Permintaan Perlindungan Saksi Bentuk ‘Politik Teror’ Kubu Prabowo-Sandi
Sengketa Pilpres 2019:

Permintaan Perlindungan Saksi Bentuk ‘Politik Teror’ Kubu Prabowo-Sandi

Bagi Tim Kuasa Hukum Jokowi-Ma’ruf, LPSK tidak sembarangan memberi perlindungan saksi dan korban karena LPSK hanya melindungi saksi dalam perkara pidana. Pemohon dinilai tidak cukup memiliki alat bukti kuat, otentik, dan berlapis untuk menunjukkan adanya pelanggaran pemilu yang terstruktur, sistematis dan masif (TSM).

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Tim Kuasa Hukum Joko Widodo-Ma'ruf Amin saat memberi keterangan pers di Rumah Pemenangan Cemara, Jakarta, Senin (17/6). Foto: RES
Tim Kuasa Hukum Joko Widodo-Ma'ruf Amin saat memberi keterangan pers di Rumah Pemenangan Cemara, Jakarta, Senin (17/6). Foto: RES

Mahkamah Konstitusi (MK) bakal menggelar sidang lanjutan sengketa Pilpres 2019 dengan agenda mendengarkan jawaban/tanggapan Termohon (Komisi Pemilihan Umum), Pihak Terkait (Paslon 01 Jokowi-Maruf), dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pagi ini mulai pukul 9.00 WIB, Selasa (17/6/2019). Namun, sebelum menyampaikan tanggapan, Tim Kuasa Hukum Pihak Terkait menyampaikan bantahan semua dalil permohonan yang disampaikan Tim Kuasa Hukum paslon 01 Prabowo-Sandi pada Jum’at (14/6/2019).        

 

“Pada intinya kami menyanggah seluruh isi dan petitum permohonan. Kami meminta menyatakan MK tidak berwenang mengadili dan memutus perkara atau setidaknya menyatakan permohonan tidak dapat diterima,” kata Ketua Tim Kuasa Hukum Jokowi-Ma’ruf, Yusril Ihza Mahendra dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (17/6/2019). Baca Juga: Loloskan Perbaikan Permohonan Sengketa Pilpres Menuai Kritik

 

Yusril mengkritik perlindungan saksi/ahli yang disampaikan Tim Kuasa Hukum Prabowo-Sandi kepada LPSK sebagai bentuk “politik teror”. Padahal, paslon 02 Prabowo-Sandi sebenarnya tidak mampu menghadirkan saksi yang dapat memberi kesaksian dalam sidang sengketa Pilpres 2019 ini.

 

“Kami menganggap justru laporan ke LPSK itu merupakan satu teror psikologis kepada masyarakat seolah-olah para saksi yang akan diajukan ke MK ini dihalang-halangi, diteror, dan ditakut-takuti (kubu paslon 01), sehingga nanti ujung-ujungnya tidak datang ke MK," ujar Yusril.

 

Dia menerangkan saksi yang dihadirkan dalam sidang tak hanya disumpah, tetapi juga harus mampu memberi kesaksian fakta sesuai apa yang dilihat, didengar, dan diketahuinya. "Nah karena tidak mampu lantas 'oh kami ditakut-takuti, ok kami diteror, dan sebagainya'. Itu bisa terjadi seperti itu," tudingnya.

 

Untuk itu, Yusril meminta masyarakat tidak langsung menuding pihak Jokowi-Ma'ruf sebagai pihak yang menghalangi, mengancam, dan meneror saksi paslon 02 yang akan dihadirkan di sidang MK. Ia berharap persidangan tetap berlangsung jujur dan adil termasuk memberi ruang bagi para pihak untuk memberi kesaksian. "Anda boleh ngomong apa saja, boleh bicara apa saja, tapi apakah Anda bisa membuktikannya?”

 

Pihaknya, sangat ingin mengetahui bukti dan mendengar keterangan saksi paslon 02 karena materi permohonan sangat banyak bersifat persepsi dan dugaan negatif terhadap paslon 01 Jokowi-Ma'ruf. "Silakan diungkapkan. Tapi dari list dari daftar bukti itu kan kami sudah bisa 'loh kok begini'. Jadi jangan sampai nanti gagal membuktikan terus mencari-cari alasan seolah-oleh mereka diteror dan sebagainya yang saya kira itu tidak sehat dalam upaya penegakan hukum yang fair, jujur, adil, dan terbuka," lanjutnya.

 

"Kami menginginkan sidang MK ini mengakhiri segala ketegangan politik dan konflik yang ada di tengah-tengah masyarakat," harap Yusril.

 

Menurut Yusril, LPSK tidak sembarangan memberi perlindungan saksi dan korban karena LPSK hanya melindungi saksi dalam perkara pidana. Justru, permohonan perlindungan saksi/ahli ke LPSK dalam sidang sengketa di MK bisa menimbulkan preseden buruk dalam penegakan hukum. "Jadi kami menolak sekeras-kerasnya upaya membangun opini seolah-olah para saksi yang dihadirkan (Prabowo-Sandi) ini dihalang-halangi," tegasnya.

 

Yusril menyarankan paslon 02 Prabowo-Sandi cukup meminta pihak Kepolisian untuk melindungi saksi/ahli mereka. "Dan polisi saya yakin akan memberikan perlindungan. Karena semua pihak menginginkan persidangan ini berjalan secara fair, jujur, dan adil," ujarnya.

 

Sebelumnya, dalam pembacaan permohonan oleh Tim Kuasa Hukum Prabowo-Sandi, mengharakan adanya perlindungan para saksi/ahli dalam sidang sengketa hasil Pilpres 2019. Pihak Prabowo-Sandi khawatir ada indikasi ancaman terhadap saksi/ahli pihak Pemohon untuk tidak hadir memberi kesaksian dalam sidang pilpres.   

 

Sebagaimana diberitakan, Tim Kuasa Hukum Prabowo-Sandi telah berkonsultasi dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) agar para saksi dapat terlindungi dari ancaman yang membuat mereka tidak mau bersaksi di persidangan. BPN telah menghimpun sebanyak 30 saksi untuk memberi keterangan dalam persidangan. Namun, internal MK hanya mengizinkan 17 saksi dan telah disepakati.

 

Bukti belum cukup kuat

Jelang memasuki sidang pembuktian, sejumlah pihak menyoroti pembuktian perkara sengketa pilpres ini. Sebelumnya, Ketua Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif Veri Junaidi menilai Tim Kuasa Hukum Prabowo-Sandi harus bisa membuktikan setiap tudingan kecurangan yang didalilkan. Sesuai bukti-bukti dalam permohonan, menurutnya, Pemohon tidak cukup memiliki alat bukti yang kuat, otentik, dan berlapis untuk menunjukkan adanya pelanggaran pemilu yang terstruktur, sistematis dan masif (TSM).

 

"Berita media yang banyak digunakan sebagai bukti, hampir 90 persen merupakan informasi awal yang kebenarannya masih harus diuji dan disertai bukti-bukti otentik lainnya," kata Veri.

 

Dia mengkritik dalil permohonan seperti forum penanganan pelanggaran pemilu yang seharusnya selesai di Bawaslu, bukan di MK yang menangani perolehan hasil suara dalam  pilpres. "Beragam dalil pelanggaran dimunculkan, namun belum secara kuat dibuktikan terjadinya pelanggaran TSM. Apalagi dampaknya terhadap hasil pemilu," kata dia.

 

Ahli Hukum Tata Negara Universitas Jember Bayu Dwi Anggono Bayu menjelaskan jika dilihat dari permohonan kemarin, Pemohon harus membuktikan 22 juta suara yang digelembungkan mulai suara tidak sah, alasan penggelembungan DPT dan DPK, dan persoalan tanggal lahir. “Ini agak sulit dibuktikan. Padahal terkait persoalan ini, Mendagri sudah mengatakan bagi masyarakat yang lupa tanggal lahirnya dapat dipersamakan,” kata dia.

 

Direktur PuSAKO Universitas Andalas Feri Amsari memprediksi perkara sengketa hasil Pilpres 2019 ini tidak akan tidak diterima. Namun, Bivitri menginginkan Majelis Hakim memeriksa pokok perkara sengketa pilpres ini. Terlebih saat memasuki sidang pembuktian, sudah bukan lagi mengedepankan politiknya. Karena saya rasa panggung politiknya sudah dilakukan saat sidang pendahuluan,” kata dia.

 

“Jadi, saya menginginkan hakim masuk dalam pokok perkaranya, mari kita belajar demokrasi sama-sama, dan belajar hukum sama-sama,” katanya.

Tags:

Berita Terkait