Perlu Sinergitas Pelaksanaan dan Pelaporan Bantuan Hukum Pro Bono
Utama

Perlu Sinergitas Pelaksanaan dan Pelaporan Bantuan Hukum Pro Bono

KAI berkomitmen memperluas pemberian bantuan hukum pro bono. Sistem pelaporan secara elektronik penting dijalankan.

Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit
Tangkapan layar pengenalan e-probono yang diselenggarakan KAI. Foto: RFQ
Tangkapan layar pengenalan e-probono yang diselenggarakan KAI. Foto: RFQ

Pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma kepada warga miskin atau warga yang memenuhi kriteria membutuhkan sinergitas antar para pemangku kepentingan. Jika berjalan sendiri-sendiri, bantuan hukum pro bono tidak akan berjalan maksimal. Kalangan advokat merupakan salah satu tokoh kunci keberhasilan pemberian bantuan hukum pro bono. Dalam konteks itu pula Kongres Advokat Indonesia (KAI) pimpinan Tjoetjoe Sandjaja Hernanto menyelenggarakan pelatihan e-probono bagi anggotanya.

Berbicara dalam pelatihan yang berloangsung secara daring pada Jum’at (7/5) kemarin, Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), R. Benny Riyanto memuji keputusan KAI menyelenggarakan pelatihan e-probono sebagai bagian dari perluasan access to justice bagi warga miskin. “Ini menunjukkan KAI sangat responsif untuk menata keberadaan pro bono dalam access to justice,” ujarnya.

Benny mengingatkan bahwa sinergitas organisasi advokat dengan para pemangku kepentingan lain sangat dibutuhkan. Sinergitas akan ikut mendorong pemenuhan kewajiban advokat menyelenggarakan bantuan hukum cuma-cuma sebagaimana diamanatkan Pasal 22 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Ketentuan ini mewajibkan advokat memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu. Peraturan Pemerintah No. 83 Tahun 2008 mengatur tata cara pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma tersebut.

Benny Riyanto menjelaskan kewajiban pemberian bantuan hukum pro bono perlu dijalankan oleh setiap advokat agar persoalan hukum warga miskin dapat tertangani dengan baik. Organisasi advokat berperan mengatur sistem pelaporan pelaksanaan kewajiban tersebut oleh advokat yang menjadi anggotanya. Ia jugta mengusulkan adanya sanksi bagi advokat yang mengabaikan kewajiban memberikan bantuan hukum pro bono.

Pada bagian lain, Kepala BPHN mengingatkan pentingnya integrasi program bantuan hukum pro bono yang dilaksanakan advokat dengan program pro bono yang dijalankan pemerintah. Sistem pelaporan dengan memanfaatkan e-probono patut mendapat dukungan dari para pihak. Dalam konteks itulah mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro itu mengatakan upaya KAI bekerjasama dengan pihak lain membangun aplikasi bantuan hukum mandiri merupakan contoh inovasi bagi advokat yang tergabung dalam bantuan hukum pro bono. Dengan sistem e-probono advokat mendapat nilai lebih dalam bantuan hukum.

Sinergisitas bantuan hukum dengan organisasi advokat bakal maksimal pula dengan prodeo sebagai layanan hukum gratis bagi masyarakat tidak mampu di pengadilan. Benny mengatakan Pemerintah, Mahkamah Agung dan organisasi advokat dapat duduk bersama bersinergi menyatukan pengelolaan bantuan hukum secara gratis bagi masyarakat tidak mampu. Menurutnya, selama ini terdapat tiga unsur yang melaksanakan program bantuan hukum secara cuma-cuma. pemerintah melalui organisasi bantuan hukum, organisasi advokat melalui pro bono, dan Prodeo diatur dengan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan,” ujarnya.

“Kita harus duduk bersama, bagaimana memikirkan solusinya, agar pemberian bantuan hukum muaranya satu. Jangan sampai berjalan sendiri-sendiri.  Jujur saja khususnya dari MA dengan prodeo masih menetapkan biaya perkara dalam penanganan bantuan hukum cuma-cuma. Ini keprihatinan, dan menunjukan belum teriintegriasi,” katanya, serasa berharap tidak ada lagi pungutan jika perkara warga miskin masuk ke pengadilan.

Presiden KAI, Tjoetjoe Sandjaja Hernanto, menegaskan kembali kewajiban advokat untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma. Namun dalam praktik kriteria ‘cuma-cuma’ menjadi multitafsir. Dia mencontohkan pernah mendapat klien yang tidak mampu dan tak memiliki uang. Tapi, kasus yang dialami memiliki potensi bernilai ekonomi tinggi seperti sengketa tanah yang luas. “Kriteria-kriteria ini juga harus pasti, apakah tidak mampu secara financial dan harus dibantu. Tetapi kasusnya bernilai financial yang sangat tinggi,” ujarnya.

Kewajiban pro bono bagi advokat memang telah diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003, tetapi dalam praktik masih ada advokat yang memaknai pro bono dengan pro deo. Tjoetjoe mengakui pengetahuan tentang pro bono belum dimaknai menyeluruh di kalangan advokat. Belakangan, muncul gerakan yang hendak menjembatani antara pro bono, pro deo dengan kalangan profesional yang mencari uang dalam kapasitasnya sebagian advokat. Caranya, menciptakan sebuah peluang bantuan hukum access to justice bagi masyarakat, tapi tidak gratis dan tak disubsidi.  Dia manganalogikan persis seperti layanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dan asuransi kesehatan. “Tapi ini asuransi hukum. Jadi klien bayar murah dan dilayani secara profesional oleh advokat,” imbuhnya.

KAI, kata Tjoetjoe, berupaya mendorong gerakan bantuan hukum bagi masyarakat secara luas. Bagi masyarakat yang tidak mampu dapat dibantu dengan program pro bono dengan BPHN maupun MA dengan prodeonya. Dia berharap bagi anggota KAI yang berhasil menunjukan hasil kerja pro bono, KAI bakal menggratiskan perpanjangan Kartu Tanda Anggota (KTA). “Tentu sedikitnya lima perkara. Itu untuk merangsang teman-teman melakukan kegiatan pro bono di daerahnya,” katanya.

Soal gratis dalam bantuan hukum, Tjoetjoe sependapat dengan Benny. Menurutnya bantuan hukum cuma-cuma sejatinya mesti gratis, hingga tak ada pungutan di pengadilan. Namun faktanya dalam berpekara tak ada yang gratis. Seperti kebutuhan materai pun mesti dibeli dari kocek sendiri. Dia membayangkan bila perkara yang ditangani banyak dengan setiap tahapan persidangan. “Jadi berapa modal yang harus diberikan dalam pemberian bantuan pro bono. Jadi kita harus punya modal dulu, baru kita berikan bantuan pro bono,” katanya.

Integrasi aplikasi

Managing Partner Legal Trust, Nasuka Abdul Jamal mengatakan KAI telah membentuk Lembaga Bantuan Hukum (LBH) KAI di Solo, Jawa tengah. Setidaknya telah memberikan banyak pendampingan hukum bagi masyarakat miskin tidak mampu. Serta memberikan pelatihan ke pararegal yang nantinya dapat membantu advokat dalam menjalankan proses pro bono di Solo.

Sebenarnya, kata Jamal, advokat KAI banyak yang telah melakukan pro bono. Hanya saja belum melaporkannya. Sebab ketiadaan sistem terkait pelaporan pro bono yang telah dilakukan.  Karenanya perlu membangun aplikasi dan mengintegrasikan database advokat. “Sehingga kita bisa mencatat pro bono yang telah dilakukan secara akuntabel dan dipercaya,” katanya.

Tjoetjoe menambahkan perlu merumuskan satu aplikasi bersama dengan satu database. Apalagi KAI saat ini menjadi organisasi advokat di lini terdepan di bidang teknologi database advokat.Ya, KAI telah memiliki database secara digital di seluruh Indonesia dengan nama e-lawyer. Menurutnya aplikasi e-probono yang telah dibangun dan dikembangkan Indonesia Judicial Research Society (IJRS) menjadi upaya memudahkan advokat melaporkan aktivitas pro bononya. “Kalau bisa diintegrasikan sistem dengan e-lawyer akan lebih bak. Sehingga tidak lagi memasukkan data,” ujarnya.

Tjoetjoe mengklaim anggotanya yang telah terdata berbasis digital mencapai ribuan jumlahnya. Dengan begitu bila diintegrasikan bakal memudahkan advokat yang mau menjalankan kegiatan pro bono. “Sejauh ini kita sedang berupaya mengintegrasikan database dengan MA, Kepolisian, dan Kejaksaan. Akan lebih bagus kalau bisa diintegrasiikan dengan e-probono,” ujarnya.

Peneliti hukum IJRS, Meyriza Violyta berpandangan pihaknya memiliki tujuan yang sama dalam meningkatkan kultur pro bono di Indonesia. Sehingga dapat membantu access to justice melalui pro bono. IJRS memang memiliki platform e-probono. Latar belakang pembuatan platform tersebut lantaran menemukan banyak advokat yang hendak melakukan pro bono. Namun terkendala  ketiadaan mekanisme baku yang dapat dijadikan acuan advokat melaporkan pro bono yang telah dilakukan. “Kenapa kewajiban pro bono, atau anjuran pro bono 50 jam per tahun, sedangkan mekanisme pelaporannya tidak ada. Itu menjadi hambatan di lapangan melaporkan pro bononya,” katanya.

Platform tersebut akan mempertemukan dua user, yakni masyarakat pencari keadilan dan advokat pemberi bantuan hukum. Selanjutnya, mendokumentasikan pelaporan kerja probono yang dilakukan advokat. Sejauh ini, KAI memang telah menjadi kerjasama dengan IJRS terkait di bidang pro bono. “Kita juga memikirkan bagaimana e-probono itu mudah. Nantinya layanan diberikan memuaskan bagi masyarakat yang punya bermasalah hukum,” ujarnya.

Soal kemungkinan mengintegrasikan aplikasi e-lawyer dengan e-probono, Meyriza menilai amat dimungkinkan. Sehingga nantinya memudahkan advokat KAI dalam menyalurkan pemberian pro bono beserta pelaporannya. Namun demikian, perlu duduk bersama antara KAI, IJRS dengan developer website serta aplikasi  membahas integrasi e-lawyer milik KAI mengoneksikan dengan e-pro bono.

“Selama ini masih terpisah, tapi kita sudah ada diskusi dengan mensinkronkan dua sistem ini. Karena bakal membutuhkan waktu yang lama dan pemikiran matang. Jadi kita perlu berhati-hati dalam mensinkronisasikan ke depannya,” katanya.

Meyriza menegaskan terus melakukan keamanan data pengguna maupun  advokat.  Seperti penggunaan anonim identitas klien. Namun biila para advokat hendak meminta data klien  dan rangkaian persoalan yang dihadapi lebih lengkap, dapat menghubungi langsung. “Sebab kita tetap menjaga keamanan data advokat dan klien. Makanya kita menggunakan anonim,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait