Pernyataan Menkumham Bertolak Belakang dengan Suratnya
Utama

Pernyataan Menkumham Bertolak Belakang dengan Suratnya

“Waduh, pokoknya saya memang pernah dikasih tahu. Saya teken supaya cepat aja,” ujar Patrialis Akbar ketika ditanya soal surat tanggapan yang dia kirimkan ke sebelas lawyer prihal implementasi UU Bahasa.

Sut/Ali
Bacaan 2 Menit

 

“UU Bahasa memang diwajibkan semua transaksi, bahkan pejabat-pejabat negara pun mensosialisasikan bahasa Indonesia. Pidato-pidato resmi juga harus dengan bahasa Indonesia. Nanti di-translate. Termasuk kontrak-kontrak harus berbahasa Indonesia. Kalaupun ada yang berbahasa Inggris, ngga papa, tapi harus ada dua bahasa,” imbuhnya.

 

Seperti diberitakan hukumonline, Patrialis menanggapi pertanyaan sejumlah lawyer terkemuka terkait implementasi UU Bahasa. Selain masalah penerapan Undang-Undang tersebut, Patrialis juga sedikit menyinggung soal kebebasan berkontrak. Menurutnya, para pihak pada dasarnya secara formal bebas menyatakan, apakah bahasa yang digunakan dalam kontrak adalah bahasa Indonesia atau bahasa Inggris atau keduanya. Jika Peraturan Presiden tentang Penggunaan Bahasa Indonesia (sebagai implementing regulation) ditetapkan dan diundangkan, maka para pihak secara formal nantinya terikat ketentuan dalam Peraturan Presiden tersebut, yakni selain menggunakan bahasa Inggris juga diwajibkan menggunakan bahasa Indonesia.

 

Jika hal itu wajib dilakukan (menggunakan dua versi bahasa), maka para pihak juga bebas menyatakan bahwa jika terhadap perbedaan penafsiran terhadap kata, frase, atau kalimat dalam perjanjian, maka para pihak bebas memilih bahasa mana yang dipilih untuk mengartikan kata, frase, atau kalimat yang menimbulkan penafsiran dimaksud. Klausula yang lazim digunakan dalam perjanjian, misalnya “dalam hal terjadi perbedaan penafsiran terhadap kata, frase, atau kalimat dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia dalam perjanjian ini, maka yang digunakan dalam menafsirkan kata, frase, atau kalimat dimaksd adalah versi bahasa Inggris”.

 

Langkah Menteri Hukum dan HAM yang menyatakan kewajiban kontrak berbahasa Indonesia baru berlaku setelah terbit Peraturan Presiden, seperti dalam suratnya, dinilai tidak tepat. “Daya ikatnya sudah berlaku sejak tanggal diundangkan,” ujar Sonny Maulana Sikumbang, Pengajar Ilmu Perundang-undangan Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

 

Secara teori, kata Sonny, memang dibedakan antara daya ikat berlakunya sebuah peraturan dan efektifitas. Sonny menjelaskan seringkali suatu Undang-Undang dinyatakan memiliki daya ikat, tetapi baru akan efektif bila sudah ada peraturan pelaksananya. Namun, untuk konteks UU Bahasa, menurutnya, tak perlu menunggu peraturan pelaksana diterbitkan. “Ketentuan itu sudah bisa berlaku secara efektif. Lagipula kan bunyinya sudah jelas, yakni ‘mewajibkan’. Mau tunggu apalagi?” pungkasnya.  

 

Tak Perlu Khawatir

Mantan Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial, Mariana Sutadi pernah menghimbau kepada advokat agar tidak perlu khawatir dengan kewajiban kontrak berbahasa Indonesia. “Kewajiban itu berlaku manakala melibatkan pihak asing. Undang-Undang itu justru sangat membantu para pihak terutama orang Indonesia,” kata Mariana. Lagipula, Pasal 31 UU No. 24/2009 tidak menghalangi penggunaan bahasa asing atau bahasa Inggris. “Keduanya merupakan naskah asli,” imbuhnya.

 

Justru, kata Mariana, tidak dipenuhinya Pasal 31 ayat (2) UU tersebut, bisa menjadi alasan bagi salah satu pihak untuk menuntut pembatalan perjanjian lantaran tidak ada perjanjian berbahasa Indonesia. Pembatalan dapat diajukan dengan dasar kesepakatan perjanjian diberikan karena kekhilafan lantaran tidak paham isi kontrak. Misalnya, kontrak dibuat dalam keadaan terpaksa. “Tapi itu tidak otomatis. Harus dibuktikan lebih dulu,” ujar Mariana.

 

Senada dengan Sonny, menurut Mariana, UU No. 24/2009 ini berlaku sejak diundangkan pada 9 Juli 2009. Tidak perlu menunggu Peraturan Presiden sebagai peraturan pelaksanaannya. Jika terjadi sengketa, para pihak tinggal memajukannya ke pengadilan atau mencari metode penyelesaian lain. “Lawyer biasanya cari celah sehingga yang jelas dibuat tidak jelas. Sementara hakim terlahir untuk menyelesaikan sengketa sehingga harus bisa menciptakan hukum,” kata Mariana.

Tags:

Berita Terkait