Permenristekdikti Program Profesi Advokat Dinilai Kesampingkan UU dan Putusan MK
Berita

Permenristekdikti Program Profesi Advokat Dinilai Kesampingkan UU dan Putusan MK

Karena bertentangan prosedur pengangkatan advokat dalam UU Advokat, UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dan Putusan MK.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

 

Menurutnya, faktanya tidak semua perguruan tinggi memiliki fakultas hukum berakreditasi minimal B dapat diajak bekerja sama oleh organisasi advokat. Namun, terpenting seharusnya Permenristekdikti sebagai peraturan pelaksana tak boleh melebihi kewenangan UU Advokat sebagai aturan yang lebih tinggi.  

 

Potensi Hambat UU Bantuan Hukum

Terpisah, Direktur Eksekutif Institute Criminal for Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju menilai Permenristekdikti 5/2019 seharusnya mengacu pendelegasian dari UU Advokat. Termasuk putusan MK No.103/PUU-XI/2013 dan 95/PUU-XIV/2016. Hal ini bertentangan dengan prinsip umum hierarki penyusunan peraturan perundang-undangan seperti diatur UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

 

“Jadi secara formil, pemberian kewenangan perguruan tinggi dapat menyelenggarakan program profesi advokat (PPA) dalam Permenristekdikti juga bertentangan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dimana peraturan pelaksanaan tidak boleh melampaui kewenangan UU yang mendasarinya,” kata Anggara. Baca Juga: Penyelenggaraan PKPA Wajib Libatkan Perguruan Tinggi Hukum     

 

Anggara juga menilai imbas berlakunya Permenristekdikti ini ke depan bakal mempersulit akses keadilan bagi rakyat miskin yang membutuhkan bantuan hukum. Advokat yang didedikasikan jasanya untuk menangani perkara-perkara orang miskin yang probono (gratis) bakal sulit diakses dan dicari. Sebabnya, Permenristekdikti itu memperpanjang proses pengangkatan advokat dan berimbas menjadi advokat membutuhkan biaya yang lebih tinggi.

 

“Permenristekdikti tersebut bisa membuat orang menjadi advokat membutuhkan waktu lebih dari 8 tahun,” kata dia.

 

Di sisi lain, dalam UU No.16 Tahun 2011 tentang Bantuan hukum, pemerintah dituntut menyediakan akses keadilan bagi masyarakat miskin dan buta hukum untuk mendapat bantuan hukum (gratis) merata di seluruh Indonesia. Menurutnya, Permenristekdikti 5/2019 potensi bakal menghambat implementasi UU Bantuan Hukum karena menegasikan (mengesampingkan) hak memperoleh pembelaan dari seorang advokat sebagai bagian dari hak asasi manusia (HAM).

Tags:

Berita Terkait