Perluasan Pidana Teroris Mesti Diterapkan Secara Hati-Hati
RUU Terorisme:

Perluasan Pidana Teroris Mesti Diterapkan Secara Hati-Hati

Salah satu solusinya, fungsi-fungsi intelijen mesti diperkuat agar penerapan perluasan pasal pidana materil terorisme ini tidak keliru dan tidak melanggar HAM. Selain itu, perlu diperkuat hak-hak korban terorisme dalam RUU Terorisme ini.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Penanganan aksi terorisme di Jakarta. Foto: RES
Penanganan aksi terorisme di Jakarta. Foto: RES

Pengaturan penanganan tindak pidana terorisme dalam UU No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dinilai kurang dapat memberi ruang gerak bagi aparat penegak hukum. Padahal, tindak pidana terorisme dikategorikan sebagai extra ordinary crime (kejahatan luar biasa), sehingga penanganannya pun mesti luar biasa. Karena itu, dalam Revisi UU (RUU) Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme membutuhkan perluasan kewenangan aparat penegak hukum terutama Polri.    

 

Pernyataan itu disampaikan anggota Panitia Kerja (Panja) RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Arsul Sani kepada wartawan di Komplek Gedung Parlemen, Rabu (16/5/2018). “Ada dua hal perluasan kewenangan penegakan hukum dalam hal melakukan upaya paksa,” ujar Arsul Sani. Baca Juga: Gerakan Terorisme Makin Masif, Penanganannya Harus Komprehensif

 

Pertama, terkait perpanjangan masa penangkapan. Sebelumnya masa penangkapan selama 7 hari, maka dalam RUU menjadi 14 hari. Bahkan masih dapat ditambah 7 hari untuk perpanjangan. Dengan begitu, terhadap orang yang diduga melakukan atau terlibat dengan kegiatan aksi teror hingga ditetapkan menjadi tersangka dapat ditangkap dalam kurung waktu 14 hari hingga 21 hari.

 

Setelah ditetapkan sebagai tersangka, yang bersangkutan ditahan yang total waktu penahanan lebih panjang dari yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Menurut Arsul, dalam KUHAP mengatur masa penahanan mulai di tingkat penyidikan, penuntutan hingga tingkat Mahkamah Agung (MA) berjumlah 710 hari. Namun, dalam RUU Terorisme menjadi 770 hari. Artinya, terdapat penambahan masa penahanan sebanyak 60 hari.

 

“Jadi orang yang diproses hukum atas dasar UU Terorisme ini, mulai dia ditangkap sampai mendapat putusan yang berkekuatan hukum tetap, kemudian sampai ke MA, itu dia akan ditahan paling lama 770 hari. Tentu ini akan mengurangi masa hukumannya kalau dia nanti divonis berapa tahun?" terangnya.

 

Kedua, perluasan pidana materil dalam pasal-pasal RUU Terorisme terhadap tersangka yang diduga melakukan jenis tindak pidana dengan alat bukti yang cukup dan diadili atau didakwa di sidang pengadilan. “Berlakunya UU No. 15 Tahun 2003, sering terjadi bolak-balik berkas, sehingga Polri tidak dapat bertindak preventif ataupun preemtif karena perbuatan persiapan tidak bisa dipidana,” kata Arsul.

 

Arsul mencontohkan, ketika terdapat orang yang di-baiat atau menyatakan diri ikut dalam suatu organisasi atau kelompok teroris dan mengikuti kegiatan pelatihan militer, seperti, menembak, memanah, berlatih pedang belum bisa dipidana. Contoh lain, bila orang Indonesia pergi ke Suriah, Irak. Lalu, bergabung dengan organisasi atau kelompok  yang diidentifikasi gerakan teroris. Kemudian kembali ke Indonesia dan tidak melakukan kegiatan apapun, maka tidak dapat diproses hukum

 

“Itu kalau menurut UU No. 15 Tahun 2003 enggak bisa dipidana. Tetapi, dengan UU yang baru, asal bisa dibuktikan bahwa dia terafiliasi, terkoneksi dengan satu kelompok atau organisasi teroris, maka bisa diproses pidana, karena perbuatan pelatihannya itu akan dikonstruksikan sebagai perbuatan persiapan untuk melakukan teror. Juga tetap harus dibuktikan bahwa dia itu pernah pergi ke sana (Suriah/Irak) dan menjadi anggota teroris,” jelasnya.

 

Panja DPR berharap perluasan pasal pidana materi itu tidak dipergunakan secara keliru atau sewenang-wenang oleh Polisi, Densus 88 dan BNPT. Sebab, bisa saja tidak semua orang yang bepergian ke Suriah atau Irak bertujuan bergabung dengan organisasi teroris, tetapi untuk keperluan lain. “Kita minta perluasan pasal pidana materil ini mesti diterapkan secara hati-hati oleh aparat penegak hukum. Ini sebagai contoh-contoh hal-hal yang baru,” lanjutnya.

 

Anggota Panja RUU Tindak Pidana Pemberantasan Terorisme lain, Muhammad Nasir Djamil menyarankan agar fungsi-fungsi intelijen mesti diperkuat agar penerapan perluasan pasal pidana materil terorisme ini tidak keliru. Sebab, seberapapun bagusnya aturan bila menangkap/menahan seseorang tanpa ada bukti yang kuat, berpotensi melanggar HAM, yang seharusnya tidak dapat dipidana.

 

“Misalnya, dia merencanakan ini (teror), dia sudah di-baiat, diasosiasikan bagian dari organisasi jaringan terorisme harus disertai bukti-bukti yang kuat. Nah, karena itu fungsi-fungsi intelijen harus lebih kuat dan terpadu gitu (dengan Polri),” pintanya.

 

Penguatan hak korban

Terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju menyoroti soal hak-hak korban tindak pidana terorisme. Misalnya, pertolongan pertama bantuan medis langsung yang mesti ditanggung pemerintah sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) UU No 31 tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

 

Pasal 6

(1). Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, Korban tindak pidana terorisme, Korban tindak pidana perdagangan orang, Korban tindak pidana penyiksaan, Korban tindak pidana kekerasan seksual, dan Korban penganiayaan berat, selain berhak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak mendapatkan: a. bantuan medis; dan b. bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis.

 

Menurutnya, pengaturan hak korban terorisme ini menimbulkan masalah terutama masalah pemberian kompensasi. Saat ini, pengaturan hak korban terorisme untuk mendapat kompensasi diatur Pasal 7 ayat (4) UU No. 31 Tahun 2014  jo Pasal 38 ayat (1) Perppu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana yang sudah ditetapkan berdasarkan UU No. 15 tahun 2003.  

 

“Persoalannya, kompensasi hanya dapat diajukan dengan menyertakan amar putusan yang menyatakan korban berhak mendapatkan kompensasi,” keluhnya.

 

Karena itu, pihaknya mengingatkan pemerintah dan DPR untuk lebih memfokuskan upaya revisi UU No. 15 Tahun 2003 pada penguatan hak-hak korban terorisme. Misalnya, ada jaminan korban mendapat kompensasi tanpa melalui putusan pengadilan. Atau kompensasi harus dapat diberikan secara langsung terhadap korban terorisme.

 

“Korban terorisme mutlak mendapat jaminan perlindungan dari negara. Sebab, adanya terorisme dikarenakan negara gagal memberi perlindungan rasa aman bagi warganya. Intinya, ada atau tanpa adanya putusan pengadilan, setiap korban terorisme berhak mendapatkan kompensasi dari negara!"  

Tags:

Berita Terkait