Perppu Tidak Terbit Jelang Revisi UU KPK Berlaku, Benarkah Presiden Tersandera?
Berita

Perppu Tidak Terbit Jelang Revisi UU KPK Berlaku, Benarkah Presiden Tersandera?

Ada ketakutan terhadap kekuatan partai politik.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi Perppu. Iljustrator: BAS
Ilustrasi Perppu. Iljustrator: BAS

Dua hari lagi, revisi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang baru saja disetujui bersama Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden akan berlaku. Setelah disahkan melalui paripurna DPR pada pertengahan September lalu, hingga kini belum ada pengumuman resmi UU tersebut ditandatangani Presiden. Normatifnya, jika tidak juga ditandatangani Presiden, maka UU yang sudah disetujui bersama otomatis berlaku setelah 30 hari sejak disahkan oleh DPR.

Atensi publik terus mengarah kepada Presiden. Di tengah dorongan sejumlah pihak agar Presiden segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan sejumlah pasal yang dinilai kontrovfersial, atau sekurang-kurangnya menunda pemberlakuan UU tersebut, publik memperhatikan situasi Presiden tidak sedang baik-baik saja. Bahkan lebih jauh, ada yang menilai bahwa Presiden tengah tersandera oleh kepentingan partai politik yang sebelumnya menjadi pendukung pada Pemilu 2019 lalu.

“Terjadi situasi baru dalam realitas politik kita yang sebenarnya diharapkan Presiden mampu lebih kuat posisinya. Uniknya partai pendukung Presiden mengontrol Presiden,” ujar Direktur Eksekutif Lingkar Madani, Ray Rangkuti dalam sebuah diskusi, Senin (14/10) di Jakarta.

(Baca juga: Konsekuensi Logis Jika Presiden Tak Keluarkan Perppu).

Menurut Ray di periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang kedua ini, posisi Presiden dikooptasi oleh kepentingan partai koalisi yang secara mayoritas menguasai parlemen. Dalam kerangka sistem presidensial, hal ini tidak lazim terjadi. Ray menilai seharusnya kebijakan Presiden lah yang bisa diamankan oleh partai koalisi pendukung Presiden, bukan sebaliknya. Situasi ini menurut Ray setidaknya terkonfirmasi melalui beberapa sikap Presiden terkait pengesahan sejumlah UU, terutama UU KPK.

“Ini pemandangan yang kontras dalam sistem pemerintahan presidensial. Ini kesialan kesialan bagi sistem ini. Presiden bahkan mempertaruhkan jabatannya untuk mengawal kepentingan politik partai koalisinya. Ini terlihat dari revisi UU KPK, Presiden tidak berani melawan kepentingan parpol pendukungnya,” ujar Ray.

Dalam kasus UU KPK, Ray menilai sikap presiden dalam mengeluarkan surpres erkait pembahasan UU KPK merupakan salah satu dampak desakan partai politik terhadap Presiden. Kemudian setelah disahkan UU KPK oleh DPR, dorongan sejumlah pihak, termasuk gelombang demonstrasi mahasiswa di Jakarta maupun daerah-daerah hingga kini belum direspon dalam bentuk tindakan oleh Presiden. Publik menginginkan agar Presiden dapat mengeluarkan Perppu.

Namun Ray menyebutkan bahwa niat Presiden untuk mengeluarkan Perppu terhambat kepentingan politik partai politik. Selain sikap partai pengusung Presiden pada Pemilu 2019 yang menginginkan adanya revisi UU KPK, langkah Presiden pun menemukan hambatan lewat narasi impeachment yang akan ditempuh oleh DPR jika saja Presiden sampai mengambil keputusan untuk menerbitkan Perppu. “Itu yang membut Presiden tidak mengeluarkan Perppu,” tegas Ray.

(Baca juga: Arsul Sani: Perppu KPK Opsi Terakhir).

Padahal secara konstitusional, Ray menilai telah terpenuhi syarat kegentingan memaksa bagi Persiden untuk bisa menerbitkan Perppu. Ia membandingkan dengan situasi ketika dimana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Perppu yang membatalkan Pemilihan Kepala Daerah secara tidak langsung yang telah disepakati DPR. Kala itu, penolakan terhadap mekanisme Pilkada tidak langsung tidaklah sebesar penolakan terhadap UU KPK kali ini. Tidak hanya itu, situasi hari ini bahkan telah memakan korban jiwa dan ratusan orang tengah di tahan oleh pihak Kepolisian akibat ikut dalam aksi demonstrasi penolakan UU KPK.

Ray berpandangan dalam agenda pemberantasan korupsi kali ini, Presiden tidak sedang bekerja sesuai dengan amanat rakyat pada umumnya, melainkan mentransaksikan sejumlah program prioritas seperti pembangunan infrastruktur dan perpindahan ibukota dengan agenda politik partai politik yang ada di parlemen. “Jadi ini pertemuan antara transaksi program idola presiden dengan agenda-agenda politik partai politik,” tegas Ray.

Sementara itu Koordinator Komite Pemilih Indonesia, Jerry Sumampouw menyebutkan, pemberantasan korupsi merupakan salah satu agenda paling penting dari reformasi 1998. Jika Presiden tidak segera mengambil langkah serius untuk menyelamatkan KPK lewat jalur PERPPU misalnya, Jerry menilai Presiden sebagai salah satu penyebab gagalnya agenda reformasi. “Kalau sampai (tanggal) 17 (Oktober) tidak ada Perppu, maka bisa kita katakan Presiden faktor yang menggagalkan agenda reformasi 1998,” ujar Jerry.

Ia menilai, salah satu penyebab keterpilihan Joko Widodo untuk kedua kalinya menjadi Presiden adalah konsistensinya dalam menjaga semangat pemberantasan korupsi. konsistensi tersebut menurut Jerry tidak lagi terlihat setelah Presiden kembali terpilih dalam Pemilu 2019. Jerry menilai ada ketakutan tersendiri yang dirasakan oleh Presiden terhadap partai politik. Oleh karena itu ia mengajak semua pihak tetap mendorong Presiden bisa kembali sesuai dengan harapan publik.

“Kita berharap Presiden betul-betul berfikir apa yang menjadi kepentingan masyarakat. Sedikit banyak demo kemaren itu karena sepertinya Presiden ini ingkar janji,” ungkap Jerry.

Wajah DPR

Peneliti Forum Masyarakt Pemantu Parlemen Indonesia (FORMAPPI), Lucius Karus menyebutkan, mayoritas wajah DPR RI hari ini masih merupakan wajah lama. Ia menyebutkan sekitar 56 persen dari anggota DPR merupakan Petahana. Ada sekitar 21 orang anggota DPR  adalah anggota DPR yang juga pernah dilantik pada 2014, namun di tengah jalan mengundurkan diri karena ikut berkontestasi pada pemilihan kepala daerah. “(Mereka) mengundurkan diri karena maju di Pilkada terus hahl sehingga maju lagi di DPR,” ujar Lucius.

Selain itu, fase awal DPR periode 2019-2024 diwarnai aksi demonstrasi sejumlah pihak yang mestinya dapat dipahami sebagai bagian dari masukan terhadap DPR sehingga perlu direspon secara cepat pasca pelantikan dilaksanakan. Lucius mencatat semangat besar dari penyampaian aspirasi oleh masyarakat pada aksi demonstrasi lalu merupakan desakan kepada DPR untuk menghasilkan Undang-Undang yang berkualitas. Salah satunya dengan ikut melibatkan partisipasi masyarakat. Namun Lucius memprediksi situasi lima tahun lalu akan kembali terulang.

Penyebabnya, menurut Jerry Sumampouw, peran partai politik yang sangat kuat terhadap anggotanya yang hari ini menjadi wakil rakyat di parlemen. Jerry menilai, meskipun banyak pula wajah baru yang seharusnya membawa semangat baru di parlemen, tidak akan mampu mewarnai kultur insitusi parlemen yang Selama ini dikuasai oleh partai politik. Bahkan ia menyebutkan, tidak ada anggota DPR baru yang berani mengambil agenda berbeda dengan agenda partai politiknya. “Mestinya mereka berani kerena mereka dipilih langsung oleh rakyat. Jadi mestinya mekanisme pemilu kemaren membuat mereka lebih percaya diri untuk berbeda dengan agenda parpol,” ujar Jerry.

Direktur Eksekutif Formappi, Made Leo Wiratma menyebutkan, dalam rangka pengawasan kelembagaan DPR, mestinya Mahkamah Kehormatan Dewan dapat menjalankan fungsinya secara maksimal. Namun nyatanya, MKD sendiri sampai sekarang tidak terlalu berfungsi. Hal ini menurut Made terlihat dari kekuasaan DPR hari ini yang sangatlah besar. Situasi yang terbalik ketika DPR menyuarakan pentingnya lembaga lain berada dalam pengawasan, malah tidak berlaku dengan lembaga DPR.

Made menyinggung tujuan dengan adanya rencana amandemen UUD sebagai bentuk dari upaya DPR untuk meletakkan diri semakin lebih kuat dari hari ini. “Ini mencerminkan DPR kita masih ingin mengambil power yang lain sehingga menjadi semakin kuat. Dengan GBHN mereka bisa menentukan haluan negara mau dibawa kemana. Presiden jadi tersandera dengan GBHN. Oleh karena itu DPR selalu mau jalan sendiri karena tidak bisa diawasi,” ungkap Made.

Peneliti dari Lembaga Survey Indoenesia, Sirajudin Abbas mengungkapkan situasi yang mungkin terlupakan oleh pihak luar ketika melihat DPR secara kelembagaan. Meskipun ia menilai harapan publik yang begitu besar merupakan suatu hal yang wajar karena kewenangan DPR yang begitu besar, Sirajudin menyebutkan bahwa fakta insitusi DPR maupun lembaga kepresidenan merupakan insitusi yang sulit dimengerti oleh publik terutama secara politik.

“Ada hirarki dan otoritas yang selama ini sudah ada. Jika anggota (DPR) baru tidak mengerti hal ini bisa dipastikan mereka frustrasi dan bingung sehingga mereka memilih dan menyatu dengan budaya kerja yang selama ini sudah dipelihara sekian lama,” terang Sirajudin.  

Secara kultur institusi, Sirajudin mengungkapkan kesulitan jika publik menaruh harapan kepada anggota DPR RI, bahkan termasuk anggota-anggota yang baru bergabung. Ia menilai tidak akan terjadi perubahan sepanjang kultur kelembagaan DPR tidak berubah. Sayangnya, hal ini ikut dipengaruhi oleh kultur partai politik yang berada di DPR dalam bentuk fraksi-fraksi.  

Tags:

Berita Terkait