Pasal 185 huruf a UU Cipta Kerja.

“Tindakan tergugat (Presiden RI) yang tidak menetapkan/menerbitkan Perpres sebagai amanat Pasal 53 ayat (5) UU Administrasi Pemerintahan sebagaimana telah diubah oleh Pasal 175 UU Cipta Kerja sebagai ketentuan lebih lanjut mengenai (bagaimana, red) bentuk penetapan Keputusan dan/atau Tindakan, dianggap dikabulkan secara hukum,” demikian bunyi salah satu petitum gugatan ini.

Tags:

Berita Terkait