Permenaker Pemotongan Upah Merugikan Buruh, Menguntungkan Pengusaha
Terbaru

Permenaker Pemotongan Upah Merugikan Buruh, Menguntungkan Pengusaha

Pemotongan upah buruh hingga 25 persen melalui Permenaker 5/2023 dinilai bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi, seperti PP 36/2021 dan UU 6/2023.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

Salah satu syarat yang diatur Permenaker 5/2023 yakni adanya kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh mengenai penyesuaian jam kerja dan pemotongan upah itu. Kesepakatan dibuat tertulis dan dicatat ke dinas ketenagakerjaan setempat. Pencatatan ke dinas ketenagakerjaan itu juga harus memenuhi ketentuan yang diatur Pasal 3 Permenaker 5/2023. Antara lain industri padat karya tertentu dan produksi bergantung pada permintaan pesanan dari Amerika Serikat dan negara di Eropa.

“Permenaker ini hanya menguntungkan pengusaha, merugikan buruh karena tidak ada kepastian bagi buruh mempertahankan keberlanjutan kerja,” ujar Fazri.

Menurut Fazri kebijakan pemotongan upah akan menambah jumlah pekerja/buruh yang menerima upah di bawah upah minimum. Melansir data BPS 2021 tercatat buruh yang mendapat upah di bawah ketentuan mencapai 51 persen. Sekalipun ada syarat kebijakan ini harus diawali dengan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja tapi praktiknya sangat sulit. Posisi pengusaha lebih tinggi ketimbang buruh walau sekilas dalam menjalin perjanjian seolah terlihat setara.

Selain itu Fazri meragukan pelaksanaan Permenaker 5/2023 di lapangan, karena minimnya kualitas dan kuantitas petugas pengawas ketenagakerjaan. Terbukti selama ini penegakan hukum ketenagakerjaan sangat lemah misalya soal pelanggaran dalam pemutusan hubungan kerja, pemberangusan serikat buruh, mengubah status hubungan kerja secara sepihak dan lainnya.

Lebih jauh Fazri berpendapat, Permenaker 5/2023 menjadi preseden buruk hukum ketenagakerjaan di Indonesia. Boleh jadi, ke depan pemerintah menerbitkan kebijakan serupa yang merugikan buruh. Misalnya semakin mudah bagi pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja, kriminalisasi terhadap buruh dan seterusnya.

UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya serta Permenaker 5/2023 menurut Fazri, bentuk deregulasi aturan ketenagakerjaan di Indonesia. Awalnya hukum ketenagakerjaan dibuat untuk melindungi buruh tapi sekarang makin bergeser menjadi semakin longgar. Padahal ketika upah buruh rendah daya beli buruh juga turun. Dampaknya buruh tak dapat menjangkau barang yang diproduksi industri. Ketidakseimbangan itu membuat pertumbuhan ekonomi berpotensi turun.

Di tempat yang sama, Ketua Umum Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (Kasbi) Unang Sunarno, menjelaskan semula banyak hak-hak buruh yang dikebiri karena kalangan pengusaha mengadu ke Presiden Joko Widodo terkait regulasi ketenagakerjaan yang dinilai terlalu kaku. Bahkan Menteri Ketenagakerjaan kala itu M Hanif Dhakiri, menyebut regulasi ketenagakerjaan seperti kanebo kering. Pemerintah merespon dan berniat merevisi UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada tahun 2019, tapi tak terwujud karena ditolak kalangan serikat buruh dan elemen masyarakat lainnya.

Penolakan serupa juga terjadi ketika pemerintah membahas RUU Cipta Lapangan Kerja yang diubah menjadi RUU Cipta Kerja. Tapi pemerintah dan DPR mengabaikan protes masyarakat dan mengetoknya menjadi UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Alhasil, berbagai usulan kalangan pengusaha diakomodir dalam klaster ketenagakerjaan UU 11/2020. Setelah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi, pemerintah malah menerbitkan Perppu 2/2022 yang isinya tak jauh beda dengan UU 11/2020.

Perppu itu kemudian ditetapkan menjadi UU 6/2023. Akibatnya regulasi ketenagakaerjaan yang selama ini melindungi buruh diubah menjadi semakin fleksibel dan efisien. Misalnya, mudah merekrut dan melakukan pemutusan hubungan kerja antara lain dengan hubungan kerja kontrak atau alih daya. Kemudian memangkas kompensasi pesangon buruh, dan menekan upah.

“Kebijakan pemerintah di bidang ketenagakerjaan semakin lama semakin merugikan buruh,” pungkas Sunarno.

Tags:

Berita Terkait