Permohonan Terkait Hak Tuna Netra Dalam Pemilu Kandas
Berita

Permohonan Terkait Hak Tuna Netra Dalam Pemilu Kandas

KPU semestinya menyediakan alat bantu tunanetra sesuai dengan keadaan setempat.

RED
Bacaan 2 Menit
Penyandang tuna netra saat simulasi pemilu. Foto: RES
Penyandang tuna netra saat simulasi pemilu. Foto: RES
Mahkamah Konstitusi (MK) tidak dapat menerima permohonan yang diajukan oleh lima orang pemerhati hak-hak penyandang tunanetra dan menolak satu permohonan yang diajukan oleh Suhendar, Ketua Ikatan Alumni Wyata Guna. Putusan dengan Nomor 62/PUU-XII/2014 ini dibacakan oleh Ketua MK Hamdan Zoelva pada Kamis (9/10) di Ruang Sidang Pleno MK.

“Permohonan Pemohon 2 (Yayat Ruhiyat), Pemohon 3, (H. Yudi Yuspar), Pemohon 4 (Yadi Sophian), Pemohon 5 (Wahyu Hidayat), dan Pemohon 6 (Putre Wiwoho) tidak dapat diterima. Dan menolak permohonan Pemohon 1 (Suhendar),” ujar Hamdan sebagaimana dikutip dari situs resmi MK.

Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Muhammad Alim, Suhendar (Pemohon I) menguji konstitusionalitas Pasal 142 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pileg) yang menyatakan, “Selain perlengkapan pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk menjaga keamanan, kerahasiaan, dan kelancaran pelaksanaan pemungutan suara, diperlukan dukungan perlengkapan lainnya”.

Pemohon menilai pasal tersebut bertentangan dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil,  menimbulkan ketidakpastian hukum, dan perlakuan yang bersifat diskriminatif karena dalam Pemilu anggota legislatif tahun 2014 Komisi Pemilihan Umum berdasarkan penafsirannya atas Pasal 142 ayat (2) UU Pileg tidak menyediakan template braille bagi pemilih tunanetra, hanya menyediakan tenaga pendamping sehingga kerahasian pilihan para pemilih tunanetra tidak terjamin.

Namun dalam penjelasan Pasal 142 ayat (2) UU 8/2012 pembentuk Undang-Undang menegaskan, “Yang dimaksud dengan “dukungan perlengkapan lainnya”meliputi sampul kertas, tanda pengenal KPPS/KPPSLN, tanda pengenal petugas keamanan TPS/TPSLN, tanda pengenal saksi, karet pengikat surat suara, lem/perekat, kantong plastik, ballpoint, gembok, spidol, formulir untuk berita acara dan sertifikat, sticker nomor kotak suara, tali pengikat alat pemberi tanda pilihan, dan alat bantu tunanetra”.

Dari penjelasan ayat tersebut, lanjut Alim, khususnya kata “alat bantu tunanetra” menurut Mahkamah termasuk di dalamnya template braille. “Dengan demikian Mahkamah menilai, Pasal 142 ayat (2) UU 8/2012 tidak bertentangan dengan UUD 1945, sebab hanya soal penerapan Undang-Undang oleh KPU. Oleh karena itu permohonan Pemohon 1 (Suhendar)  tidak beralasan menurut hukum,” jelasnya.

Terlepas dari pertimbangan tersebut, Mahkamah dalam pendapatnya menegaskan bahwa KPU sebagai penyelenggara pemilu semestinya menyediakan alat bantu tunanetra sesuai dengan keadaan setempat. Artinya bagi pemilih tunanerta yang biasa membaca huruf braille agar disediakan template braille sesuai dengan kebutuhannya.

Perkara ini dimohonkan oleh Suhendra (Ketua Ikatan Alumni Wyata Guna), Yayat Ruhiyat (Ketua Umum DPP IPMI Jawa Barat), H. Yudi Yuspar (Ketua DPW IPMI, Jawa Barat), Yadi Sophian (Ketua Persatuaan Olah Raga Tuna Netra Indonesia, Jawa Barat), Wahyu Hidayat (Ketua DPC PERTUNI, Kota Bandung), dan Putre Wiwoho (Ketua DPD PERTUNI, Jawa Barat). Para Pemohon menilai hak kaum tuna netra terampas saat Pemilu Legislatif 2014. Penyebabnya, KPU tidak menyediakan template braile untuk surat suara calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten atau kota.

Menurut Pemohon, ketiadaan perlengkapan ini disebabkan karena aturan tentang perlengkapan dan perangkat Pemilu untuk mendukung penyandang disabilitas, khususnya tuna netral dalam memenuhi hak pilihnya tidak secara konkret disebutkan dalam Pasal 142 Ayat (2) UU Pemilu. Pemohon berpendapat, menyediakan template braile untuk surat suara calon anggota legislatif merupakan kewajiban negara dalam menjamin hak asasi orang lain dalam menyampaikan aspirasi politiknya pada Pemilu.

Pemohon mengungkapkan telah menyurati KPU mengenai alat bantu, namun dalam balasannya, justru KPU menjelaskan adanya tenaga pendamping dalam proses pencoblosan. Akibat adanya ketidakjelasan alat bantu dalam Pasal 142 ayat (2) UU Pemilu Legislatif menghalangi pemohon untuk memberikan hak konstitusionalnya dalam Pemilihan Umum Legislatif Tahun 2014 pada 9 April lalu. Atas dasar alasan-alasan tersebut, maka pemohon meminta MK menyatakan ketentuan tersebut konstitusional secara bersyarat jika tidak ditafsirkan alat bantu termasuk template Braille.
Tags:

Berita Terkait