Pernyataan Sikap Civitas Akademika, Bentuk Kepedulian Terhadap Etika Pemilu
Melek Pemilu 2024

Pernyataan Sikap Civitas Akademika, Bentuk Kepedulian Terhadap Etika Pemilu

Kalangan civitas akademika sudah memperhitungkan dampak setelah mengumumkan pernyataan sikap kepada publik. Kebenaran yang disampaikan diakui bisa merugikan atau menguntungkan salah satu pasangan Capres-Cawapres.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Brawijaya, Prof Muchamad Ali Safa’at  dan Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini dalam diskusi Instagram Live yang digelar Hukumonline bertema Mengantisipasi Potensi Kecurangan Pemilu 2024, Selasa (6/2/2024).
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Brawijaya, Prof Muchamad Ali Safa’at dan Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini dalam diskusi Instagram Live yang digelar Hukumonline bertema Mengantisipasi Potensi Kecurangan Pemilu 2024, Selasa (6/2/2024).

Berbagai civitas akademika telah menyerukan pernyataan sikap terkait persoalan demokrasi, dan etika jelang pemilu 2024. Mulai dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Islam Indonesia (UII), Universitas Indonesia (UI), Universitas Padjajaran (Unpad), Universitas Hasanuddin (Unhas) dan lainnya. Berbagai kalangan organisasi masyarakat sipil mengapresiasi pernyataan sikap itu, tapi ada juga sebagian kalangan yang menilai seruan itu sebagai bentuk partisan.

Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan pernyataan sikap sejumlah perguruan tinggi negeri maupun swasta merupakan  bentuk kepedulian, gerakan moral dari civitas akademika terhadap demokrasi. Termasuk kepedulian terhadap penyelenggara negara.

“Kampus kan tidak hanya mencari ilmu tapi juga menekankan etika. Ketika lulus para alumni berpegang pada nilai-nilai etika, dan standar moral,” ujarnya dalam diskusi Instagram Live yang digelar Hukumonline bertema ‘Mengantisipasi Potensi Kecurangan Pemilu 2024’, Selasa (6/2/2024).

Seruan moral yang disuarakan berbagai civitas akademika itu menurut Titi dorongan yang luar biasa dari elemen perguruan tinggi. Seperti oase bagi seluruh masyarakat Indonesia dan menyadarkan untuk kembali dalam proses demokrasi bahwa ada pondasi dan prinsip dasar yang tidak bisa diterabas.

Baca juga:

Bagi Titi  yang tercatat dosen bidang studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Univesitas Indonesia (FHUI) itu mengatakan, pernyataan sikap civitas akademika itu tidak bisa diabaikan peserta pemilu. Sebab pernyataan sikap sejumlah Guru Besar pada perguruan tinggi itu merupakan suara hati nurani yang harus dihargai dan dipertimbangkan serius semua pihak. Artinya, demokrasi yang berjalan di Indnonesia saat ini tidak dalam kondisi baik-baik saja dan perlu menjadi refleksi bagi pelaksanaan pemilu agar tidak keluar dari koridornya.

“Semua elit harus menjadikan ini refleksi serius untuk mengoreksi hal-hal yang tidak benar secara etik, moral, dan hukum,” ujarnya.

Pada kesempatan yang sama, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Brawijaya, Prof Muchamad Ali Safa’at, menilai pernyataan sikap civitas akademika merupakan aspirasi karena melihat realita di masyarakat. Kalangan civitas akademika sudah memperkirakan bakal terdapat respons setelah menyiarkan pernyataan sikap itu. Misalnya Guru Besar Hukum Pidana FHUI, Prof Harkristuti Harkrisnowo yang dituduh partisan usai membacakan pernyataaan sikap civitas akademika UI.

“Ketika kita menyuarakan itu pasti ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden (Capres-Cawapres) yang dirugikan atau diuntungkan. Kendati pernyataan sikap yang disuarakan kalangan kampus dan guru besar ini harus netral dan mengutamakan kebenaran,” papar Ali.

Kebenaran yang disampaikan civitas akademika melalui pernyataan sikap itu menurut Ali merupakan kebenaran ilmiah yang diakui bisa merugikan atau menguntungkan bagi paslon Capres-Cawapres yang berkontestasi dalam pemilu 2024. Suara kebenaran harus disampaikan, guna mencegah dampak yang lebih buruk ke depan, walau risikonya ada pihak yang menuding tidak netral.

“Kami mengajak seluruh masyarakat untuk mewujudkan demokrasi dan pemilu yang menjunjung tinggi martabat dan etika,” tegasnya.

Intimidasi

Terpisah, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur melihat ada upaya intimidasi yang menyasar civitas akademika merupakan bagian dari pembungkaman terhadap hak warga negara untuk melakukan  pengawasan dan koreksi terhadap praktik kecurangan pemilu. Serta tidak lepas dari kritik keras publik terhadap keberpihakan dan penyalahgunaan kewenangan oleh Presiden Joko Widodo dalam Pemilu 2024 setelah putra sulungnya Gibran Rakabuming Raka dicalonkan sebagai Cawapres.

YLBHI mencatat, per Senin (5/2/2024) sedikitnya 30 perguruan tinggi telah menyatakan sikap keprihatinan terhaddap kondisi kemunduran demokrasi di Indonesia di bawah Presiden Jokowi. Pernyataan sikap ini diawali dengan Deklarasi Guru Besar UGM yang menyesalkan adanya dugaan penyimpangan yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo. Selanjutnya Guru Besar UII yang menyatakan darurat sikap kenegaraan Jokowi dan tergerusnya demokrasi di Indonesia.

Diikuti Guru Besar UI yang menyatakan keprihatinan terhadap hancurnya tatanan hukum dan demokrasi. Pernyataan sikap ini kemudian juga dilakukan oleh kampus lain seperti Universitas Hasanuddin, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Universitas Padjadjaran, Universitas Mulawarman dan beberapa universitas lainnya.

“Menyoroti pelanggaran serius terhadap etika kenegaraan dan prinsip Demokrasi dalam Pemilu 2024,” imbuh Isnur.

Tags:

Berita Terkait