Pernyataan Presiden Soal Hukuman Mati Koruptor Dinilai Ambigu
Berita

Pernyataan Presiden Soal Hukuman Mati Koruptor Dinilai Ambigu

Perampasan aset dengan memiskinkan koruptor dinilai lebih efektif menimbulkan efek jera ketimbang menerapkan hukuman mati. Buktinya, negara-negara kawasan Australia dan Eropa dapat berhasil terbebas dari masalah korupsi tanpa menerapkan hukuman mati.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi Hukuman Mati. Ilustrator: BAS
Ilustrasi Hukuman Mati. Ilustrator: BAS

Belum lama ini, Presiden Joko Widodo menyatakan dukungannya atas penerapan hukuman mati terhadap para pelaku korupsi asalkan masyarakat menghendaki. Padahal, dalam UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah mengatur hukuman mati bagi koruptor jika dilakukan dalam kondisi/keadaan tertentu.    

 

Namun, tak ada jaminan penerapan hukuman mati terhadap koruptor efektif menimbulkan efek jera. Buktinya, penerapan hukuman mati bagi pelaku bandar narkoba tak membuat peredaran narkotika semakin menurun di Indonesia. Pandangan ini disampaikan pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar kepada hukumonline di Jakarta, Rabu (11/12/2019).

 

“Hukuman mati tidak menjamin efek jera bagi para pelaku korupsi,” ujarnya. Baca Juga: KPK Kecewa KPU Tak Larang Mantan Napi Korupsi Nyalon Pilkada

 

Dia justru mengkritik pernyataan Presiden yang dinilai berbanding terbalik dengan tindakannya. Satu sisi mendukung penerapan hukum mati, tapi sisi lain Presiden Jokowi justru memberi grasi terpidana kasus korupsi (suap) alih fungsi lahan kepala sawit di Provinsi Riau, Annas Maamun dengan alasan kemanusiaan. “Pernyataan Presiden bertentangan dengan keputusan pemberian grasi tersebut. Sikap Presiden seolah ambigu (mendua). Bahkan tak jelas arah kebijakan pemberantasan korupsi,” sindirnya.

 

Sejak awal dia khawatir dengan sikap Presiden dalam pemberantasan korupsi ini. Buktinya, kata Fickar, Presiden Jokowi menyetujui UU No.20 Tahun 2002 tentang KPK direvisi yang melemahkan kewenangan KPK dalam pemberantasan korupsi. Apalagi, hukuman mati yang diwacanakan Presiden Jokowi telah diatur dalam UU Pemberantasan Korupsi yang harus memenuhi unsur kondisi tertentu, seperti residivis, bencana alam atau keadaan perang. “Kondisi-kondisi tersebut memang jarang ditemui,” kata Fickar.  

 

Menurut Fickar, pendekatan yang tepat dalam upaya pemberantasan korupsi melalui asset recovery dengan upaya merampas harta hasil korupsi seoptimal mungkin atau memiskinkan koruptor. Pendekatan asset recovery ini semua akses aktivitas ekonomi narapidana kasus korupsi harus ditutup. Seperti tak boleh memiliki perusahaan, kartu kredit, tak boleh memimpin perusahaan, pencabutan hak politiknya. “Ini lebih menimbulkan efek jera ketimbang hukuman mati. Dalam diksi populer disebut ‘pemiskinan koruptor’,” katanya.

 

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju menilai penerapan hukuman mati dalam pemberantasan korupsi bakal tidak efektif. Dia menunjuk negara-negara yang menduduki 20 peringkat tertinggi indeks persepsi korupsi (IPK). Misalnya, di kawasan Australia dan Eropa, seperti Denmark, Finlandia, Swedia, Swiss, Belanda, Norwegia, Inggris, dan Jerman yang nilai IPK-nya mencapai kisaran antara 70-91 dari total nilai tertinggi 100.

 

Sedangkan negara Tiongkok, sekalipun telah menerapkan hukuman mati bagi koruptor, tidak mengalami peningkatan signifikan. Menurutnya, sejak 2015 hingga 2018 nilai IPK negara Tiongkok masih berkisar antara 37 hingga 41. Nilai tersebut sebenarnya tidak jauh berbeda dengan IPK Indonesia yang berkisar antara 36 hingga 38 pada 2015 hingga 2018.

 

“Ini menunjukkan penerapan hukuman mati tidak berpengaruh terhadap tren korupsi. Sebaliknya, tanpa menerapkan hukuman mati pun, negara-negara seperti di kawasan Australia dan Eropa itu terbukti dapat berhasil terbebas dari masalah korupsi,” kata Anggara.

 

Anggara mengingatkan agar Presiden menghindari budaya penal populism, khususnya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Dia menilai, penal populism hanya mengandalkan suasana emosional sesaat tanpa memperhatikan pertimbangan-pertimbangan rasional dan berbasis bukti ataupun data yang dapat mendukung pemilihan kebijakan yang dimaksud.

 

Menurutnya, tak heran kebijakan yang dilandasi nuansa penal populism tak pernah meraih tujuan dan target yang diharapkan. “Presiden Jokowi seharusnya mendorong terobosan kebijakan yang menitikberatkan pada upaya pencegahan dengan mereformasi sistem pemerintahan dan penegakan hukum agar lebih transparan dan akuntabel,” tambahnya.

 

Keliru

Wakil Ketua Komisi III DPR Desmon Junaedi Mahesa menilai pernyataan Presiden Jokowi membingungkan, khususnya penjatuhan hukuman mati bagi kasus korupsi jika masyarakat menghendaki. Bagi Desmon, jumlah rakyat di Indonesia sedemikian banyak. Dia balik tanya. “Masyarakat yang mana?” ujar Desmon di Komplek Gedung Parlemen, Selasa (10/12/2019) kemarin.

 

“Masyarakat memang geram dengan para pelaku tindak pidana korupsi. Tapi, saya setuju saja penerapan hukuman mati terhadap koruptor sepanjang diatur UU agar ada efek jera dalam pemberantasan korupsi, kenapa tidak?”

 

Anggota Komisi III DPR Muhammad Nasir Djamil menilai penerapan hukuman mati dengan kehendak masyarakat sebenarnya keliru. Sebab, aturan hukuman mati bagi pelaku korupsi sudah diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU 31/1999. Dia berharap penerapan hukuman mati bagi pelaku korupsi tidak sekedar di bibir saja karena pemberian grasi terhadap napi korupsi Annas Maamun seolah menunjukan ketidakonsistenan Presiden terhadap upaya pemberantasan korupsi.

 

“Kita harap Presiden ini konsisten bicara soal keberpihakan memberantas korupsi,” katanya.

Tags:

Berita Terkait