Permohonan Maaf Makin Sering Dipakai Menyelesaikan Sengketa HKI
Berita

Permohonan Maaf Makin Sering Dipakai Menyelesaikan Sengketa HKI

Cara ini sudah lama dipraktikkan di berbagai negara. Menyelesaikan sengketa dengan win-win solution.

M-1/Mys
Bacaan 2 Menit
Permohonan Maaf Makin Sering Dipakai Menyelesaikan Sengketa HKI
Hukumonline

 

Hari bukan orang pertama dan satu-satunya yang menempuh solusi semacam itu. Penelusuran hukumonline menunjukkan bahwa permohonan maaf secara terbuka kian sering dipakai sebagai forum penyelesaian sengketa hak kekayaan intelektual (HKI). Pada April lalu misalnya, CHGB Records membuat iklan permohonan maaf kepada Hj Nur Asiah Djamil karena kealpaan perusahaan rekaman itu mencantumkan nama Nur Asiah dalam album Viezsa Putri vol 1 dan 3. Pada kedua album tersebut memang ada enam lagu ciptaan Nur Asiah –seperti lagu berjudul Ya Robbi dan Adikku Sayang.

 

Menurut Justisiari P. Kusumah, partner pada kantor pengacara Soemadipraja & Taher, melihat ada dua alasan utama yang membuat pihak bersengketa menggunakan forum permohonan maaf.  Pertama, sengketa HKI, minus hak cipta, adalah delik aduan, sehingga tanpa pengaduan pihak yang dirugikan, kasus tersebut sulit ditindaklanjuti secara hukum. Kedua, penyelesaian sengketa HKI di luar jauh lebih cepat dan lebih murah dibanding memperkarakannya lewat pengadilan.

 

Epson dan Canon adalah klien kantor pengacara Soemadipradja & Taher yang memilih menyelesaikan sengketa di luar pengadilan. Langkah serupa telah ditempuh Oakley Inc, klien kantor pengacara ini, beberapa hari sebelumnya terhadap empat orang pengelola optik di ITC Manggadua, Jakarta Utara, yang menjual produk Oakley palsu.

 

Forum permohonan maaf tentu tidak datang begitu saja. Menurut Justisiari, produsen barang yang dipalsukan harus bertindak bila menemukan pelanggaran HKI. Misalnya, dengan penggerebekan langsung ke tokok atau melayangkan somasi. Ketika bukti yang disodorkan perusahaan produsen asli sangat kuat, dan sebaliknya pihak yang menjual barang palsu merasa dalam posisi lemah, forum permintaan maaf cenderung akan dipilih ketimbang membawa kasusnya ke pengadilan.

 

Tak perlu dibakukan

Meskipun semakin banyak orang yang memilih forum permohonan maaf untuk menyelesaikan sengketa HKI, Ludiyanto tidak sepakat kalau forum semacam itu dibakukan dengan memasukkannya ke dalam revisi Undang-Undang HKI. Menurut pengacara dari General Patent International Law Offices ini, forum semacam itu lebih baik sifatnya fleksibel, sehingga penyelesaiannya diserahkan kepada kedua belah pihak.

 

Justisiari sependapat. Apalagi dalam praktik, para pihak yang bersengketa bisa merundingkan langkah apa saja yang harus dilakukan atau kompensasi apa yang harus dibayarkan agar kasus itu dianggap selesai. Kalau mekanismenya dibakukan ke dalam Undang-Undang HKI, Justisiari dan Ludiyanto khawatir lex fori semacam itu terkesan kaku dan para pihak tak punya banyak pilihan. Agar tidak redundant, begitu Justisiari memberi alasan. 

 

Lagipula, jelas Justisiari, forum penyelesaian sengketa HKI dengan meminta maaf secara terbuka sudah diadopsi dunia internasional dan dipraktikkan di berbagai negara (internationally adopted). Ludiyanto mencontohkan China dan India. Di sana, kalau ditemukan ada pelanggaran HKI dan polisi melakukan penggerebekan, pelaku tak begitu saja digelandang ke kantor polisi untuk selanjutnya diseret ke meja hijau. Polisi memberikan pilihan kepada para pihak apakah akan menyelesaikannya melalui jalur hukum atau lebih memilih damai dengan meminta maaf.

 

Tentu saja, kata maaf saja tidak cukup. Dalam praktik, acapkali ada kompensasi yang harus dipenuhi pelaku pelanggaran HKI. Pihak yang dirugikan sering minta ganti rugi, walaupun jumlahnya tidak kaku. Sebaliknya, kalau kasus itu sudah terlanjur di laporkan ke polisi, maka perusahaan harus mencabut laporan tersebut. Biasanya semua negotiable, ujar Justisiari.

 

Kata maaf mudah diucapkan, tetapi sulit dilaksanakan. Memaafkan orang lain adakalanya susah apalagi kalau kita sudah mengalami kerugian akibat perbuatan orang lain tersebut. Namun bagi Seiko Epson Corporation dan Canon Kabushiki Kaisha, membuka pintu maaf kepada Hari Santoso lebih bernilai ketimbang harus melalui jalur pengadilan yang berlarut-larut.

 

Hari Santoso adalah pemilik/pengelola toko Wonder Komputer di Malang dan Surabaya. Selama ini Hari menjual tinta katrid (cartridges) dengan menggunakan merek Epson dan Canon. Belakangan ketahuan bahwa produk yang dijual Hari adalah produk cartridges palsu. Seiko Epson Corporation dan Canon Kabushiki Keisha berhasil melacak pemalsuan itu. Tetapi kedua perusahaan asal Jepang ini tak langsung menyeret Hari Santoso ke pengadilan atau melaporkannya secara pidana ke polisi.

 

Rupanya langkah Epson dan Canon bukan tanpa dasar. Hari sendiri tak keberatan melayangkan permohonan maaf kepada Epson dan Canon secara terbuka. Maka, iklan permohonan maaf dari Hari selebar 25 x 14 cm muncul di harian Kompas edisi 19 September tahun lalu. Dalam iklan itu, Hari menyatakan penyesalan mendalam atas perbuatan menjual, menawarkan untuk dijual, dan/atau atas keterlibatannya memperdagangkan produk cartridges palsu. Hari berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya. Kalau masih dilakukan, Epson dan Canon berhak melakukan penuntutan secara pidana atau perdata.

Halaman Selanjutnya:
Tags: