Perluasan Delik Kesusilaan di RKUHP Pun ‘Gantung’ di Parlemen
Fokus

Perluasan Delik Kesusilaan di RKUHP Pun ‘Gantung’ di Parlemen

Ada harapan agar pasal-pasal delik kesusilaan dalam RKUHP sejalan dengan Pancasila, UUD 1945, dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Selain itu, definisi dan elemen/unsur pasal tindak pidana pemerkosaan dalam RKUHP harus diperjelas ruang lingkupnya.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Sebelum terbitnya putusan MK No. 46/PUU-XIV/2016 pada 14 Desember 2017 yang menolak permintaan perluasan pasal-pasal kesusilaan, seperti perzinaan (Pasal 284), pemerkosaan (Pasal 285), pencabulan sesama jenis/homoseksual (Pasal 292) dalam KUHP, pembahasan perluasan tindak pidana kesusilaan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) pun mengalami perdebatan hampir serupa.   

 

Ini seperti terungkap dalam draft RKUHP (Februari 2017) ketika Panitia Kerja (Panja) RKUHP DPR dan tim pemerintah membahas Buku II tentang tindak pidana kesusilaan khususnya Pasal 484 ayat (1) huruf e dan Pasal 495 RKUHP. Pembahasan kedua pasal tersebut pada akhirnya berstatus pending alias ditunda. Sebab, ada 3 fraksi meminta agar aturan itu dihapus dan 7 fraksi lainnya mendukung rumusan kedua pasal tersebut sesuai rumusan awal dari pemerintah.    

 

Pemerintah bersikeras mempertahankan perluasan tindak pidana zina dalam KUHP saat ini. Artinya, zina dalam RKUHP diperluas, tidak hanya menyasar salah satu pihak terikat hubungan perkawinan, tetapi juga menyasar seluruh pasangan yang tidak terikat perkawinan (seks bebas/kumpul kebo). Sama halnya, dengan delik pencabulan sesama jenis/homo seksual yang tidak hanya korban pencabulan di bawah usia 18 tahun, tetapi juga usia dewasa (Pasal 495 RKUHP).

 

Karena itu, polemik perluasan pasal-pasal kesusilaan terkait kriminalisasi perilaku seks bebas dan lesbian, gay, biseksual, transgender atau LGBT yang dimohonkan Guru Besar Ketahanan Keluarga IPB Prof Euis Sunarti Dkk ini bakal terus berlanjut di parlemen seperti halnya di sidang-sidang MK sebelumnya. Sebab, MK melalui putusannya yang tidak diambil suara bulat ini, seolah melempar “bola panas” ke parlemen dengan dalih bukan kewenangannya untuk merumuskan tindak pidana baru.   

 

Lantas, bagaimana nasib pasal-pasal kesusilaan dalam RKUHP yang tengah dibahas Panja DPR dan pemerintah, apakah akan tetap diperluas atau sama halnya seperti KUHP yang berlaku saat ini? Sebenarnya, jauh sebelum adanya pengujian KUHP itu, tim perumus pemerintah sudah memperluas delik kesusilaan, sebagaimana termuat dalam Pasal 484 ayat (1) huruf e dan Pasal 495 RKUHP termasuk delik pemerkosaan dalam Pasal 491 RKUHP.     

 

Pasal 484 (Zina) RKUHP

(1) Dipidana karena zina, dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun:

a. Laki-laki yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan yang bukan istrinya;

b. Perempuan yang berad dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki yang bukan suaminya;

c. Laki-laki yang tidak  dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut berada dalam ikatan perkawinan;

d. Perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki, padahal diketahui bahwa laki-laki tersebut berada dalam ikatan perwakinan; atau

e. Laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan.

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, atau pihak ketiga yang tercemar

(3) Terhadap  pengaduan sebagaimana dimaksud  pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan  Pasal 26, Pasal 27, dan Pasal 29 Pengaduan dapat ditarik kembali  selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.

Pasal 491 (tindak pidana perkosaan) RKUHP

(1) Dipidana karena melakukan  tindak pidana perkosaan, dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun:

a. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan di luar perkawinan, bertentangan dengan kehendak perempuan tersebut;

b. Laki-laki yang melakukan  persetubuhan dengan perempuan, dengan persetujuan perempuan tersebut, tetapi persetujuan tersebut dicapai melalui ancaman untuk dibunuh atau dilukai;

c. Laki-laki  yang melakukan persetubuhan dengan perempuan, dengan persetujuan perempuan tersebut karena perempuan tersebut percaya bahwa laki-laki tersebut adalah suaminya yang sah;

d. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun, dengan persetujuannya; atau

e. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya.

Pasal  495 (pencabulan sesama jenis) RKUHP

(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain yang sama jenis kelaminnya yan diketahui atau patut diduga belum berumurm 18 (delapan belas) tahun, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.

(2) Dipidana dengan pidana yang sama ditambah dengan sepertiga jika perbuatan cabul sebagaimana pada ayat (1) dilakukan dengan cara seks oral atau seks anal atau semua bentuk pertemuan organ non kelamin dengan alat kelamin yang dilakukan secara homoseksual.

 

Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Prof Enny Nurbaningsih menegaskan pembahasan isu pasal tindak pidana kesusilaan dalam status pending issue. Terlebih, pasca terbitnya putusan MK No. 46/PUU-XIV/2016, tentu tim pemerintah akan kembali melakukan pendalaman (kaji ulang). Terlebih, sebagian anggota Panja DPR (yang menolak) memberi sejumlah catatan agar pemerintah menjelaskan berbagai hal terkat pasal itu agar nantinya tidak menimbulkan multitafsir ketika diterapkan.

 

(Baca juga: Rumusan Pasal “Kumpul Kebo” Harus Diperjelas)

 

Secara garis besar, Bab Pasal Tindak Pidana Kesusilaan dalam draf RKUHP berisi 37 pasal. Namun belakangan menjadi sorotan masyarakat terkait perluasan pasal zina, perkosaan, pencabulan sesama jenis terutama setelah terbitnya putusan MK.

 

Dia mengungkapkan tindak pidana yang di-pending menyangkut zina yang dilakukan di luar ikatan perkawinan dan hubungan (pencabulan) yang dilakukan sesama jenis tanpa melihat batasan usia. Apakah bakal diteruskan dengan memperluas delik kesusilaan atau sebaliknya bergantung pembahasan selanjutnya dengan Panja RKUHP.

 

“Ada sekelompok masyarakat yang masih ingin menjaga nilai-nilai (moral, agama, red) yang hidup di masyarakat. Mereka minta tindak pidana ini bisa dikuatkan (diperluas) lewat pengaturan RKUHP itu. Nah, kami kemudian berpikiran apakah ini dijadikan delik aduan saja, bukan delik biasa. Tapi ini masih pending issue,” ujarnya.

 

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta itu melanjutkan bila dijadikan delik aduan, maka mesti ada pihak yang dirugikan atas tindak pidana asusila, khususnya zina. Misalnya, pihak yang dirugikan adalah masyarakat. Namun, mencegah terjadinya persekusi di tengah masyarakat, perumusan norma ini harus dilakukan secara hati-hati dan cermat.

 

(Baca Juga: MK Tegaskan Tak Bisa Kriminalisasi Delik Kesusilaan)

 

Persoalan ini menyangkut hak-hak perempuan yang harus dilindungi. Karena itu, masukan dari Komisi Nasional Perempuan menjadi penting untuk diakomodir. “Jangan sampai korban menjadi korban lagi. Perempuan sebagai pihak yang sangat dilemahkan dalam perzinahan. Ini masih pending, dan akan dibawa ke tingkat rapat kerja,” kata dia.

 

Sesuai nilai dan kebutuhan masyarakat

Dosen Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara, Ade Adhari berharap agar pasal-pasal delik kesusilaan dalam RKUHP sejalan dengan Pancasila, UUD 1945, dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Karena itu, pembahasan pasal ini tidak perlu lagi digantungkan dengan putusan No.46/PUU-XIV/2016 yang bersifat final dan mengikat karena MK sudah menyerahkan kewenangan perumusan tindak pidana baru ke pembentuk UU. 

 

“Jalan yang mesti ditempuh realistis dengan memasukan kebutuhan hukum masyarakat (Indonesia) terkait pasal zina, pemerkosaan dan perbuatan cabul dalam RKUHP. DPR dan pemerintah sudah mentargetkan pembahasan RKUHP rampung pada Maret 2018. Karena itu, pembaharuan hukum pidana nasional mesti sesuai dengan nilai-nilai sosio-filosofis, sosio-kultural dan sosio-politik bangsa Indonesia,” ujarnya saat dihubungi Hukumonline.

 

Anggota Panja RKUHP Dossy Iskandar Prasetyo menilai putusan MK yang tak memperluas pasal kesusilaan dengan menyerahkan ke pembuat UU sudah tepat. Karena itu, Putusan MK itu menjadi referensi bagi Panja RKUHP. Dia menerangkan pasal-pasal tindak pidana kesusilaan bakal didalami dari perspektif teori ataupun perkembangan hukum di masyarakat.

 

“Sejauh mana kebutuhan hukum di masyarakat dalam konteks perluasan terjadinya perzinahan di luar nikah, itu tentu nanti akan didalami oleh Panja RKUHP,” kata dia.

 

Baginya, negara tak boleh membiarkan terjadinya kekosongan hukum ketika perbuatan individu merusak sistem bernegara dan menjaga hubungan sosial antar sesama manusia. Apalagi, prinsip Pancasila mengamanatkan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. “Ini juga harus menjadi pertimbangan penting dalam merumuskan norma yang berkaitan perluasan zina,” terangnya.

 

(Baca Juga: Dalih Wewenang Pembentuk UU, MK Tolak Perluasan Pasal Kesusilaan)

 

Karena itu, Dosen Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Surabaya itu meminta pemerintah sebagai pengusul RKUHP mesti menjabarkan kembali beberapa pasal yang berstatus pending issue itu. Kemudian, memperkuat rasionalitas perumusan pasal-pasal tindak pidana kesusilaan dalam RKUHP.

 

Pihaknya, khawatir bila tidak diperjelas dan diperkuat normanya bakal menimbulkan persoalan baru. Sebab, modus tindak pidana yang terjadi di masyarakat terus mengalami perkembangan/perubahan yang mesti diimbangi dengan pengaturan yang komprehensif dalam RKUHP. Termasuk bagaimana perkembangan perspektif pemikiran dari ahli pidana terkait pasal-pasal kesusilaan itu.  

 

“Kita sebenarnya bukan mem-pending, tapi kita ingin pemerintah sebagai pengusul, coba catatan DPR ini didalami kembali,” ujar politisi Partai Hanura itu.

 

Sementara Anggota Aliansi Nasional Reformasi KUHP Supriyadi W Eddyono menilai pasal tindak pidana kesusilaan yang masih dibahas di DPR masih menyisakan sejumlah permasalahan terutama menyangkut pilihan jenis delik, aduan atau biasa dan proses pembuktiannya.

 

Dalam KUHP, misalnya, tindak pidana perzinahan merupakan delik aduan, sehingga ada pihak yang dirugikan untuk mengadukan tindak pidana ini. Bila pelaku masih anak-anak, maka pihak yang dirugikan adalah orang tua. Sedangkan bila pelakunya adalah perempuan menikah, maka suami yang terikat sah pernikahan sebagai pihak yang dirugikan. Begitu pula sebaliknya bila pelakunya ada laki-laki menikah, maka istri sah terikat perkawinan sebagai pihak yang dirugikan.

 

Menurutnya, bila delik tindak pidana zina dalam RKUHP ini tidak menjadi delik aduan, konsekuensinya pihak yang dirugikan semakin dipermalukan akibat zina yang dilakukan pasangan dalam pernikahan sah. Sayangnya, dalam RKUHP tidak jelas perihal siapa pihak ketiga yang tercemar yang dapat mengadukan mereka yang diduga melakukan perbuatan zina di luar pernikahan.

 

“Bila diterapkan, bakal berbahaya lantaran batasan perihal pihak ketiga yang tercemar tidak jelas, sehingga tidak memiliki kepastian hukum,” kata Supri.  

 

Tak hanya itu, pembuktian tindak pidana kesusilaan sulit pembuktiannya. Terkecuali, perbuatan asusila telah direkam, sehingga dapat dibuktikan unsur-unsur perbuatan tindak pidananya. “Secara moral memang sebagian besar, kita tidak sepakat (dengan perilaku seks bebas dan LGBT). Tapi kalau di bawah ke ranah hukum pidana, itu dua hal hukum yang berbeda,” kata dia.

 

(Baca Juga: Ius Constitutum dan Ius Constituendum Pengaturan Aborsi di Indonesia)

 

Kelemahan

Sementara dalam pasal tindak pidana pemerkosaan dalam RKUHP dinilai Supri banyak kelemahan. Khususnya bila dikaitkan dengan perkembangan pengertian atau definisi dari perkosaan itu sendiri. Apalagi, jika dikaitkan dengan tren hukum pidana, instrumen HAM, dan praktik pengadilan internasional yang sudah mengkaitkan perlindungan terhadap perempuan dan anak, khususnya terhadap praktik kejahatan seksual.

 

Aliansi, kata Supri, setidaknya memberi catatan terhadap sejumlah kelemahan tindak pidana pemerkosaan ini. Pertama, perumusan elemen/unsur perkosaan belum memadai, khususnya terkait pengertian persetubuhan. Kedua, ketiadaan konsep perkosaan dalam perkawinan. Ketiga, konsep perkosaan bagi anak masih minim, mencakup pula pembatasan umur anak yang tidak konsisten. Keempat, penjelasan definisi frasa “tanpa kehendak” atau “tanpa persetujuan” masih belum jelas. Kelima, penempatan perkosaan dalam Bab Kesusilaan.

 

Menurutnya, konsep persetubuhan dalam RKUHP tidak menjelaskan secara gamblang yang tidak jauh berbeda dengan KUHP yang berlaku saat ini. Ia menilai lantaran tidak adanya penjelasan, maka pengertian persetubuhan bakal mengikuti pendapat yang sudah umum diterima di masyarakat. Padahal, konsep persetubuhan saat ini sudah mengalami perkembangan.   

Tags:

Berita Terkait