Permenkumham Harmonisasi Peraturan Dinilai Konflik dengan UU
Berita

Permenkumham Harmonisasi Peraturan Dinilai Konflik dengan UU

Permenkumham No. 22 Tahun 2018 dan Permenkumham No. 23 Tahun 2018 disarankan untuk direvisi karena bertentangan dengan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan UU Pemerintah Daerah.

Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
Wicipto Setiadi, Bagir Manan, Maria Farida Indrati dalam seminar bertajuk 'Quo Vadis, Tata Kelola Regulasi Indonesia? Telaah Akademis Permenkumham No. 32 Tahun 2017, No. 22 Tahun 2018, No. 23 Tahun 2018' di FHUI Depok, Kamis (1/11). Foto: ASH
Wicipto Setiadi, Bagir Manan, Maria Farida Indrati dalam seminar bertajuk 'Quo Vadis, Tata Kelola Regulasi Indonesia? Telaah Akademis Permenkumham No. 32 Tahun 2017, No. 22 Tahun 2018, No. 23 Tahun 2018' di FHUI Depok, Kamis (1/11). Foto: ASH

Belum lama ini, Kementerian Hukum dan HAM menerbitkan Permenkumham No. 22 Tahun 2018 tentang Pengharmonisan Rancangan Peraturan Perundang-undangan yang Dibentuk di Daerah oleh Perancang dan Permenkumham No. 23 Tahun 2018 tentang Pengharmonisan Rancangan Peraturan Menteri, Rancangan Peraturan Lembaga Pemerintah Nonkementerian, atau Rancangan Peraturan Lembaga Nonstruktural oleh Perancang.    

 

Kedua beleid yang diteken Menkumham Yasonna H. Laoly pada 23 Agustus 2018 ini seolah mewajibkan pengharmonisasian terhadap setiap rancangan peraturan instansi pemerintahan daerah (pemda) dan pemerintah pusat kepada Kanwil Kemenkumham atau Kemenkumham cq Direktorat Jenderal Peraturan Peraturan Perundang-undangan (Ditjen PP) yang dilakukan oleh perancang. Namun, kedua Permenkumham ini dinilai konflik atau bertentangan dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan UU Pemerintah Daerah. 

 

“Permen ini bisa menimbulkan konflik dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dalam hal ini UU 12/2011,” ujar mantan Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham Wicipto Setiadi dalam sebuah seminar bertajuk ‘Quo Vadis, Tata Kelola Regulasi Indonesia? Telaah Akademis Permenkumham No. 32 Tahun 2017, No. 22 Tahun 2018, No. 23 Tahun 2018’ di FHUI Depok, Kamis (1/11/2018). Selain Wicipto, hadir sebagai narasumber mantan MK Prof Maria Farida Indrati dan Mantan Ketua MA Prof Bagir Manan.                    

 

Wicipto menerangkan Permenkumham 22/2018 tersebut bertentangan dengan beberapa aturan dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Misalnya, konflik dengan Pasal 58 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011. Dalam Pasal 58 ayat (2) disebutkan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang berasal dari Gubernur dikoordinasikan oleh biro hukum dan dapat mengikutsertakan instansi vertikal dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.

 

Selain itu, Permenkumham itu konflik atau bertentangan dengan Pasal 98 ayat (1) UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menentukan setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan mengikutsertakan perancang peraturan perundang-undangan. Baginya, istilah yang digunakan “mengikutsertakan” bukan secara khusus untuk mengharmoniskan.

 

“Beberapa pasal lain mengenai pengharmonisan dalam UU 12/2011, seperti Pasal 46 ayat (2), Pasal 47 ayat (2), Pasal 54 ayat (2), Pasal 55 ayat (2), Pasal 58, pengharmonisasian dilakukan oleh institusi, bukan perancang (individual),” kata mantan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) ini.  

 

“Permenkumham No. 23 Tahun 2018 sebenarnya niatnya baik, karena selama ini di level penyusunan rancangan peraturan menteri, peraturan lembaga nonkementerian, atau lembaga nonstruktural sering menimbulkan masalah.”

 

Hanya saja, menurutnya tidak ada satu dasar hukum pun yang memberi kewenangan secara tegas kepada Kemenkumham cq Ditjen PP melakukan pengharmonisasian terhadap semua rancangan peraturan daerah (perda) provinsi, perda kabupaten, peraturan gubernur, walikota, bupati, peratura desa, peraturan menteri, peraturan lembaga nonkementerian, atau lembaga nonstruktural.

 

“Apakah nanti, semua rancangan Peraturan OJK, Peraturan Menteri Keuangan, Peraturan BI, harus melalui pengharmonisan melalui perancang direktorat harmonisasi pada Ditjen PP? Wong pengharmonisan rancangan UU, PP, Perpres saja sudah pusing?” guraunya.  

 

Mendagri protes

Tak heran, kata dia, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengajuk surat protes kepada Menkumham terkait terbitnya dua permenkumham tersebut. Melalui surat Menteri Dalam Negeri No. 180/7182/SJ tanggal 19 September 2018 yang ditujukan kepada Menkumham, Kemendagri meminta untuk mencabut Permenkumhan No. 22 Tahun 2018 dan Permenkumham No. 23 Tahun 2018 terkait pengharmonisasian peraturan daerah dan peraturan pemerintah pusat ini.

 

Bahkan, kata dia, Sekjen Kemendagri mengirimkan surat edaran kepada seluruh Sekretaris Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota bernomor 180/2190/Biro hukum tanggal 1 Oktober 2018 perihal Penegasan Kewenangan Proses Evaluasi dan Fasilitasi Penyusunan Rancangan Perda dan Perkada. “Sebetulnya ada juga informasi (beberapa) kementerian atau lembaga juga mempermasalahkan Permenkumham No. 23 Tahun 2018 ini,” ujar Wicipto tanpa menyebutkan instansi mana.

 

“Jadi, sebaiknya kedua Permenkumham ini direvisi. Jika tidak, kalau ada yang berani sebaiknya diajukan judicial review ke MA,” sarannya.

 

Hal senada disampaikan Maria Farida Indrati bahwa Menteri Dalam Negeri mengajukan protes melalui surat No. 180/7182/SJ tanggal 19 September 2018 yang ditujukan kepada Menkumham. Surat itu intinya meminta Menkumham mencabut Permenkumhan No. 22 Tahun 2018 dan Permenkumham No. 23 Tahun 2018 terkait pengharmonisasian peraturan daerah dan peraturan pemerintah pusat.   

 

Dia mengingatkan tugas dan fungsi Kemenkumham dan Kemendagri sudah jelas. Kemenkumham sebagai pembina hukum dan peraturan perundang undangan di Indonesia. Sedangkan, Kemendagri sebagai pembina otonomi daerah, sehingga Kemenkumham tidak berwenang mengatur proses perumusan kebijakan daerah seperti termuat dalam Permenkumham No. 22 Tahun 2018 itu.

 

“Isi surat itu berupa permohonan agar Menkumham mencabut Permenkumham tersebut karena telah melampaui kewenangan dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (UU Pemda),” kata wanita yang juga Guru Besar FHUI ini.

 

Karena itu, Wicipto menyarankan untuk solusi jangka pendek agar setiap instansi pemerintah daerah ataupun instansi pemerintah pusat memperkuat biro hukum masing-masing dalam hal harmonisasi atau sinkronisasi rancangan peraturan perundang-undangan. “Jadi, mengatasi persoalan harmonisasi peraturan perundang-undangan ini perkuat saja biro hukum masing-masing instansi,” sarannya. 

Tags:

Berita Terkait