Perlunya Kebijakan Anggaran Bidang Hukum yang Lebih Rasional
Kolom

Perlunya Kebijakan Anggaran Bidang Hukum yang Lebih Rasional

Selama dua dasawarsa terakhir, bangsa kita telah mencapai kemajuan signifikan di berbagai sektor. Sayangnya kemajuan serupa tidak dirasakan pada sektor hukum. Banyak yang berpendapat sektor hukum stagnan bahkan mundur.

Bacaan 7 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Tim Percepatan Reformasi Hukum mencatat beberapa langkah mundur dalam penegakan hukum, termasuk penggantian hakim konstitusi dengan prosedur yang tidak selaras dengan hukum dan penurunan efektivitas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak diundangkannya UU KPK baru.

Di sisi lain, persepsi dunia usaha terhadap sistem hukum di Indonesia sejak awal reformasi tidak mengalami perubahan berarti. Meskipun Indonesia menjanjikan kesempatan dan keuntungan yang besar, proses mencapainya masih dipandang sebagai hutan belantara yang penuh risiko.

Sejumlah masalah yang sudah terjadi sebelum era reformasi masih belum juga terselesaikan. Seperti peraturan yang tidak jelas karena tumpang tindih dan sering berubah, perjanjian tertulis yang tidak memiliki kekuatan karena keputusan pengadilan tidak dapat dieksekusi dan kurangnya perlindungan serta jaminan atas hak atas tanah.

Hal lainnya adalah risiko tinggi dalam dunia usaha, terutama disebabkan oleh lemahnya sistem hukum, secara otomatis membatasi tipe investor serta entrepreneur yang mau dan mampu berbisnis di Indonesia. Hanya mereka yang berotot kuat, bermental baja dan mengharapkan return tinggi yang akan masuk. Akibatnya, ekonomi kita menjadi kurang terbuka dan mahal.

Berbagai upaya untuk memperbaiki bidang hukum masih berkutat pada masalah teknis dan sedikit substansi. Padahal ada satu prasyarat perbaikan yang sangat jarang didiskusikan, yaitu perlunya kebijakan anggaran sektor hukum yang lebih rasional.

Baca juga:

Analisis anggaran sektor hukum selama dua puluh tahun terakhir menunjukkan bahwa hukum bukanlah prioritas utama. Karenanya wajar jika hasil yang kita peroleh saat ini buruk. Fakta yang mencolok adalah sektor hukum tidak masuk dalam item khusus rincian belanja pemerintah pusat berdasarkan fungsi. Berbeda dengan bidang lain yang dianggap lebih penting, seperti pariwisata.

Hukum dilebur ke dalam fungsi ketertiban dan keamanan yang seharusnya menjadi sub-bagian dari hukum. Mengapa? Karena ketertiban dan keamanan adalah salah satu saja dari tujuan hukum. Jika kita memperhatikan ketertiban dan keamanan tanpa memperhatikan hukum secara keseluruhan, maka yang kita peroleh adalah solusi-solusi pragmatis dan tambal sulam dalam menciptakan ketertiban dan keamanan. Sehingga tujuan lain dari hukum seperti tercapainya keadilan dalam berbagai bidang menjadi kurang diperhatikan.

Argumen lain untuk mendukung fungsi hukum dialokasikan secara terpisah adalah banyaknya Kementerian/Lembaga (K/L) yang memiliki tanggung jawab bidang hukum serta jumlah total alokasi anggaran K/L tersebut. Walaupun penjelasan Pasal 11 ayat 5 UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara tidak menyebut fungsi hukum, namun ketentuan tersebut membuka adanya kemungkinan perincian anggaran berdasarkan fungsi lain.

Anggaran bidang hukum dalam APBN kita tersebar di berbagai K/L, mulai dari K/L “kelas berat” dengan anggaran jumbo, sampai dengan “kelas bulu” dengan anggaran mungil. Kejaksaan, Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan HAM serta Kepolisian mendapatkan alokasi anggaran cukup besar dan mengalami kenaikan nominal anggaran yang juga besar selama dua dekade ini. Sementara Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Yudisial (KY) dan ombudsman mendapatkan alokasi sangat kecil dan tidak mengalami peningkatan kecuali KY yang baru naik dua tahun belakangan.

Hukumonline.com

Melihat perubahan anggaran dari tahun ke tahun sepuluh K/L di atas, beberapa K/L yaitu Kejaksaan, kepolisian, mahkamah agung dan Kumham mengalami peningkatan signifikan. Sebaliknya, lembaga yang memiliki kewenangan kecil dalam kaitan dengan jalannya pemerintahan, mengalami stagnasi dalam periode yang sangat lama. Sulit untuk menanggalkan kesan bahwa proses penganggaran tersebut tidak murni dilakukan melalui suatu proses diskusi yang obyektif dan berlandaskan kebutuhan setiap K/L.

Alokasi anggaran sepuluh K/L bidang hukum pada tahun 2004 sejumlah Rp3 triliun. Jumlah ini kurang dari setengah anggaran Kementerian Kesehatan yang sejumlah Rp6,7 triliun dan sangat jauh di bawah anggaran Kementerian Pendidikan yaitu Rp19,1 triliun. Sehingga dapat dikatakan bahwa peningkatan nilai nominal anggaran bidang hukum dari jumlah awal pada 2004, yang sangat kecil dibandingkan dengan kementerian kesehatan dan pendidikan, dari Rp3 triliun tersebut menjadi Rp54,7 triliun lebih menunjukkan sebagai langkah awal normalisasi anggaran. Walaupun demikian selama periode dua puluh tahun, anggaran sepuluh K/L hukum terus berada di bawah kedua kementerian tersebut.

Penting untuk diperhatikan bahwa kebutuhan K/L bidang hukum tersebut umumnya mencakup juga biaya operasional dan gedung di seluruh daerah tingkat II di Indonesia khususnya bagi Kejaksaan, Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan HAM serta Kepolisian. Sehingga kenaikan anggaran K/L bidang hukum beberapa tahun terakhir, kemungkinan besar untuk menutupi alokasi pembangunan/perawatan gedung serta fasilitas fisik lainnya.

Selain itu anggaran sepuluh K/L Hukum yang sejumlah Rp54,7 triliun tersebut sangat kecil jika kita bandingkan dengan dengan kenaikan PDB Indonesia sejak 2004 sampai 2023 yang naik lebih dari 400%.

Hukumonline.com

Terlepas dari pertanyaan apakah jumlah Rp54,7 triliun itu sudah besar atau belum, pertanyaan yang lebih penting adalah apakah total anggaran berdasarkan APBNP 2024 sejumlah Rp54,7 triliun cukup untuk memperbaiki bidang hukum yang kusut ini? Mari kita lihat sedikit lebih dalam.

Pertama, mayoritas K/L hukum mengalokasikan lebih dari 80% anggaran untuk mata anggaran “dukungan manajemen” yaitu program yang menampung kegiatan-kegiatan pendukung pelaksanaan fungsi K/L dan administrasi pemerintahan (pelayanan internal) yang dilaksanakan oleh unit kesekretariatan K/L. 

Artinya, fokus penggunaan anggaran untuk biaya operasi dengan asumsi BAU (business as usual) dan karenanya tidak cukup untuk menampung upaya perubahan serta perbaikan. Sehingga dengan struktur anggaran seperti sekarang, kita tidak bisa mengharapkan adanya perbaikan yang berarti dalam bidang penegakan hukum, kualitas perundangan-undangan dan berbagai bidang hukum lainnya.

Anggapan bahwa Rp54,7 triliun tersebut sudah besar dan semestinya bisa mencukupi seluruh kebutuhan bisa saja benar. Mungkin saja alokasi dan penggunaan anggaran masing-masing K/L hukum belum tepat guna. Untuk bisa mengevaluasi aspek ini lebih lanjut, harus dilakukan studi mendalam mengenai alokasi penggunaan mata anggaran dukungan manajemen, sistem jenjang karir, mekanisme kerja, efektivitas alokasi dan dukungan personel dalam tata kerja, serta efisiensi dan efektivitas penggunaan anggaran lainnya secara umum.

Namun khusus untuk KPPU, KY, Ombudsman dan LPSK yang alokasi anggarannya tidak mengalami kenaikan signifikan selama dua puluh tahun belakangan, perlu dilakukan review ulang atas kebutuhan anggaran guna dapat melaksanakan tugas dan kewenangan mereka secara optimal.

Masalah Besar Soal Remunerasi dan Biaya Operasional Penegak Hukum

Walaupun mayoritas anggaran K/L hukum digunakan untuk kegiatan operasional sehari-hari termasuk remunerasi serta biaya penanganan perkara, kita masih mendengar angka remunerasi pada K/L hukum masih cukup rendah, apalagi jika kita bandingkan dengan aparat pajak misalnya. Selain itu, biaya penanganan perkara umumnya jauh dari biaya yang sebenarnya. Padahal remunerasi yang wajar serta biaya operasional yang realistis, merupakan prasyarat tegaknya integritas pada seluruh K/L khususnya bidang hukum yang memiliki kewenangan sangat besar.

Rendahnya remunerasi memberikan alasan bagi aparat untuk mencari pendapatan tambahan untuk bisa memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari. Tidak realistisnya biaya operasional memiliki dampak lebih buruk lagi pada integritas organisasi. Karena untuk bisa memenuhi key performance indicator (KPI), organisasi tersebut dihadapkan pada pilihan sulit untuk menambal kurangnya anggaran. Ini yang dapat mengakibatkan “legalisasi” korupsi dalam berbagai organisasi mengingat tujuannya adalah untuk kebaikan organisasi.

Karena itu sangatlah mendesak bagi setiap K/L bidang hukum dan Kementerian Keuangan untuk dapat bekerjasama mereview kembali anggaran operasional dan meningkatkan remunerasi kepada tingkat yang wajar dan menetapkan biaya operasional (termasuk penyidikan dan penyelidikan) menjadi berdasarkan biaya yang aktual dibutuhkan (at cost). Pendekatan seperti ini pernah terbukti berhasil dilaksanakan pada KPK dan pada periode tersebut memberikan dampak positif terhadap integritas individu.

Alokasi Anggaran Bidang Perundangan dan Pengembangan Hukum Terlalu Kecil

Sejak dua puluh tahun lalu, peran pembuatan perundangan, monitoring serta evaluasi dilakukan oleh Kementerian Hukum dan HAM melalui Ditjen Perundangan-undangan (Ditjen PP) dan Badan Pengembangan Hukum Nasional (BPHN). Dari jumlah anggaran yang secara konsisten dialokasikan kepada kedua organisasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa memang pemerintah kita selama puluhan tahun tidak terlalu serius dengan urusan ini. Mengapa? Karena alokasi anggaran yang diberikan kepada Ditjen PP dan BPHN masing-masing hanya Rp49 miliar dan Rp89 miliar (tahun 2022).

Dengan anggaran minim, bagaimana kita bisa berharap memiliki hasil yang baik dalam pengelolaan peraturan perundangan-undangan? Tidak mungkin keduanya dapat memimpin proses pembuatan perundang-undangan yang baik dan bertanggung jawab. Bagaimana mungkin monitoring dan evaluasi dapat dilakukan secara baik dan menyeluruh? Juga apakah kita bisa berharap keduanya bisa membantu menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dalam sebelum membuat produk peraturan? Rasanya tidak mungkin. Karena untuk melakukan itu semua, dibutuhkan ahli hukum yang mumpuni serta biaya operasional yang tidak kecil.

Dengan sumber daya yang sangat terbatas tersebut, kita juga tidak bisa berharap kedua organisasi tersebut dapat membuat rencana serta mengawasi pelaksanaan pengembangan bidang hukum yang menyeluruh untuk menuju tegaknya rule of law di Indonesia. Sudah saatnya pemerintah meninjau ulang organisasi serta anggaran dalam melaksanakan tugas perundangan-undangan (perancangan, pendokumentasian, monitoring dan evaluasi) serta perencanaan dan koordinasi pengembangan hukum. Jelas kita sangat membutuhkan organisasi yang kuat yang didukung oleh anggaran yang cukup. 

Kurangnya Investasi pada Beberapa Lembaga Negara Bidang Hukum

Sejak puluhan tahun lalu, beberapa lembaga negara yang memiliki peran sangat penting mendapatkan alokasi anggaran yang sangat kecil dengan tidak ada peningkatan atau peningkatan yang tidak sebanding dengan perannya. Salah satunya adalah KPPU. Lembaga ini memiliki peran sangat penting dalam memastikan berjalannya persaingan yang sehat dan terlindunginya pengusaha kecil dari berbagai upaya non-kompetitif. Kewenangan yang dimiliki oleh lembaga ini cukup besar. Lingkup pekerjaannya sangat besar, sejalan dengan pertumbuhan ekonomi kita dua dekade ini, akan tetapi anggaran untuk KPPU teguh berada pada Rp100 miliar sejak tahun 2005.

Untuk dapat berfungsi dengan baik, lembaga dengan kewenangan seperti KPPU harus diisi oleh banyak orang yang berkualitas yang menguasai berbagai bidang industri dan kemampuan serta anggaran untuk melakukan berbagai penelitian, investigasi termasuk kegiatan penggeledahan. Terus terang tidak terbayang bagaimana lembaga ini bisa bertahan dan melakukan tugasnya dengan anggaran sekecil itu selama puluhan tahun.

Yang pasti, sudah sejak lama KPPU mengalami brain drain. Para pegawai yang bergabung dengan semangat ikut menegakkan hukum persaingan usaha, terpaksa harus mundur karena kebutuhan hidupnya serta kebutuhan dalam pelaksanaan pekerjaannya tidak tercukupi di sana. Jika kita menganggap KPPU masih relevan dan dibutuhkan, pemerintah harus mempertimbangkan kembali anggaran yang realistis bagi KPPU sehingga memiliki kemampuan untuk merekrut orang terbaik dalam bidangnya dan memiliki kemampuan menjalankan tugasnya. 

Lembaga lainya adalah Komisi Yudisial (KY). Lembaga ini lahir melalui amanat konstitusi dengan tugas yang sangat penting yaitu mengawasi dan menjaga kehormatan, perilaku, dan kinerja hakim di seluruh indonesia. Seperti KPPU, KY mengalami stagnasi anggaran sejak 2015 pada Rp100 miliar. Namun nasib KY sedikit lebih baik karena pada tahun 2022 terdapat kenaikan menjadi Rp200 miliar. Namun demikian, jika kita melihat tugas dan tanggung jawab KY, jumlah tersebut masih jauh dari cukup.

Sudah waktunya pemerintah mengkaji ulang anggaran bagi lembaga-lembaga bidang hukum untuk memastikan agar lembaga-lembaga tersebut dapat menjalankan tugasnya dengan baik.

Mogoknya perkembangan bidang hukum selama dua dasawarsa ini harus segera diatasi. Kebijakan anggaran yang rasional dan tepat dapat menjadi energi pendorong perubahan positif dalam bidang hukum. Kita harus berhenti bermimpi bahwa hukum kita akan baik dengn sendirinya dan segera. Tanpa transformasi kebijakan anggaran, kita tidak akan bisa mengurai benang kusut hukum ini.

*)Ahmad Fikri Assegaf, Co-Founder Hukumonline. Seorang advokat di Jakarta.

Artikel ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait