Perlunya Auditor Lingkungan Hidup di Perbankan
Berita

Perlunya Auditor Lingkungan Hidup di Perbankan

Bagi BI hal itu penting untuk menentukan proper atau tidaknya debitur yang mengajukan kredit.

FAT
Bacaan 2 Menit
Diskusi Media Briefing BI dengan KLH. Foto: SGP
Diskusi Media Briefing BI dengan KLH. Foto: SGP

Bank Indonesia (BI) masih menggodok Peraturan Bank Indonesia mengenai green banking. Direktur Eksekutif Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan BI, Irwan Lubis, mengatakan lamanya penggodokan dikarenakan perlunya penelitian yang panjang.

"Memang di dalam proses keluarnya peraturan Bi selalu didahului dengan research, kita cari referensi yang cukup, analisis. Kita dalam mengeluarkan aturan harus sesuai keseimbangan," kata Irwan dalam media briefing mengenai peran perbankan dalam melaksanakan pembangunan ekonomi hijau di Jakarta, Rabu (21/8).

Inti dari aturan ini, lanjut Irwan, agar terdapat penerapan dalam bisnis perbankan yang peduli terhadap lingkungan hidup. Bila perlu, terdapat auditor khusus lingkungan hidup di dalam perbankan yang bertugas menentukan proper atau tidaknya debitur yang mengajukan kredit.

"Kita tidak mungkin hanya menerapkan tapi tidak disupervisi," katanya.

Hal ini diperlukan lantaran penentuan debitur tersebut proper atau tidak belum sepenuhnya dikuasai oleh perbankan. Jalan keluar lainnya adalah dengan mendata debitur mana saja yang telah menerapkan bisnis baik di lingkungan hidup. Ia yakin, risiko debitur maupun perbankan yang menerapkan green banking akan lebih rendah.

"Mempertimbangkan aspek bobot risikonya, debitur yang masuk green bobot risiko lebih rendah," katanya.

Deputi Menteri Lingkungan Hidup Bidang Tata Lingkungan, Imam Hendargo Abu Ismoyo, sepakat jika debitur yang tidak melakukan kegiatan sesuai aturan lingkungan tak diberikan pembiayaan oleh perbankan. Hal ini perlu diatur secara jelas dalam konsep green banking. Selain itu, terhadap debitur yang melakukan pembiayaan sesuai aturan lingkungan, perlu diberikan intensif.

"Mudah-mudahan bukan hanya slogan pro poor, pro growth, pro jobs and pro environment saja," ujar Imam.

Konsep pemberian pinjaman berbasis lingkungan hidup telah dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup sejak tahun 1992, yang dinamakan dengan program pinjaman lunak lingkungan. Hingga kini, dana pinjaman yang telah disalurkan sebesar Rp407,7 miliar ke 96 perusahaan di semua skala usaha.

Kementerian sendiri menggandeng enam bank pelaksana dalam melaksanakan program ini. Keenam bank tersebut adalah, Danamon, BII, BCA, Lippo, BNI dan Mandiri. "Dana revolving fund per tahun sekitar Rp38 miliar," ujar Imam.

Wakil Direktur Utama BNI Felia Salim menyambut baik konsep green banking ini. Sebelum PBI terbit, BNI telah menerapkan konsep green di internal. Mulai menggunakan air secukupnya, mengurangi penggunaan plastik, hingga melakukan bike to work.

"Ini gerakan secara internal atau volunteer. PBI ini penting karena bisa mendorong perbankan untuk menerapkan bisnisnya dengan mendukung lingkungan baik, bukan hanya lingkungan hidup tapi juga lingkungan sosial," katanya.

Meski penting, kata Felia, penerapan aturan green banking ini tak semudahh yang dikira, terlebih lagi kepada debitur besar. Walaupun debitur tersebut memiliki catatan buruk di lingkungan hidup, namun di sisi lain memiliki catatan baik di lingkungan masyarakat seperti memberikan pekerjaan layak bagi banyak orang.

"Kita bicarakan ini baik-baik. Makanya selain lingkungan hidup, kita juga perhatikan lingkungan sosial dan masyarakatnya. Saya mesti realistis. Kita biayai tapi berkolaborasi sambil jalan," ujar Felia.

Dua Alasan

Setidaknya terdapat dua alasan penting bagi BI dalam mengembangkan perbankan yang ramah lingkungan hidup (green banking). Pertama, kata Deputi Gubernur BI Ronald Waas, green banking lahir untuk merespon UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

"UU itu mengharuskan semua aktifitas ekonomi untuk patuh mendorong kelestarian lingkungan dengan pemberian sanksi baik pidana bagi pelakunya hingga pencabutan ijin lingkungan," kata Ronald.

Jika aktifitas perbankan tak patuh terhadap kelestarian lingkungan, lanjut Ronald, maka berpotensi meningkatkan risiko kredit, risiko hukum dan risiko reputasi. Atas dasar itu pula perbankan perlu memahami dan menguasai lebih baik mengenai manajemen risiko lingkungan hidup ini.

Alasan kedua, kata Ronald, terkait permasalahan di sektor ketahanan pangan dan energi. Selain dua sektor ini memberikan kontribusi signifikan bagi perekonomian terutama nilai impor yang cukup besar, fluktuasi harga komoditasnya juga berpengaruh pada inflasi dan tekanan pada nilai tukar serta defisit APBN.

"Untuk itu dukungan perbankan untuk membiayai kedua sektor tersebut menjadi sangat penting," katanya.

Menurut Ronald, dengan mendukung pembiayaan energi dan pertanian yang ramah lingkungan (green financing) diharapkan tidak hanya menghasilkan swasembada energi dan pangan saja. Namun, perbankan turut berkontribusi pada penurunan gas rumah kaca yang telah menjadi komitmen Indonesia kepada dunia internasional.

"Tentunya ruang lingkup green finance bisa diperluas ke sektor strategis lainnya seperti jasa/transportasi, industri, perumahan dan produk ekonomi kreatif yang mengedepankan prinsip green," tutup Ronald.

Tags: