Perppu Penundaan Pilkada Tidak Juga Terbit, Komnas HAM Surati Presiden
Berita

Perppu Penundaan Pilkada Tidak Juga Terbit, Komnas HAM Surati Presiden

Mengalihkan fokus untuk memastikan kesehatan masyarakat di tengah pandemi.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi Pilkada: BAS
Ilustrasi Pilkada: BAS

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendorong Presiden untuk segera terbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Pemilihan Umum Kepala Daerah. Melalui surat nomor 045/TUA/V/2020 tanggal 4 Mei 2020, Komnas HAM meminta Presiden terbitkan Perppu penundaan Pilkada dan mengalihkan fokus untuk memastikan kesehatan masyarakat di tengah pandemi.

 

“Alasan penundaan tersebut berkaitan dengan hak fundamental terutama hak untuk hidup, hak atas kesehatan dan hak atas keamanan seluruh pihak, termasuk banyak wilayah yang menyelenggarakan pilkada masuk zona merah dan zona kuning,” ujar Komisioner Komnas HAM Amiruddin Arrahab, Senin (4/5).

 

Menurut Amiruddin, meskipun pilkada juga merupakan bagian dari pemenuhan hak untuk turut serta dalam pemerintahan berupa hak untuk memilih dan dipilih, akan tetapi Komnas HAM meminta agar seluruh elemen bangsa untuk fokus pada upaya pencegahan dan penanganan masalah Covid-19.

 

Karena itu, melalui suratnya Komnas HAM menyampaikan sejumlah masukan kepada Presiden, di antaranya, agar menjadikan keselamatan masyarakat sebagai hal utama yang harus diperhatikan dalam melaksanakan penundaan pilkada. 

 

Kemudian, Presiden diminta segera mengeluarkan Undang-Undang ataupun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang (Perppu) yang menjadi dasar penundaan pemilihan kepala daerah, sehingga memberikan adanya kepastian hukum.

 

Masukan berikutnya adalah menjamin kepastian terlaksananya tahapan pemilu lanjutan, baik dari segi regulasi maupun ketersediaan anggaran; memastikan tahapan pilkada lanjutan dilakukan setelah kondisi keadaan darurat kesehatan telah berakhir. (Baca: Beragam Hal yang Harus Dihindari dalam Pilkada 2020)

 

Selanjutnya, menjamin adanya perlindungan hak untuk dipilih terhadap calon dari jalur perseorangan yang telah mengikuti tahapan penyerahan dukungan dengan memastikan jaminan perlakuan yang sama dengan calon yang diusulkan oleh partai politik.

 

Komnas HAM juga menyebutkan bahwa walupun masa darurat kesehatan telah berakhir, pelaksanaan pilkada lanjutan diharapkan tetap menjadikan protokol kesehatan sebagai bagian pelaksaaan seluruh tahapan pilkada yang akan dilaksanakan guna memastikan adanya jaminan perlindungan kesehatan bagi seluruh pemilih, peserta pilkada dan penyelenggara pemilu.

 

Terkahir, Komnas HAM mengingatkan agar pemerintah memastikan update data pemilih berkelanjutan dengan memperhatikan warga negara potensial yang memenuhi syarat sebagai pemilih serta kelompok rentan (perempuan, masyarakat adat, disabilitas dan lain-lain).

 

“Demikian catatan ini disampaikan, sebagai bagian dari pemajuan penegakkan dan perlindungan hak asasi manusia dalam proses pemilihan kepala daerah tahun 2020,” tutup surat Komnas HAM kepada Presiden.

 

Sementara itu, Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem) juga mempertanyakan Perppu penundaan Pilkada yang tidak juga terbit. Padahal, Perppu ini sangat penting untuk menjadi landasan hukum penundaan Pilkada 2020 ditengah pandemi Covid-19. 

 

Setelah sebelumnya direncanakan Perppu akan diterbitkan pada bulan April, hingga menjelang berakhirnya minggu pertama Mei, Presiden Jokowi masih belum menerbitkan Perppu tersebut. “Tidak begitu jelas, apa sesugguhnya alasan presiden, sehingga belum juga menerbitkan Perppu yang mengatur tentang pemilihan kepala daerah ini,” ujar Peneliti Perludem Fadli Ramdhanil dalam keterangannya.

 

Fadli menilai jika dilihat kondisi ihwal kegentingan memaksa yang menjadi latar belakang presiden mengeluarkan Perppu sudah sangat terpenuhi. Pertama, ada kebutuhan hukum yang sangat mendesak di level undang-undang, untuk mengatur sistem penundaan Pilkada 2020 sebagai akibat pandemi Covid-19.  

 

Kedua, memang UU Pilkada saat ini sudah ada, tetapi setelah diperiksa dan diteliti, ketentuan di dalam UU Pilkada yang saat ini belum cukup untuk mengatur pelaksanaan Pilkada 2020 ditengah pandemi Covid-19. Apalagi pelaksanaan pilkada tidak bisa sesuai dengan jadwal yang diatur di dalam UU Pilkada saat ini, sehingga perlu diubah. 

 

Ketiga, jika proses pembahasan dilakukan dengan mekaisme penyusunan undang-undang biasa, akan memakan waktu yang lama, sementara tahapan pilkada sudah berjalan dan perlu regulasi yang cukup untuk mengatasi kondisi ditengah pandemi Covid-19. “Tiga alasan di atas, sudah memenuhi unsur ihwal kegentingan memaksa bagi Presiden Jokowi untuk segera menerbitkan Perppu,” terang Fadli.

 

Selain itu, Fadli kembali mengingatkan ada beberapa materi muatan penting yang diperlukan di dalam Perppu Pilkada, untuk menjawab persoalan pelaksanaan pilkada yang saat ini masih menggantung. Pertama, kewenangan melakukan penundaan pilkada di seluruh daerah pemilihan yang saat ini dilakukan oleh KPU RI. 

 

Di dalam UU Pilkada yang berlaku saat ini, KPU RI sama sekali tidak memiliki kewenangan untuk mengatur penundaan pilkada secara nasional di seluruh daerah pemilihan. Sementara, kondisi pandemi Covid-19 memerlukan penundaan yang bersifat massif dan seragam, sebagai akibat seluruh provinsi di Indonesia sudah dijangkit oleh Covid-19. 

 

Oleh sebab itu, hal ini penting untuk diatur di dalam Perppu pilkada. Mesti ada pengaturan yang tegas dan eksplisit, kondisi-kondisi apa yang bisa membuat KPU RI dapat menerbitkan penudaan pilkada di seluruh daerah pemilihan. 

 

Kedua, Perppu sangat penting diterbitkan untuk merevisi jadwal pelaksanaan Pilkada 2020 yang diperintahkan pada September 2020. Perintah ini hampir pasti tidak dapat dilaksanakan sebagai akibat pandemi Covid-19. Oleh sebab itu, perlu ada sebab yang jelas dan alasan hukum yang terukur, sehingga pelaksanaan pilkada dapat ditunda.

 

Ketiga, adalah terkait dengan alokasi anggaran pilkada di masing-masing daerah. Di 270 daerah yang akan melaksanakan Pilkada 2020, masing-masing sudah mengalokasikan anggaran melalu Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) dengan Pemerintah Daerah masing-masing daerah. 

 

Dengan kondisi pilkada yang hampir pasti ditunda, tentu akan berakibat pada waktu pertanggungjwaban anggaran, serta kemungkinan kekuarangan anggaran karena inflasi dan alasan-alasan fiskal lainnya. “Oleh sebab itu perlu diatur secara eksplisit di dalam Perppu pilkada terkait dengan konsekuensi anggaran pilkada sebagai akibat dari pandemi Covid-19,” ujar Fadli.

 

Untuk itu, Perludem mendesak presiden merespon dengan positif dan segera dorongan untuk menerbitkan Perppu ini. Kepastian hukum adalah salah satu ciri dari pelaksanaan pilkada yang demokratis. Mengeluarkan Perppu adalah langkah untuk dapat mewujudkan kepastian hukum tersebut. 

 

Selain itu kemampuan memberikan kepastian hukum dengan tepat waktu sesuai dengan kebutuhan nyata pelaksanaan pilkada, akan mempu menjaga reputasi Pemerintah dan memberikan kepercayaan diri pada semua pihak soal arah dan masa depan demokrasi lokal Indonesia yang tetap terjaga dan terlindungi meskipun di tengah masa pandemi.

 

Tags:

Berita Terkait