Perppu Tentang MK Dinilai Mubazir
Berita

Perppu Tentang MK Dinilai Mubazir

Dikhawatirkan perppu dijadikan objek gugatan ke MK.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Perppu Tentang MK Dinilai Mubazir
Hukumonline

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berencana menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang mengatur persyaratan, mekanisme seleksi, pemilihan hakim konstitusi, dan mengatur pengawasan hakim Mahkamah Konstitusi. Namun, berkembang kritik akan rencana itu.

Seperti kritik Wakil Ketua MPR Hajriyanto Y Tohari, dan Wakil Ketua DPR Pramono Anung. “Mubazir, tidak ada kegentingan yang memaksa,” ujar Hajriyanto di komplek parlemen, Selasa (8/10).

Presiden beralasan penerbitan perppu dikarenakan Ketua MK nonaktif Akil Mochtar ditahan KPK karena menjadi tersangka dugaan suap. Namun menurut Hajriyanto, penerbitan perppu tidak relevan karena masih ada Wakil Ketua MK dalam susunan pimpinan lembaga itu.

Dia mengatakan Presiden memang berwenang penuh menerbitkan perppu. Juga kewenangan lain menetapkan negara dalam keadaan genting di bidang keamanan, ekonomi, sosial, budaya dan hukum.

Tapi, tidak untuk kondisi MK saat ini. Penangkapan Ketua MK, tidak serta merta dijadikan landasan Presiden menerbitkan perppu dengan alasan negara darurat di bidang hukum. “Diuji oleh opini publik, apakah kegentingan itu yang memaksa,” ujarnya.

Terhadap peraturan perundangan, masyarakat memiliki hak mengajukan gugatan ke lembaga konstitusi itu. Dalam UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Perppu dinyatakan sederajat dengan undang-undang. Makanya Hajriyanto khawatir, Perppu dapat dijadikan objek gugatan masyarakat ke MK. Nah, jikalau terjadi gugatan terhadap Perppu, dimungkinkan Perppu tak lagi produktif.

Wakil Ketua DPR Pramono Anung memberi syarat bila Presiden menerbitkan Perppu yaitu tidak mengeliminir kewenangan MK sesuai dengan Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945. Khususnya, kewenangan MK dalam menangani sengketa Pemilu maupun Pilkada. Sekalipun dengan menangani sengketa pemilu dan pilkada ada celah hakim MK disuap oleh pihak berpekara, seperti dialami Akil Mochtar.

Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin mengatakan perppu yang rencananya akan diterbitkan presiden sebagai upaya untuk memulihkan fungsi pengawasan terhadap MK. Menurutnya sejak ditangkapnya Akil Mochtar oleh KPK, lembaga konstitusi penjaga konstitusi kini tercoreng.

Perppu, lanjut Menkumhm setidaknya memberikan penguatan fungsi pengawasan terhadap MK. Pasalnya, MK selama ini emoh diawasi oleh lembaga eksternal, Komisi Yudisial (KY) misalnya. Berbeda dengan hakim peradilan lainnya yang dapat diawasi KY sesuai dengan undang-undang, MK justru menganulir klausul tertang pengawasan KY terhadap MK.

“Pengawasan hakim MK oleh KY dianulir di 2006 oleh MK sendiri. Majelis kehormatan hakim dianulir lagi oleh MK di 2011. Jadi Perppu ini pintu masuk untuk segera memulihkan fungsi pengawasan ini. Karena tidak mungkin ada satu lembaga yang tidak diawasi,” ujarnya, Senin (7/10) di Gedung DPR.

Menurut Amir, tertangkapnya Akil Mochtar menjadi tragedi hukum. Makanya Amir berpendapat perlu dilakukan pencegahan dengan melakukan pengawasan hakim MK. Lembaga konstitusi itu sebagaimana diketahui kerap menjadi pintu pertama dan terakhir dalam mengajukan sengketa pilkada maupun pemilu.

“Harapan kita mengutamakan rakyat dengan pengalaman ini. Harus ada solusi, dan solusi sudah tersedia dikonstutusi kita. Presiden punya kewenangan mengajukan Perpu di kondisi tertentu,” pungkasnya.

Sedangkan pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra mendukung rencana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) mengenai MK.

Menurut Yusril, mustahil jika ada lembaga negara tanpa ada yang mengawasi. Yusril sependapat juga dengan usulan agar Komisi Yudisial (KY) kembali diberi wewenang mengawasi hakim MK seperti yang telah diatur undag-undang, namun dibatalkan oleh MK sendiri.

"MK memang berwenang menguji undang-undang apa saja, termasuk menguji undang-undang yang mengatur dirinya. Namun, MK harus menahan diri dan menjunjung tinggi etika agar tidak menguji undang-undang yang berkaitan dengan MK sendiri. Tindakan seperti itu tidak etis," lanjut dia.

Perppu tersebut, lanjut dia, hendaknya juga mengatur pencabutan kewenangan MK untuk mengadili perkara Pilkada, dengan masa transisi tertentu.

Tags: