Perlunya Sekolah Inklusi Disabilitas untuk Riset dalam Pembentukan Regulasi
Terbaru

Perlunya Sekolah Inklusi Disabilitas untuk Riset dalam Pembentukan Regulasi

Masih terlalu banyak penyandang disabilitas yang tidak mendapatkan kesempatan untuk bersekolah. Bahkan sekolah yang membuka untuk penyandang disabilitas pun dinilai tidak ramah infrastruktur.

CR-27
Bacaan 3 Menit
Diskusi daring bertema Inklusi Disabilitas dalam Riset untuk Pembentukan Regulasi. Foto: CR-27
Diskusi daring bertema Inklusi Disabilitas dalam Riset untuk Pembentukan Regulasi. Foto: CR-27

Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutus uji formil Undang-Undang No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja konstitusional bersyarat. Dalam UU tersebut, ada satu aspek yang belum dipenuhi, yakni soal partisipasi. Aspek partisipasi sebetulnya sudah ada landasannya secara umum, namun operasionalisasinya sangat tertatih.

Dengan adanya peningkatan partisipasi dalam aspek inklusivitas diharapkan proses regulasi semakin inklusif, terutama untuk penyandang disabilitas selaku penyandang kepentingan utama.

Dari data Badan Pusat Statistik (BPS), penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 22,5 juta pada tahun 2020. Undang-Undang No.8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas membagi lima kategori disabilitas yaitu fisik, intelektual, mental, sensorik, dan ganda/multi yang menunjukkan kompleksitas masalah disabilitas.

Dari klasifikasi ini jelas bahwa lembaga atau kementerian terkait harus menyatakan komitmen untuk mengutamakan penyandang disabilitas. Peneliti Utama Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Tri Nuke Pudjiastuti, mengungkapkan masih banyaknya penyandang disabilitas yang tidak mendapat akses ramah pendidikan.

“Masih terlalu banyak penyandang disabilitas yang tidak mendapatkan kesempatan untuk bersekolah, bahkan sekolah yang membuka untuk penyandang disabilitas pun dinilai tidak ramah infrastruktur,” katanya dalam sebuah diskusi daring, Senin (13/12).

Menurutnya, telah ada tujuh peraturan pemerintah yang dikeluarkan yang fokus pada isu disabilitas, namun hal ini masih memiliki tantangan dalam akses sosial, pendidikan, ekonomi dan politik. (Baca Juga: “Jerat” Kebiri Kimia Terhadap Pelaku Kekerasan Seksual Anak)  

“Ketika kita perhatikan regulasi yang dikeluarkan pada level Peraturan Menteri, contohnya dalam mendapatkan pekerjaan, saat ada persyaratan yang disamakan hal ini secara langsung mengungkapkan bahwa tidak adanya afirmatif regulasi dan kebijakan upaya penyandang disabilitas ini bisa mendapatkan akses sebagaimana warga negara,” ujarnya.

Dia mengatakan cukup banyak persoalan regulasi turunan yang saat ini belum ramah terhadap penyandang disabilitas. Isu disabilitas ini belum menjadi isu riset secara nasional. Pada prioritas kerangka riset nasional isu disabilitas hanya menjadi bagian kecil.

Inklusi diartikan sebagai pendekatan untuk membangun dan mengembangkan sebuah lingkungan yang semakin terbuka, mengajak masuk dan mengikutsertakan semua orang dengan berbagai perbedaan latar belakang, karakteristik, kemampuan status, kondisi, etnik, budaya dan lainnya.

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia, Estu Dyah Arifianti, menjelaskan pentingnya inklusi disabilitas dalam riset adalah untuk pembentukan regulasi. Riset ini nantinya akan menjadi dasar pembentukan kebijakan, sehingga hasil kebijakan yang mengatur tata laksana dan perilaku bisa mewakili seluruh warga negara tanpa membeda-bedakan latar belakang atau latar sosial.

“Begitu pentingnya posisi riset ini, menjadi dasar pembentuk kebijakan. Ketika kebijakan tersebut sudah jadi, maka akan tercapai suatu tujuan. Perlu adanya inklusi ini karena kita perlu tau kebutuhan kelompok masyarakat yang berbeda termasuk penyandang disabilitas,” jelasnya.

Ia melanjutkan riset perlu memperhitungkan apakah sudah merepresentasikan kebutuhan masyarakat, khususnya dalam hal ini adalah penyandang disabilitas. Riset terkait disabilitas atau yang melibatkan penyandang disabilitas masih sangat minim. Hal ini menurut Estu karena adanya siklus eksklusi.

“Siklus ini terjadi karena rendahnya partisipasi penyandang disabilitas di seluruh tingkatan pendidikan, termasuk pendidikan tinggi. Representasi yang rendah di institusi pendanaan riset, institusi akademik, maupun pencarian data juga turut menjadi faktor minimnya keterlibatan penyandang disabilitas dalam riset,” katanya.

Ia melanjutkan pendapat dan pengalaman penyandang disabilitas yang tidak tergambar dan tidak terungkap dalam ketentuan riset serta adanya agenda dan proses riset yang tidak merefleksikan kebutuhan penyandang disabilitas juga turut menjadi faktornya.

“Eksklusi penyandang disabilitas di dalam pelaksanaan riset tidak terlepas dari eksklusi mereka di institusi pendidikan, karena itu pendidikan menjadi kunci jika ingin mendorong riset-riset mengenai isu disabilitas,” ujarnya.

Pemerintah telah berkomitmen, dalam sisi hak sudah jelas penyandang disabilitas tidak berbeda dengan warga negara yang lain untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu melalui pendidikan inklusi. Namun dalam praktiknya ada keterbatasan sumber daya manusia karena untuk pendidikan inklusi perlu guru pendamping khusus untuk siswa disabilitas yang melakukan pembelajaran di sekolah inklusi.

“Dari total 127.541 siswa penyandang berkebutuhan khusus yang bersekolah di sekolah inklusi hanya terdapat 35.802 sekolah inklusi di Indonesia,” tambahnya.

Selain itu, faktor yang menghambat adanya sekolah inklusi di Indonesia. Menurut Estu, belum ada standar kurikulum yang jelas bagi sekolah inklusi di Indonesia, sehingga penyandang disabilitas belum secara penuh dilibatkan di institusi pendidikan di Indonesia.

Tags:

Berita Terkait