Permintaan Mundur Arief Pertaruhan Negara Hukum dan Demokrasi
Berita

Permintaan Mundur Arief Pertaruhan Negara Hukum dan Demokrasi

Permintaan mundur Arief Hidayat bukan berarti kalah, tetapi demi menjaga marwah MK.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Dari kiri: Virgo S. Gohardi, M Busyro Muqoddas dan Bivitri Susanti. Foto: RES
Dari kiri: Virgo S. Gohardi, M Busyro Muqoddas dan Bivitri Susanti. Foto: RES

Direktur Madrasah Antikorupsi Pemuda Muhammadiyah, Virgo S. Gohardi meminta agar Ketua MK Arief Hidayat membalas “Surat Cinta” yang berisi permintaan dirinya mengundurkan diri dari jabatannya beberapa hari yang lalu. Sebab, apabila Arief menolak mengundurkan diri tidak mencerminkan sikap seorang negarawan.

 

“Kami ingin balaslah surat kami dengan surat pengunduran diri,” kata Virgo saat konperensi pers di Gedung PP Muhammadiyah Jakarta, Selasa (30/1/2018). (Baca juga: Dinilai Ciderai Marwah MK, Arief Hidayat Kembali Diminta Mundur)

 

Dia menilai Arief telah kehilangan integritasnya sebagai hakim konstitusi, sehingga sepatutnya lebih baik ia mundur dari jabatannya. Ada beberapa hal yang mendorong pihaknya meminta Arief mengundurkan diri. Yakni memberi katebalece kepada Jaksa Agung Muda Pengawasan Widyo Pramono untuk menitipkan keponakannya yang menjadi Jaksa dan Arief terbukti melakukan pertemuan (lobi-lobi politik) dengan anggota Komisi III di sebuah hotel terkait perpanjangan masa jabatannya dengan memberi janji terkait pengujian UU No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3) soal hak angket KPK.        

 

“Seorang pemimpin harus memiliki integritas tentu tidak memberikan kecacatan,” kata dia.

 

Dosen Hukum STHI Jentera Bivitri Susanti mengatakan seharusnya Arief merasa malu dengan sikapnya yang enggan untuk mundur dari jabatannya. Padahal, sudah ada contoh hakim konstitusi yang pernah mengundurkan diri tak lama setelah dinyatakan terbukti melanggar kode etik yakni Arsyad Sanusi.

 

“Arsyad mundur demi menjaga nama baik dan integritas delapan hakim konstitusi lain, serta menjaga wibawa MK. Seharusnya, sikap yang sama juga dilakukan oleh Arief,” ujarnya.

 

"Pak Arief, perhitungkanlah. Mundur bukan berarti kalah. Tetapi, justru menjaga agar MK marwahnya tetap baik," pintanya.

 

Bivitri mengingatkan sudah dua kali MK tercoreng marwahnya karena kasus suap sejumlah sengketa pilkada yang menyeret Ketua MK terdahulu, yakni Akil Mochtar dan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar dalam suap penanganan perkara judicial review UU No. 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Masyarakat sipil tidak ingin marwah MK terus menerus tercoreng dengan ditambahnya kasus Arief ini.

 

"Karena ini yang dipertaruhkan bukan hanya MK, tetapi juga negara hukum Indonesia dan demokrasi secara luas," ujarnya.

 

Apalagi, kata dia, MK akan menghadapi momen penting yakni bakal disahkannya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dan menyongsong sengketa Pilkada 2018 dan Pemilu 2019. Menurutnya, legitimasi masyarakat terhadap hakim MK akan turun jika Arief tetap bertahan atau tidak mundur. "Apakah kita tidak mempunyai kekhawatiran besar seperti ini?" 

 

Sementara Mantan Wakil Ketua KPK Busyo Muqoddas juga meminta Arief Hidayat mundur dari jabatanya demi menjaga marwah lembaga. Sebab, mundurnya Arief justru sekaligus akan menyelamatkan citra pribadinya sebagai pejabat negara.

 

“Mundurnya Arief akan membawa dampak positif pada MK. Dalam waktu bersamaan, jika Arief mundur, arus munculnya public distrust terhadap MK bisa diminimalkan. Bagi Pak Arief pribadi akan terselamatkan image-nya ke depan," ujarnya.

 

Menurutnya, Arief seharusnya memikirkan citra diri setelah tidak lagi menjadi pejabat negara. Busyro mengatakan pejabat Indonesia sering mengabaikan citra pribadi saat pensiun. "Investasi setelah orang tidak menjabat itu jarang diperhitungkan umumnya oleh sebagian pejabat di Indonesia. Yang dipikirkan selama menjabat. Jarang yang berpikir setelah menjabat itu ending-nya seperti apa?”

Tags:

Berita Terkait