Perlu Terobosan Hukum untuk Merampas Aset Tindak Pidana
Utama

Perlu Terobosan Hukum untuk Merampas Aset Tindak Pidana

Proses birokrasi yang panjang dan rumit menyebabkan aset tindak pidana sulit untuk dirampas dalam waktu cepat. Terdapat beberapa model perampasan aset antara lain criminal confiscation, non-conviction based confiscation (NCB), dan civil actions. Criminal confiscation intinya menggunakan mekanisme pidana.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Jampidum Fadil Zumhana dalam seminar bertema Urgensi Undang-Undang Perampasan Aset yang digelar Mahupiki di Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) di Bali, Rabu (21/6/2023). Foto: Istimewa
Jampidum Fadil Zumhana dalam seminar bertema Urgensi Undang-Undang Perampasan Aset yang digelar Mahupiki di Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) di Bali, Rabu (21/6/2023). Foto: Istimewa

Penegakan hukum tindak pidana dalam perkara keuangan dan perekonomian seperti korupsi dan pencucian uang tak cukup sekedar memenjarakan pelakunya. Tapi paling penting aset hasil kejahatan tersebut harus dirampas dan dikembalikan pada yang berhak. Setidaknya pengembalian aset  keuangan negara menjadi bagian dari prioritas.

Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung Fadil Zumhana, mengatakan perlu pembaruan hukum untuk merampas aset hasil tindak pidana.  Dia menjelaskan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) telah memasukan mekanisme perampasan aset tindak pidana dalam konvensi PBB tentang pemberantasan korupsi atau Uniterd Convention Against Corruption (UNCAC) tahun 2003.

Terbitnya konvensi itu mendorong negara pihak untuk memaksimalkan upaya perampasan aset tindak pidana tanpa proses tuntutan pidana. Indonesia telah menginisiasi Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perampasan Aset sejak tahun 2003 dan sempat masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Tapi sayangnya sampai saat ini RUU Perampasan Aset tak kunjung dibahas dan disahkan di DPR. Padahal banyak kalangan yang mendorong terbitnya rancangan beleid tersebut menjadi UU.

“Banyaknya kasus korupsi dan pencucian uang memunculkan desakan dari masyarakat untuk segera menerbitkan RUU Perampasan Aset, apalagi kekayaan hasil tindak pidana itu disembunyikan di luar negeri,” kata Fadil dalam seminar nasional bertema “Urgensi Undang-Undang Perampasan Aset” yang digelar Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) di Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) di Denpasar, Bali, Rabu (21/6/2023).

Baca juga:

Untuk mengejar aset hasil tindak pidana memang tidak mudah, karenanya butuh kolaborasi, koordinasi, dan kerjasama dengan berbagai lembaga/kementerian lintas negara dengan sistem hukum yang berbeda. Perlu investigasi khusus (follow the money) dan bertindak cepat untuk mencegah penurunan aset yang disasar. Proses birokrasi yang panjang dan rumit menyebabkan aset tindak pidana sulit untuk dirampas dalam waktu cepat.

“Oleh karena itu dibutuhkan terobosan hukum melalui RUU Perampasan Aset sehingga memudahkan aparat untuk merampas aset hasil tindak pidana,” ujarnya.

Mantan Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Surabaya itu menjelaskan, KUHAP dan KUHP serta berbagai aturan lainnya bisa digunakan untuk menyita dan merampas aset dan kekayaan hasil tindak pidana. Tapi dalam aturan yang berlaku saat ini perampasan aset bisa dilakukan ketika pelakunya terbukti bersalah di pengadilan secara sah dan meyakinkan. Padahal praktiknya banyak hambatan dalam penyelesaian perkara tindak pidana yang dilakukan pelaku misalnya pelaku meninggal atau halangan lain sehingga pelaku tidak bisa diseret ke pengadilan atau tidak ada bukti yang cukup.

RUU Perampasan Aset mengatur aset yang diduga dari hasil tindak pidana itu bisa disita tanpa dikaitkan dengan proses pidana terhadap pelakunya. Pengaturannya harus dilakukan secara cermat dan hati-hati karena berpotensi melanggar hak warga negara terkait kebendaan. Selain itu jangan sampai aparat hukum menyalahgunakan kewenangannya.

“Hal ini diperlukan agar proses penegakan hukum terkait perampasan aset tindak pidana dapat menjaga harkat dan derajat manusia,” usulnya.

Hukumonline.com

Kedua dari kanan: Prof Harkristuti Harkrisnowo, Ketua Umum Mahupiki, Yenti Garnasih, dan Prof Topo Santoso. Foto: Istimewa

Dalam kegiatan yang sama Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum (FH) Universitas Indonesia (UI) Prof Harkristuti Harkrisnowo, mencatat RUU Perampasan Aset sudah lama dibuat dan surat presiden (Surpres) sudah disampaikan beberapa waktu lalu ke DPR. Mahupiki juga sudah menyampaikan masukan kepada DPR terkait urgensi UU Perampasan Aset.

“Kami sudah sampaikan kepada DPR RUU ini penting,” kata Ketua Dewan Penasihat Mahupiki itu.

Perempuan yang disapa Prof Tuti itu mencatat kerugian negara akibat tindak pidana sudah sangat besar tapi untuk merampas aset tindak pidana perlu ada putusan pengadilan terlebih dulu terhadap pelakunya. Praktiknya tidak mudah bagi aparat penegak hukum membuktikan kejahatan tersebut. Saat ini aparat sangat membutuhkan cara bagaimana merampas aset hasil tindak pidana dalam waktu cepat secara cermat dan hati-hati.

Ketua Umum Mahupiki, Yenti Garnasih, berpendapat seharusnya Indonesia sudah memiliki UU Perampasan Aset karena penting untuk mendukung salah satunya penegakan pidana korupsi. Rapat paripurna DPR yang digelar Selasa (21/6/2023) kemarin terlihat parlemen belum ada keinginan untuk membahas RUU Perampasan Aset.

“Saya khawatir aset itu (hasil tindak pidana,-red) malah digunakan untuk pemilu, kampanye, mahar politik dan lainnya,” urainya.

Guru Besar Fakultas Hukum UI, Prof Topo Santoso, menjelaskan beberapa model perampasan aset antara lain criminal confiscation, non-conviction based confiscation (NCB), dan civil actions. Criminal confiscation intinya menggunakan mekanisme pidana. Model ini kelebihannya lebih memberikan kepastian hukum karena perampasan aset dilakukan setelah ada putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.

Tapi prosesnya lama sehingga membuka potensi pelakunya kabur padahal aset dan kekayaannya diduga hasil tindak pidana. Perampasan Aset menggunakan model NCB atau berbasis perdata. Perampasan aset menggunakan model NCB relatif lebih cepat tapi ada juga kelemahannya.

Prof Topo memberikan contoh di Inggris yang praktik perampasan aset menggunakan model NCB tergolong baik tapi presentase pengembalian asetnya kecil, khususnya aset tindak pidana yang berada di luar negeri. Kemudian menghadapi tantangan ketika berhadapan dengan aset hasil tindak pidana korupsi yang jumlahnya besar. Salah satu cara yang digunakan Inggris untuk mengatasi tantangan tersebut adalah membentuk unit khusus.

“RUU Perampasan Aset penting untuk dibahas,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait