Perlunya Penataan Regulasi untuk Kemajuan di Sektor Migas
Terbaru

Perlunya Penataan Regulasi untuk Kemajuan di Sektor Migas

Mengacu pada perkembangan regulasi dan institusi pada pengelolaan hulu migas nasional berdasarkan Pasal 33 UUD NRI 1945, maka perlu segera dilakukan penataan regulasi yang salah satu upayanya dengan segera memperbaiki UU No. 11 Tahun 2020 tentang Ciptaker dan/atau menyelesaikan pembahasan tentang RUU Migas.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 7 Menit
Brigita P. Manohara mengangkat persoalan migas sebagai bahan disertasi-nya. Dia sukses menyelesaikan gelar S3-nya di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Sabtu (2/7).
Brigita P. Manohara mengangkat persoalan migas sebagai bahan disertasi-nya. Dia sukses menyelesaikan gelar S3-nya di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Sabtu (2/7).

Berangkat dari keprihatinannya terhadap situasi hulu Minyak dan Gas Bumi (Migas) di Indonesia, Brigita P. Manohara mengangkat persoalan migas sebagai bahan disertasi-nya. Dia sukses menyelesaikan gelar S3-nya di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), pada Sabtu (2/7), dengan judul disertasi “Pengelolaan Hulu Migas di Indonesia: Kajian Regulasi dan Institusi Berdasarkan Pasal 33 UUD NRI 1945”.

Sidang promotor program Doktoral itu di ketuai oleh Edmon Makarim, Hikmahanto Juwana (Promotor/penguji), Tri Haryati (Penguji), Abrar Saleng (penguji), Ratih Lestarini (penguji), Nanik Trihastuti (penguji), Harsanto Nursadi (penguji), dan Fitra Arsil (penguji).

Kepada Hukumonline, Brigita mengatakan kondisi sektor hulu migas Indonesia hingga saat ini belum mengalami kemajuan. Bahkan salah satu hal terpenting dalam pengelolaan hulu migas, yakni revisi Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, belum juga tuntas dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama pemerintah. Tercatat, pembahasan revisi UU Migas sudah berlangsung selama 11 tahun, sejak 2010 silam.

“Jujur karena keprihatinan atas kondisi sektor hulu migas yang sempai saat ini belum ada kemajuan dan pembahasan revisi UU Migas yang sampai saat ini belum selesai,” kata Brigita.

Baca Juga:

Dalam disertasinya, Brigita menyampaikan bahwa negara penghasil minyak dan gas (migas) sangat ditopang oleh regulasi dan institusi. Baik regulasi dan institusi dibutuhkan dalam rangka membangun iklim investasi industri termasuk industri migas yang memiliki karakteristik high risk, high technology dan high cost. Tingginya nilai investasi dan risiko di industri migas khususnya sektor hulu migas menjadikan regulasi sebagai landasan kegiatan usaha dibutuhkan kestabilannya.

Apalagi bisnis migas merupakan bisnis dengan durasi kerja sama hingga puluhan tahun. Sementara institusi berkaitan erat dengan negara tempat sumber daya berada yang di beberapa wilayah, negara merupakan pemegang hak penguasaan atas sumber daya alam.

Institusi inilah yang kemudian menjadi wakil negara sebagai pemegang hak penguasaan sumber daya dalam menyelenggarakan kegiatan hulu migas. Kehadiran institusi pada pengelolaan hulu migas memiliki peran penting karena dengan fungsi dan kewenangannya institusi dapat menjadikan migas sebagai penggerak kemajuan negara atau justru sebaliknya.

Dalam rangka melaksanakan penyelenggaraan kegiatan hulu migas, pemerintah berupaya untuk memaksimalkan potensi migas nasional melalui kebijakan (beleid) yang disahkan. Di Indonesia, maksimalisasi potensi migas adalah dalam rangka mencapai tujuan pengelolaan migas nasional yang didasarkan pada Pasal 33 UUD NRI tahun 1945 yakni kesejahteraan social melalui pemanfaatan migas untuk sebesar-besar masyarakat Indonesia.

Pasca proklamasi kemerdekaan di tahun 1945, pemerintah Indonesia berupaya untuk menata ketentuan hukum sebagai landasan berkegiatan. Adalah pasal 33 UUD NRI tahun 1945 yang selanjutnya dikenal sebagai landasan ekonomi dan diterjemahkan menjadi beragam aturan turunan agar dapat menjadi petunjuk teknis pelaksanaan kegiatan ekonomi termasuk pertambangan minyak dan gas.

Melalui pasal 33 UUD NRI 1945, para pendiri bangsa bercita-cita mewujudkan keadilan sosial di bidang ekonomi dan memberikan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam perjalanannya pasal ini diamandemen dengan memberikan tambahan tentang demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Tafsir pasal ini terutama mengenai penguasaan juga mengalami perkembangan. Di tahun 2003, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan No. 001-021-022/PUU-1/2003 menyatakan bahwa penguasaan negara terhadap cabang produksi bertujuan untuk memenuhi: 1) ketersediaan yang cukup; 2) distribusi yang merata; dan 3) terjangkaunya harga bagi orang banyak.

Selanjutnya pada Putusan MK No. 002/PUU-I/2003 dinyatakan bahwa penguasaan negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat. Kemudian di tahun 2010, melalui Putusan No.3/PUU-VIII/2010, Mahkamah berpendapat bahwa penguasaan oleh negara meliputi sejumlah fungsi yakni: 1) mengadakan kebijakan (beleid); 2) melakukan pengaturan (regelendaad); 3) melakukan pengurusan (bestuurdaad); 4) melakukan pengelolaan (beheersdaad); dan 5) melakukan pengawasan (toezichthoudensdaad). Kelima fungsi tersebut apabila merujuk pada putusan di tahun 2010 maka harus bersifat kumulatif dilakukan oleh negara karena apabila tidak terpenuhi maka tidak mencapai kemakmuran bagi sebesarbesarnya rakyat.

Tafsir ini kemudian berkembang setelah di tahun 2012, Mahkamah melalui Putusan No. 36/PUU-X/2012 berpendapat bahwa terdapat tingkatan dalam tindakan penguasaan oleh negara. Tingkatan pertama adalah pengelolaan (beheersdaad). Tingkatan kedua adalah membuat kebijakan dan pengurusan. Kemudian pada peringkat ketiga adalah fungsi pengaturan dan pengawasan. Berdasarkan putusan ini pula, Mahkamah menegaskan bahwa pengelolaan oleh negara adalah melalui Badan Usaha Milik Negara.

Pemerintah Indonesia terus berupaya menerjemahkan Pasal 33 UUD NRI tahun 1945 ke dalam aturan perundang-undangan agar dapat diimplementasi dengan baik. Namun demikian kondisi politik, sosial, ekonomi yang terjadi pasca kemerdekaan menjadikan tindakan membuat kebijakan terkendala sehingga regulasi mengenai pertambangan terutama pertambangan minyak dan gas turut terhambat.

Kebijakan awal yang dikeluarkan pemerintah Indonesia berkaitan dengan pertambangan migas adalah untuk menasionalisasi wilayah kerja dan perusahaan migas yang ada. Selanjutnya pemerintah menata lembaga pengelola migas sumber daya migastermasuk skema kerja sama yang diterapkan agar pengelolaan migas dapat memberikan kesejahteraan bagi sebesar-besar rakyat Indonesia.

Dalam perkembangannya, pemerintah telah menerbitkan 76 regulasi sejak tahun 1948. Dimulai dari PP No 55 Tahun 1948 tentang Perusahaan Tambang Minyak dijadikan perusahaan di bawah pengawasan Angkatan Perang hingga Perpres No 36 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Perpres No. 9 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.

Sementara itu untuk pengelolaan migas, negara melakukan nasionalisasi perusahaan migas asing pasca kemerdekaan, dan melahirkan perusahaan negara yang diberikan tugas untuk mengelola wilayah kerja migas. Nasionalisasi juga berdampak pada dibentuknya lembaga baru yang bertugas untuk mengawasi kegiatan pengelolaan migas hingga selanjutnya berubah menjadi Departemen dan kemudian Kementrian.

Selain perusahaan negara yang sengaja dibentuk oleh pemerintah sebagai organ negara dalam menjalankan pengelolaan migas, pemerintah juga membentuk Departemen/Kementrian. Pasca disahkannya UU No. 22 tahun 2001, pemerintah membentuk Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) dan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas).

Namun demikian, Putusan Mahkamah Konstitusi No.36/PUU-X/2012 membubarkan BP Migas yang selanjutnya tugas dan fungsi BP Migas dialihkan pada Satuan Kerja Sementara Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas yakni Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).

Meski sudah dibubarkan sejak tahun 2012 dan dibentuk lembaga sementara, tetapi hingga tahun 2022 belum dibentuk lembaga permanen guna mengambil alih tugas dari SKK Migas. Kondisi ini tentu menjadi tantangan bagi industri hulu migas dengan ketidakpastian lembaga pengelola migas. Hal ini juga dimungkinkan mempengaruhi hubungan kerja sama pengelolaan migas mengingat keberadaan SKK Migas semestinya hanya bersifat sementara.

Dengan demikian, pada dasarnya Indonesia sebagai negara penghasil migas juga mengalami perkembangan regulasi dan institusi dalam usaha mewujudkan kesejahteraan sosial dan mencapai tujuan pemanfaatan migas yakni untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai Pasal 33 UUD NRI 1945. Namun demikian terdapat tantangan yang masih perlu dituntaskan dalam rangka mendorong perkembangan industri hulu migas nasional terutama berkaitan dengan implementasi regulasi dan kepastian mengenai lembaga pengelola hulu migas.

“Dalam hal skema hubungan ‘dua kaki’ atau ‘tiga kaki’ pada lembaga pengelola migas, maka yang perlu dilakukan adalah usaha penciptaan NIE dan penerapan good governance karena kendala utamanya adalah perilaku koruptif pemegang kewenangan,” ungkap Brigita.

Sementara itu usaha optimalisasi regulasi dan institusi sudah dilakukan dalam rangka mengatasi tantangan dalam pengelolaan hulu migas untuk kesejahteraan rakyat meskipun implementasi regulasi belum simetris dengan kinerja institusi sehingga kesejahteraan sosial belum tercapai.

Namun tetap dibutuhkan Undang-Undang Migas baru sebagai landasan kegiatan hulu migas nasional, sehingga ada kepastian regulasi dan institusi pengelola migas. Selain itu, dibutuhkan sinergi dan kolaborasi dari seluruh stakeholders sektor hulu migas agar regulasi yang disahkan dapat terimplementasi dengan baik mengingat selama ini tumpang tindih regulasi kerap terjadi akibat kurangnya komunikasi.

Dalam penelitiannya Brigita juga memaparkan bentuk pengelolaan hulu migas di berbagai negara. Hasilnya ditemukan bahwa pengelolaan sektor hulu migas di negara penghasil migas terus mengalami perkembangan sebagai wujud adaptasi terhadap kondisi sosial, politik, ekonomi dan terutama perubahan di industri migas global.

Perkembangan regulasi dan institusi di negara Venezuela, Arab Saudi, Malaysia, Rusia dan Norwegia merupakan upaya memaksimalkan pengelolaan migas untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Tentu saja perkembangan yang terjadi diusahakan masih berada dalam koridor new institutional economics (NIE) sehingga pertumbuhan ekonomi dapat tercapai sehingga tercipta welfare state.

Selanjutnya dari hasil studi yang dilakukan diketahui bahwa besarnya potensi cadangan tidak berimplikasi langsung terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat di daerah penghasil migas karena perlu ada interaksi yang baik antara regulasi dan institusi sebagai pendorong optimalisasi potensi migas.

Selain itu penguasaan negara atas sumber daya migas dapat dilakukan melalui penyerahan hak eksklusif pengelolaan pada perusahaan migas nasional (NOC) yang sleanjutnya dapat dikerjasamakan dengan kontraktor swasta. Dalam hal pemusatan kewenangan pengelolaan hulu migas pada satu lembaga maka perlu adanya pengawasan dari lembaga lain untuk meminimalkan perilaku koruptif dari pemegang kewenangan.

Atas dasar hasil penelitian, berkaca dari perkembangan pengelolaan migas di sejumlah negara penghasil migas, Brigita menyebut negara sebagai pemegang hak penguasaan sumber daya tidak perlu ragu menunjukkan keberpihakanya terhadap NOC melalui produk regulasi yang disahkan.

Namun demikian perlu dilakukan perbaikan infrastruktur perpajakan khususnya di sektor hulu migas agar industri ini lebih atraktif. Selain itu implementasi dari produk regulasi perlu memperhatikan NIE dan good governance agar tercipta pertumbuhan ekonomi dengan sektor hulu migas sebagai motor penggeraknya sehingga welfare state dapat direalisasikan.

Kemudian mengacu pada perkembangan regulasi dan institusi pada pengelolaan hulu migas nasional berdasarkan Pasal 33 UUD NRI 1945, maka perlu segera dilakukan penataan regulasi yang salah satu upayanya dengan segera memperbaiki UU No. 11 Tahun 2020 tentang Ciptaker dan/atau menyelesaikan pembahasan tentang RUU Migas.

Undang-undang Migas baru inilah yang kemudian dapat dijadikan landasan berkegiatan di industri hulu migas sehingga tercipta stability dan sustainability pada industri ini dengan tetap memperhatikan good governance.

Dan dalam rangka optimalisasi regulasi dan institusi maka peneliti menyarankan agar kembali pada skema ‘dua kaki’ dengan kewenangan lebih besar diberikan kepada Badan Khusus Migas yang merupakan badan usaha baru dibawah koordinasi langsung Presiden dan pengawasan oleh Dewan Energi Nasional (DEN). Selain itu sebagai masukan dalam upaya untuk memudahkan koordinasi maka disarankan agar Menteri BUMN menjadi bagian dari DEN.

Tags:

Berita Terkait