Perlunya Memperluas Kewenangan Pengawasan Kompolnas dalam RUU Polri
Utama

Perlunya Memperluas Kewenangan Pengawasan Kompolnas dalam RUU Polri

Berbagai kekhawatiran masyarakat sipil terhadap kewenangan kepolisian sebagaimana diatur dalam RUU Polri bisa dicegah dengan memperkuat pengawasan.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Kiri-kanan: Ketua Pengurus YLBHI Muhammad Isnur, Guru Besar Ilmu Hukum FH UAI Prof Suparji Achmad, Guru Besar Hukum Pidana Prof Harkristuti Harkrisnowo, dan moderator dalam diskusi 'RUU Perubahan UU Polri', Kamis (11/7/2024). Foto: Tangkapan layar youtube
Kiri-kanan: Ketua Pengurus YLBHI Muhammad Isnur, Guru Besar Ilmu Hukum FH UAI Prof Suparji Achmad, Guru Besar Hukum Pidana Prof Harkristuti Harkrisnowo, dan moderator dalam diskusi 'RUU Perubahan UU Polri', Kamis (11/7/2024). Foto: Tangkapan layar youtube

DPR telah menerima Surat Presiden (Surpres) 4 Rancangan Undang-Undang (RUU). Yakni revisi UU No.34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, UU No.2 Tahun 2002 tentang Polri, UU No.39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara dan UU No.6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.

Selaras itu, pemerintah dalam proses menyusun daftar inventarisasi masalah (DIM) antara lain untuk RUU Polri dan RUU TNI. Kalangan masyarakat sipil menyoroti tajam RUU tersebut salah satunya RUU Polri. Intinya RUU itu memberi kewenangan yang sangat luas terhadap Polri tanpa pengawasan yang memadai.

Guru besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia (FH UAI), Prof Suparji Achmad mengatakan dari banyak kekhawatiran masyarakat terhadap substansi dalam RUU Polri yang paling penting ditekankan adalah pengawasan. Misalnya kewenangan Polri melakukan pengawasan di ruang siber, intinya bagaimana agar hal itu tidak melanggar demokrasi dan HAM.

Oleh karena itu dalam RUU juga diatur koordinasi dengan Kementerian terkait yakni Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Mengenai fungsi intelkam, konteksnya keamanan dan ketertiban masyarakat sebagai bahan penegakan hukum. Selama ini Polri dinilai tidak punya kewenangan intelijen terkait kerumunan dan keamanan. Praktiknya Polri melakukan koordinasi dan kolaborasi dengan intelijen di lembaga lain.

“Kekhawatiran masyarakat terhadap kewenangan itu tidak perlu terjadi jika pengawasannya ketat,” kata Prof Suparji dalam diskusi dengar pendapat publik bertajuk ‘RUU Perubahan UU Polri’ yang diselenggarakan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam), Kamis (11/7/2024).

Baca juga:

Soal kewenangan Polri melakukan penyadapan sebagaimana tertuang dalam RUU, Prof Suparji mengakui sampai saat ini belum ada UU khusus mengatur penyadapan. Tapi sejumlah UU sektoral sudah mengatur tentang hal tersebut. Jika publik khawatir terhadap kewenangan penyadapan oleh Polri bakal menimbulkan penyimpangan dan kesewenang-wenangan. Makanya dalam ketentuan itu diatur pelaksanaannya sesuai peraturan perundangan.

Yakni mengacu UU yang sudah ada mengatur tentang penyadapan seperti UU No.11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas UU No.16 Tahun 2004 Kejaksaan dan UU No.19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Lagi-lagi Prof Suparji menekankan pentingnya pengawasan terhadap Polri dalam pelaksanaan penyadapan. Berikutnya penyidikan yang terkesan Polri sebagai lembaga yang ‘superbody’, sehingga mengancam penyidik di lembaga penegak hukum lainnya termasuk penyidik pegawai negeri sipil (PPNS).

Dia mengingatkan ketentuan ini dikembalikan pada KUHAP, di mana posisi Polri sebagai penyidik utama. Persoalannya di lapangan terjadi kendala komunikasi dan integrasi dalam penyidikan. Koordinasi antar lembaga penegak hukum terkait proses penyidikan pada praktiknya selama ini sudah dilakukan. Sebagai mekanisme membangun ruang check and balances.

RUU Polri menambah usia anggota Polri. Menurut Prof Suparji alasannya karena investasi mendidik anggota Polri tidak murah. Sehingga perlu dipertimbangkan menambah usia pensiun, tapi tidak menghambat regenerasi. Konteksnya adalah pengawasan, meritokrasi, dan prestasi yang mendorong penambahan usia pensiun sehingga berkontribusi terhadap perbaikan institusi.

Hal paling penting yang ditekankan Prof Suparji dalam revisi UU 2/2002 ini adalah pengawasan. Menurutnya, pengawasan yang dilakukan selama ini secara intenal dan eksternal. Tapi ke depan pengawasan terhadap lembaga tribrata itu perlu ditingkatkan. Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) perlu diberi energi dan dasar kewenangan yang lebih luas.

Sebab kewenangan yang besar dan luas yang dimiliki Polri sebagaimana diatur RUU tidak akan menimbulkan masalah selama pengawasan dapat dilakukan secara ketat. Termasuk pengawasan diri atau masing-masing individu. “Selama ada integritas, profesionalitas, dan integritas,” ujarnya.

Pengawasan melekat

Menurut Prof Suparji perlu diatur pengawasan melekat yakni pertanggungjawaban atasan. Selaras KUHP yang mengatur alasan penghapus pidana karena menjalankan perintah atasan. Maka, perlu aturan ketika anggota melakukan kesalahan, atasannya harus bertanggungjawab. Atasan ikut membina dan mendidik sehingga kesalahan tak sepenuhnya ditanggung bawahan.

Selain itu pengawasan terhadap disiplin dan etika tak boleh luput. Pelaksanaannya harus dilakukan secara transparan dan akuntabel sehingga tidak menimbulkan imunitas bagi pihak yang melakukan kesalahan. “Maka saya menekankan pengawasan eksternal Kompolnas harus ditingkatkan,” usulnya.

Pada kesempatan itu Ketua Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur berpandangan kewenangan yang terlalu luas dan minim pengawasan akan membuat Polri sebagai lembaga ‘superbody’. Hal itu berdampak buruk bagi institusi Polri karena menanggung beban yang terlalu berat dan tidak fokus menjalankan tugas serta  fungsinya sebagaimana dimandatkan UUD 1945.

Sejumlah ketentuan RUU Polri memberikan kewenangan yang luas bagi kepolisian. Misalnya, Pasal 16 ayat (1) huruf q untuk melakukan penindakan, pemblokiran, atau pemutusan dan upaya perlambatan akses ruang siber untuk tujuan keamanan dalam negeri. Kewenangan ini sangat rentan penyalahgunaan, mengancam ruang kebebasan berpendapat.

“Ketika nanti aparat kepolisian menganggap ada kritik yang membahayakan pemerintah kewenangan ini berpotensi digunakan,” paparnya.

Pasal 16A huruf d, mengancam pihak asing dari luar negeri yang bersolidaritas terhadap kondisi demokrasi dan HAM di indonesia seperti peneliti, jurnalis, donatur dan lainnya. Lalu soal penyadapan, memberikan diskresi besar terhadap Polri. Ketentuan soal penyadapan menurut Isnur, harusnya dihapus selama belum ada UU yang mengatur khusus tentang penyadapan.

Apalagi temuan Amnesty International dan Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukan banyak impor alat sadap. Karena itulah penting dilakukan evaluasi terhadap penggunaannya apakah untuk penegakan hukum atau bukan. Sebagaimana catatan lembaga independen seperti Ombudsman, Komnas HAM, dan organisasi masyarakat sipil, salah satu yang urgen bagi Polri adalah pengawasan yang kuat.

Penegakan kode etik kepolisian dan Kompolnas harus diperkuat. Isnur mengusulkan pembahasan RUU Polri ditunda dengan membahas ulang naskah akademik dengan melibatkan partisipasi publik secara bermakna. “Lebih baik fokus pada UU yang holistik seperti merevisi KUHAP,” usulnya.

Tags:

Berita Terkait